• Foto
  • Asa Tersisa dari Kain Pel Tenun di Lereng Ibun

Asa Tersisa dari Kain Pel Tenun di Lereng Ibun

Pelaku industri kain pel tenun tradisional di Kecamatan Ibun tinggal segelintir saja. Industri ini terpukul parah oleh pagebluk.

Fotografer Prima Mulia25 September 2021

BandungBergerak.id“Anak-anak gadis mana mau menenun tustel (menenun kain pakai mesin kayu), perlu kesabaran, mana kotor banyak debu-debu benang beterbangan,” kata Sari, seorang ibu lanjut usia di bengkel tenun dengan dinding gedek bambu dan bilik di Kampung Babakan Panyingkuran, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Kamis (23/9/2021).

Kampung di lereng pegunungan dataran tinggi Bandung selatan itu sejak dulu dikenal sebagai sentra pembuatan kain pel tenun yang diproduksi secara tradisional. Peralatan tenun yang digunakan nyaris semuanya nonlistrik. Kain ditenun pakai Alat Tenun Bukan Mesin atau ATBM kayu atau orang kampung menyebutnya tustel, pemintal benangnya menggunakan roda kayu yang disebut malet.

Ada pula mesin mihane manual yang berfungsi menyatukan benang-benang dalam gulungan besar agar membentuk pola saat ditenun. Listrik hanya diperlukan saat mengoperasikan alat gulung benang dan menjahit ketika finishing.

Beberapa wanita lanjut usia seperti Sari, Uar, dan Ika, adalah mereka yang tetap berkutat dengan alat tenun dan pintal kayu selama satu dekade terakhir. Ruang kerja mereka masih sama seperti di masa lalu: lantai tanah dengan dinding bamboo yang harus berbagi ruang dengan kandang ayam di pojokan.

Seorang penenun bisa menyelesaikan satu kayu kain pel tenun setiap hari jika dikerjakan dari pukul 8 pagi sampai sore. Satu kayu setara dengan 40 meter kain pel.

“Murah pak, sakayu kita diupah Rp 15.000. Nenun kain pel pakai tustel itu harus sabar, sering nyangkut atau putus benangnya, jadi kita harus selalu memeriksa jarak antar benang dan menyambung benang yang putus,” kata Sari.

Alat-alat tenun berusia tua itu mengeluarkan bunyi khas yang ritmis, suara kayu beradu dengan pedal kaki yang berderit saat diinjak. Bunyi ini bergema di lorong-lorong kampung yang asri di antara pepohonan rindang saat cuaca terik musim kemarau memanggang jalan utama desa yang berdebu.

Kain-kain pel hasil tenunan Sari dan kawan-kawan lantas dijemur di atas tiang-tiang bambu di sebidang tanah lapang kampung itu. Pekerja memilih tanah lembah di antara liukan terasering sawah-sawah. Kain yang sudah kering akan digulung dan dibawa ke rumah untuk digunting, dijahit, dan dikemas.

Di tengah panas menyengat, Ujang Didi (55 tahun), dengan sigap memeriksa bentangan-bentangan kain pel tenun dengan tekstur kasar itu. Ia bertugas mengurus kain yang dijemur yang lebarnya sekitar 60 cm dengan bentang bisa mencapai 40 meter per lembarnya.

Sempat stop produksi selama 4 bulan dampak pembatasan berskala besar pandemi Covid-19, kini industri kain pel Ibun mulai bergeliat kembali. Tapi lambat laun pembuatan kain pel tradisional ini mulai tergerus zaman dan modernisasi. Di tahun 2019, hanya tersisa 11 pelaku saja. Masuk tahun 2020, pelaku usaha kain pel semakin babak belur dihajar pandemi.

Kini, tak lebih dari lima rumah produksi saja yang masih bertahan membuat kain pel secara tradisional di Ibun. Tempat penjemuran hanya tersisa dua lapangan saja.

Kain pel tenun tersebut didstribusikan untuk pasar di Bandung Raya dan Jakarta. Harganya antara Rp 40.000-Rp 80.000 per kodi tergantung ukuran. Menurut Ading (39 tahun), salah seorang juragan kain pel, kondisi saat ini belum kembali normal.

‘’Pangsa pasarnya turun sampai 60 persen akibat Covid-19,’’ keluh Ujang Didi.

Sejarah industri tenun Ibun tak lepas dari sejarah Majalaya sebagai sentra tekstil pertama di Indonesia. Industri tekstil Majalaya bahkan sudah dimulai sejak era Hindia Belanda, tepatnya tahun 1910. Pada tahun 1922, Belanda mendirikan Textiel Inrichting Bandoeng (cikal bakal Sekolah Tinggi Tekstil Bandung). Empat gadis Majalaya bernama Emas Mariam, Endah Suhaenda, Oya Rohaya, dan Cicih, dikirim ke Bandung untuk mempelajari pembuatan kain tenun dengan mesin kayu semi otomatis nonlistrik yang disebut ATBM.

Hingga akhirnya industri tenun Majalaya meluas sampai ke kota-kota kecamatan sekitarnya seperti Kecamatan Ibun, Paseh, Solokan Jeruk, dan Ciparay. Sekarang, kejayaan tekstil Majalaya kian surut dan hanya menyisakan segelintir yang bertahan.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//