• Foto
  • Merawat Ingatan dengan Ngarumat Pusaka di Bumi Alit Kabuyutan

Merawat Ingatan dengan Ngarumat Pusaka di Bumi Alit Kabuyutan

Setahun sekali, warga asal Desa Lebakwangi dan Batukarut dari berbagai wilayah berkumpul di Bumi Alit Kabuyutan untuk meraih berkah air keramat dan silaturahmi.

Fotografer Prima Mulia23 Oktober 2021

BandungBergerak.idHari masih sangat pagi. Angin dingin pegunungan di bawah mendung yang bergelayut tak menyurutkan warga untuk berebut air berkah dari pencucian pusaka di komplek situs rumah adat Bumi Alit Kabuyutan, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/10/2021).  

Mereka kegirangan dengan mulut komat-kamit merapal harapan saat seorang pemangku adat menyiram mereka dengan guyuran air bekas cucian benda-benda keramat. Keriuhan warga berbanding terbalik dengan prosesi pencucian pusaka di dalam rumah adat Bumi Alit Kabuyutan yang berada di wilayah Desa Lebakwangi dan Batukarut.

Nuansa prosesi itu lebih sakral dan hening. Tak boleh sembarang orang masuk ke rumah adat saat pencucian pusaka berlangsung. Terlebih saat ini masih dalam situasi pandemi Covid-19, tentu jumlah orang di dalam rumah adat sangat dibatasi. Konon, rumah adat berukuran 5 X 6 meter tersebut dibangun oleh para leluhur yang berasal dari kerajaan Galuh.

Hanya para tetua adat saja yang diperbolehkan berada di dalam rumah adat Bumi Alit Kabuyutan. Selain ruangannya sempit, mungkin juga agar suasana sakral pencucian pusaka tak terganggu oleh lalu lalang warga atau wisatawan. Bisa dibayangkan betapa terganggunya prosesi jika banyak warga atau wisatawan lalu lalang sekedar ingin melihat, mendokumentasikannya, atau membuat content di media sosial dalam bentuk foto/video.

Rangkaian tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun sejak puluhan tahun lalu ini disebut Ngarumat Pusaka, yaitu prosesi mencuci benda-benda pusaka dalam balutan tradisi dan religi yang sekaligus menjadi bukti sinkretisme antara masa pra-Islam dan penyebaran Islam di wilayah Bandung Selatan.

Setelah seluruh rangkaian prosesi Ngarumat Pusaka selesai, benda pusaka yang sebagian besar berupa gamelan kuno tersebut dimainkan oleh para nayaga. Alunan nada yang terdengar agak berbeda dengan alunan nada gamelan Sunda pada umumnya. Lebih ritmik dengan nuansa sedikit membius. Uniknya, gamelan ini hanya dimainkan setahun sekali di acara khusus Ngarumat Pusaka.

Gamelan tersebut dikhwatirkan cepat rusak jika terlalu sering dimainkan, mengingat usianya yang sudah ratusan tahun. Kendati saat ini sudah dibuatkan replikanya, nuansa yang terbangun sangat berbeda jika dibandingkan dengan permainan gamelan aslinya.

Perangkat gamelan pusaka ini terdiri dari dua buah gong besar, bonang, saron, kecrek, rincik, dan beri. Rangkaian gamelan ini disebut Bandong. Selain gamelan, ada pula perkakas pertanian dan senjata tajam. Semuanya tersimpan rapi di rumah adat. Menurut legenda rakyat setempat, konon gamelan ini pernah dipakai saat penobatan Bupati Bandung, Tumenggung Wira Angun-Angun tahun 1641.

Warga yang sudah berusia dewasa tampak menikmati alunan gamelan pusaka saat dimainkan, sebagian mungkin mengalami deja vu atau kembali ke masa lalu.Pencucian pusaka selalu diwarnai berkumpulnya warga Desa Batukarut dan Lebakwangi dari seluruh wilayah. Di bawah pepohonan rindang sekitar Bumi Alit Kabuyutan, mereka murak tumpeng dan makanan-makanan khas kampung lainnya.

Tradisi setahun sekali ini jadi ajang silaturahmi warga Lebakwangi dan Batukarut yang berdomisili di daerah lain untuk kembali ke kampung halaman, bertemu dengan kolega dan kerabat. Kegiatan turun-temurun itu kini berkembang jadi salah satu wisata bernuansa religi terkait penyebaran Islam di Kabupaten Bandung.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//