Geliat Industri Tenun Bandung Selatan di Tangan Milenial
Wajah-wajah generasi muda penenun di Bandung Selatan ini mungkin jadi warna lain di industri tenun tradisional ATBM di era milenial.
Wajah-wajah generasi muda penenun di Bandung Selatan ini mungkin jadi warna lain di industri tenun tradisional ATBM di era milenial.
BandungBergerak.id - Jemari Hendi Rohimat dengan terampil menyelipkan benang-benang jadi simpul yang membentuk ornamen di atas lembaran kain tenun yang sedang dibuatnya. Pemuda 22 tahun lulusan SMA ini bekerja dengan cepat dan teliti sambil menggerakan bilah kayu Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di kesunyian Kampung Pacinaan, Desa Sukamantri, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/10/2021).
Semilir angin sejuk berhembus dari bingkai-bingkai jendela besar yang terbuka. Bunyi kayu beradu dari sekitar 30 unit ATBM, bergema di pabrik tenun halus tradisional yang berada di antara kebun, kolam ikan, dan sawah.
Di salah satu ruang produksi, Rani Mulyani, dengan hati-hati menenun untaian akar wangi dengan benang nilon berwarna khaki. Harum akar wangi menyeruak saat gadis 16 tahun tamatan SMP itu mengambil segenggam akar kering tanaman yang selama ini dikenal sebagai bahan baku wewangian tersebut.
Di kampung lain yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Kampung Pacinaan, tepatnya di Kampung Kadatuan, Desa Bojong, Kecamatan Majalaya, Azhari hampir menyelesaikan selembar tenun halus pesanan dari pembeli di Sumatera. Pemuda 23 tahun jebolan SMA ini tak kalah “gemulai” saat menenun untaian benang berwarna warni jadi selembar kain tenun halus bernilai jual tinggi.
Wajah-wajah generasi muda penenun ini mungkin jadi warna lain di industri tenun tradisional ATBM di era milenial. Saya masih ingat sekitar 10 tahun lalu industri ini didominasi penenun berusia senja, saya cenderung skeptis waktu itu, apakah regenerasi penenun ATBM akan berhenti.
Ternyata terjawab sudah, setidaknya dalam 3 tahun terakhir, semakin banyak anak-anak muda, khususnya pria, yang tertarik dan terjun menjadi penenun ATBM. Dari penuturan mereka motifnya beragam. Hendi, Rani, maupun Azhari, sama-sama mengakui jika pendapatan atau upah mereka lebih baik setelah jadi penenun ATBM dibanding saat mereka bekerja di sektor lain sebelumnya. Mereka bisa menghasilkan 1 set kain tenun dalam waktu 2-3 hari.
Apa pun motif mereka, ada satu kesamaan yang patut digarisbawahi, yaitu mereka merasa betapa mudahnya mendapat lapangan kerja di desa sendiri. Tak perlu lagi pergi jauh ke kota hanya untuk mencari-cari lapangan kerja yang belum pasti. Mereka bisa berkarya dan bekerja di kampung sendiri. Jika beruntung, mereka bisa mandiri dan ikut menciptakan lapangan kerja baru dengan keahlian tenun yang mereka kuasai.
Bicara sejarah tenun tradisional, khususnya sejarah mesin ATBM yang menggantikan alat tenun keuntreung atau gedogan yang jauh lebih kuno, tentu kita tak bisa menihilkan peran Majalaya dan daerah sekitarnya seperti Paseh, Ibun, atau Solokan Jeruk, sebagai cikal bakal berkembangnya tenun ATBM di Indonesia. Produksi kain tenun bisa dibuat jauh lebih cepat dengan mesin ATBM dibandingkan dengan keuntreung atau gedogan.
Sejarah industri tenun “modern” lahir di kawasan selatan Bandung sebagai sentra kain tenun ATBM pertama di Indonesia, atau lebih pasnya sejak masa masa Hindia Belanda tahun 1922.
Sejak masa pemerintahan Orde Baru sampai Orde Reformasi, para pakar kain tenun ATBM dari Majalaya dan sekitarnya kerap dikirim ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusatenggara, untuk memberikan pelatihan tentang teknik pembuatan mesin ATBM dan cara membuat tenun ATBM.
Kini, di abad milenial, produk kain tenun ATBM tetap bertahan dengan cirinya yang 100 persen buatan tangan. Nilai eksklusif inilah yang membuat tenun ATBM Majalaya dan Paseh tetap bertahan hampir 1 abad lamanya.
Satu set kain tenun ATBM berikut selendang harganya ada di kisaran Rp 1,5 juta. Jika motif atau ornamennya lebih rumit, serta bahan benangnya dari sutra, harganya bisa melonjak sampai lebih dari Rp 3 jutaan per set.
Sempat limbung beberapa bulan saat puncak penularan wabah Covid-19 di pertangahan tahun 2021, kini permintaan tenun dari Medan, Jakarta, dan Bandung, sebagai pasar utama, mulai kembali bergeliat.
Generasi ke 3 pengelola perusahaan tenun ATBM Kampung Pacinaan, Asep Amar (45 tahun), mulai memasok kebutuhan pasar dengan produksi rata-rata 25 set kain tenun per minggu. Plus tenun akar wangi khusus untuk pasokan ke Garut.
Masih generasi ke-3 pelaku industri tenun ATBM di Kampung Kadatuan, Ilyas Suparjadireja (33 tahun), kembali bisa bernapas lega setelah 20 pekerja kembali disibukkan dengan order pesanan kain tenun.
Ilyas yang masih kerabat dekat Asep Amar, mampu memasok kain tenun antara 25-30 set kain tenun per minggu. Ilyas bermitra dengan Asep Amar di bidang produksi tenun untuk pasokan ke Medan, Jakarta, dan Bandung.
Asep mengakui sempat ada program pembinaan pelaku usaha tenun ATBM dengan Bank Indonesia yang menginisiasi pengembangan industri tenun khas Majalaya dengan syarat semua kebutuhan bahan baku dan sumber dayanya harus lokal.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS