• Foto
  • Jejak Raja Teh Priangan di Pangalengan

Jejak Raja Teh Priangan di Pangalengan

Jejak Karel Albert Rudolf Bosscha di Bandung Raya begitu banyak. Selain perkebunan teh, piano Zeitter and Winkelmann tersimpan di rumah tua di Pangalengan.

Fotografer Prima Mulia7 November 2021

BandungBergerak.id Denting piano Zeitter and Winkelmann buatan tahun 1837 itu masih nyaring bergema ke seluruh ruangan, walau nadanya agak sumbang. Maklum, piano tua. Sudah waktunya di stem ulang. Piano dan perabotan di rumah tua yang masih terawat dengan baik itu adalah benda-benda peninggalan Karel Albert Rudolf Bosscha, si raja teh Priangan sekaligus administratur Perkebunan Teh Malabar.

Pria kelahiran 1865 ini tiba di Jawa tahun 1887. Usai menimba ilmu dari pamannya yang juga seorang Preanger Planter, yaitu Edward Julius Kerkhoven, Bosscha membuka perkebunan Malabar di dataran tinggi Pangalengan tahun 1896, seperti yang tertera di gapura tua jalan masuk ke rumah Bosscha.

Jejak-jejak Karel Albert Rudolf Bosscha terekam abadi dan terus mendatangkan manfaat bagi warga di kawasan Pangalengan. Di kebun teh yang terhampar luas di ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut itu terdapat rumah kediamannya Bosscha yang kini jadi area wisata dan penginapan, pabrik teh, menara pandang perkebunan di Gunung Nini, sekolah rakyat Vervoloog Malabar yang kini menjadi SDN Malabar, serta permukiman pemetik teh yang disebut Imah Hideung (rumah hitam).

Tea walk adalah opsi paling pas untuk menjelajahi kawasan perkebunan yang kini di bawah kendali PT Perkebunan Nusantara VIII, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Konturnya meliuk naik turun menyusuri labirin tanaman teh jadi perjalanan yang mengasyikan. Saat tiba di ketinggian, embun pagi yang masih menempel di pucuk-pucuk daun teh berkilau keperakan terpapar sinar  matahari pagi.

Setelah itu perjalanan bisa dilanjut ke arah Gunung Nini. Di puncak gunung atau bukit, terdapat sebuah saung atau gazebo terbuat dari balok-balok kayu yang kokoh. Inilah gazebo yang berfungsi jadi menara pandang dan tempat istirahat Bosscha saat memantau para pekerjanya. Dari ketinggian bukit, seluruh area perkebunan terhampar jelas. Di kejauhan, kilau air danau Situ Cileunca menyuguhkan panorama yang cantik. Pantas Bosscha betah berlama-lama di sini.

Sekitar 1 Km jalan kaki menuruni bukit, tibalah saya di rumah mendiang sang juragan teh. Rumah yang sangat artistik dan terawat. Semua perabotan di dalamnya masih sama seperti saat Bosscha pertama kali mendiami rumah ini.

Sekitar 300 meter dari rumah Bosscha, ada rumah-rumah pemetik teh atau Imah Hideung karena seluruh dinding dan fondasi rumah panggung tersebut berwarna hitam. Warna hitam berasal dari campuran cairan teh agar tidak dimakan rayap. Usia imah hideung sama tuanya dengan rumah Bosscha.

Sekitar  1,5 kilometer dari Imah Hideung, kita bisa berjalan menembus kebun teh menuju rumah panggung memanjang yang dulunya adalah gedung Vervoloog Malabar atau sekolah rakyat yang dibuat Bosscha demi kemajuan pendidikan anak-anak di Pangalengan. Bangunan yang masih kokoh berdiri itu dibangun tahun 1901.

Bosscha tak cuma mengedepankan bisnis semata saat pertama kali membuka kebun teh tertua di kawasan Pangalengan ini. Selain sukses mengembangkan Malabar jadi penghasil teh hitam nomor wahid di dunia, Ia juga sukses menanamkan pentingnya aspek pendidikan bagi anak-anak para pekerja perkebunan di Pangalengan.

Karel Albert Rudolf Bosscha yang sangat mencintai Pangalengan meninggal karena penyakit tetanus yang dideritanya setelah jatuh dari kuda di Gunung Nini. Seperti keinginannya, Bosscha dimakamkan di dekat area kebun pembibitan teh, dikelilingi hutan kecil dengan tanaman teh yang menjulang lebih dari 10 meter, sekitar 2 kilometer dari kediamannya.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Redaksi

COMMENTS

//