• Foto
  • Pabrik Kerupuk Jadul Bandung di Persimpangan Jalur Kereta

Pabrik Kerupuk Jadul Bandung di Persimpangan Jalur Kereta

Sejarah panjang kerupuk jadul Bandung ini membentang sejak tahun 1950-an, dirintis oleh para perantau dari Jawa Tengah. Mereka bertahan hidup di atas rel zaman.

Fotografer Prima Mulia12 Desember 2021

BandungBergerak.idKerutan kulit jemari Mukrim berkilat terpapar sinar matahari pagi. Tangan itu terampil menyusun kerupuk di atas tampah. Usianya sudah 76 tahun, tapi ia masih cekatan menjemur kerupuk di atap pabrik kerupuk Babakansari, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung, Senin (29/11/2021). Rangkaian kereta api ekonomi yang melintas terlihat jelas di atap pabrik tempat Mukrim bekerja.

Pabrik kerupuk di kawasan padat penduduk tersebut merangkap tempat tinggal bagi para pekerjanya. Mereka beraktivitas dalam ruangan berpencahayaan sangat minim. Dua orang pekerja asyik menduduki sebuah alat press sederhana mirip mainan jungkat jungkit. Bobot tubuh sang pekerjalah yang membuat alat tersebut bekerja menekan adonan yang keluar dari sebuah tabung. Pekerja harus cepat membentuk adonan yang keluar mirip mie itu.

Dari 6 pekerja yang terlihat, nyaris semuanya sudah masuk lanjut usia. Muri, Rohim, Soni Supriyadi, termasuk Mukrim, usia mereka di atas 50 tahun semua. Hanya Rizal dan Jajang yang usianya masih di kisaran 40 tahunan.

"Dalam 10 tahun terakhir ini ya pekerjanya cuma ini saja mas, kalo full ada 10 orang, tapi biasanya kita bergantian libur, jadi seperti sekarang sebenarnya ada 7 orang yang masuk, 3 orang bisa pulang kampung. Gantian, 2 bulan sekalilah kita bisa libur mudik," kata Rizal, kepada BandungBergerak.id.

Udara pengap dan panas semakin menjadi saat proses penggorengan kerupuk dimulai. Di antara dinding-dinding kusam berjelaga, Muri dan Soni bersiap dengan alat penggorengan. Kerupuk pertama kali masuk ke minyak hangat dulu selama beberapa menit, setelah itu baru masuk minyak panas. Hanya perlu waktu kurang dari satu menit untuk menggoreng kerupuk sampai mekar sempurna dalam genangan minyak panas.

Kerupuk yang sudah matang harus diangin-angin sebentar, lalu masuk ke masing-masing blek kerupuk berwarna biru, dan siap dipikul dan dijajakan keliling ke sudut-sudut kota. Saat harga minyak goreng melambung tinggi seperti sekarang ini, frekuensi penggorengan juga berkurang. Mereka melakukan penggorengan setiap 2 hari sekali.

Jenis kudapan kerupuk kampung ini mirip dengan kerupuk-kerupuk warungan lainnya, berwarna putih, renyah, dan bolong-bolong tengahnya. Yang agak sedikit berbeda adalah kerupuk ini lebih lebar dan dijajakan setelah lewat tengah hari sampai jelang petang. Para pelanggan setianya akan menunggu di jam-jam siang sampai sore hari. Harganya Rp 5.000 isi 7 keping.

Setelah semua proses selesai, para pekerja bisa istirahat sejenak dan mandi sebelum masing-masing pergi menjajakannya ke wilayah berbeda. Sesekali mereka terbatuk-batuk. Mungkin ada gangguan di saluran pernapasan atas, mengingat selama bertahun-tahun mereka bergelut di pabrik yang pengap dengan ventilasi minim. Bahkan kamar-kamar tempat tinggal mereka menyatu dengan pabrik.

Para pekerja di sini mutlak harus menguasai semua teknik di pabrik kerupuk, mulai produksi sampai ke pemasaran. Mereka mencetak, menjemur, menggoreng, dan memasarkan dengan jalan kaki membawa pikulan kerupuk. Proses kerjanya sejak pagi hari dan baru selesai jelang malam. Rata-rata mereka bisa membawa pulang uang minimal Rp 100 ribu per hari. Sepatu-sepatu di atas rak dengan sol rusak tergerus aspal, saksi bisu jauhnya langkah mereka.

Sejarah panjang kerupuk jadul ini dimulai di Bandung, saat Yuheri, pria asal Bumiayu, Jawa Tengah, merantau ke Kota Kembang untuk mengadu nasib, sekitar tahun 1950-an. Berbekal pengetahuan mencetak kerupuk di kampung halaman, ia mulai merintis usaha ini tahun 1958 di kawasan Palasari, Kota Bandung.

Tahun 1967, pabrik pindah ke kawasan Baranangsiang, yang bertahan sampai sekarang. Bahkan berkembang dengan mendirikan satu pabrik lagi di Kecamatan Kiaracondong yang juga bertahan hingga kini.

Industri kerupuk jadul ini mewarnai khazanah kudapan ringan masa lalu yang tetap bertahan selama lebih dari setengah abad sampai di era digital saat ini. Mereka tetap menggunakan cara dan mesin yang sama seperti yang digunakan oleh para pionir sebelumnya di masa lalu. Lebih lambat memang, tapi di situ ada ciri khas dan nilai jual yang tak sama dengan kerupuk-kerupuk sejenis skala pabrikan dengan mesin modern. Walau konsekuensinya industri ini tak diminati para pemuda di tengah sulitnya mencari lapangan kerja.

Kendala lain, lahan tempat pabrik kerupuk dan permukiman sekitarnya akan terkena pembangunan proyek rel ganda PT. KAI yang dimulai dari Stasiun Kiaracondong sampai Rancaekek. Jika rencana ini terealisasi, dipastikan lahan pabrik kerupuk itu akan berkurang sampai setengahnya.

Para pekerja tak hirau dengan fenomena-fenomena yang terjadi saat ini. Mereka hanya menjalani apa yang bisa dijalani dan diupayakan untuk menafkahi keluarga mereka di kampung halaman, di Bumiayu. Pahit, getir, dan manisnya buah usaha dari masa lalu ini sudah mereka rasakan. Industri dan keberadaan kudapan ringan ini malah tak dikenal di daerah asal mereka. Kerupuk jadul, melempem di kampung halaman, merekah di perantauan.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//