• Foto
  • Menelusuri Jalan SS, Jalur Mati Kereta Api Rancaekek-Tanjungsari

Menelusuri Jalan SS, Jalur Mati Kereta Api Rancaekek-Tanjungsari

Jalur mati kereta api Rancaekek-Tanjungsari yang merentang sepanjang 11 kilometer menyisakan sedikit sekali artefak. Warga yang meninggalinya menyebutnya Jalan SS.

Fotografer Prima Mulia8 Januari 2022

BandungBergerak.id - Menyaksikan konstruksi rel baja baru yang mengarah ke bangunan tua di Stasiun Rancaekek, Kabupaten Bandung, akhir November 2021 lalu, saya jadi tertarik untuk menelusuri jejak sejarah kereta api yang pernah menghubungkan Bandung dengan Sumedang. Pandangan saya tak lepas dari bangunan tua itu, yang mungkin keberadaannya hanya tinggal menunggu hitungan bulan, sementara bangunan tua lain di sekelilingnya sudah rata dengan tanah.

Stasiun Rancaekek, yang mulai beroperasi sejak tahun 1884, menjadi saksi geliat jalur kereta api sepanjang 11 kilometer dari Stasiun Rancaekek ke Stasiun Tanjungsari. Diresmikan pada tahun 1932, jalur kereta api yang menghubungkan Bandung dengan Sumedang ini berhenti melayani warga pada tahun 1942, berbarengan dengan dimulainya penjajahan Jepang di Hindia Belanda. Penjajah baru itu mengangkut semua rel dan infrastruktur pendukungnya untuk membuat jalur kereta api di Lebak, Banten

Pekan pertama Desember 2021 menjadi awal penelusuran jalur mati kereta api antara Rancaekek sampai Tanjungsari yang hanya menyisakan sedikit artefak atau. Hampir sebagian besar jalur itu telah berubah jadi perkampungan. Semua warga yang berada di jalur tersebut menyebutnya dengan istilah Jalan SS, karena memang rute kereta api Bandung-Sumedang ini dibangun oleh Staatsspoorwegen atau SS.

Dari Stasiun Rancaekek, penelusuran dilanjutkan di Kampung Babakan Nanjung. Di sini, jalur mati kereta api berubah jadi jalan umum. Tak ada sedikit pun sisa rel baja. Yang jadi panduan hanya cerita warga kampung dan patok-patok penanda baru yang menampilkan logo PT. KAI.

Dari Babakan Nanjung, jalur kereta menyeberang Jalan Solokan Jeruk, Rancaekek, masuk ke Kampung Bojong Pulus, lalu melintasi sungai dengan jembatan kecil di atasnya. Di dua kampung tersebut, lahan di kanan-kiri bekas rel kereta api sudah berubah jadi permukiman padat penduduk. Jalur Bojong Pulus berakhir di Jalan Raya Rancaekek, jalan nasional yang jadi perbatasan antara Bandung dan Sumedang.

Jalur mati kereta api kemudian menyeberang di dekat bunderan jalan raya yang oleh warga sekitar disebut Bunderan ABC, lalu masuk ke perkampungan lagi di Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, Sumedang. Di sini, rel kereta api berubah fungsi menjadi jalan kecil untuk mobilitas warga, membentuk gang di antara deretan rumah-rumah.

Jalur mati kereta api berakhir di mulut gang di kawasan pendidikan Jatinangor, persis di seberang Kampus Ikopin, menyeberangi jalan nasional Bandung-Sumedang di Jatinangor, lalu menembus lagi permukiman dan kawasan kampus Universitas Padjadjaran.

Saya harus rajin bertanya ke orang-orang sekitar saat mencari jejak-jejak jalur rel di Cikeruh. Satu yang jadi kata kunci saat bertanya ke warga, yaitu Jalan SS. Dari Bandung sampai Sumedang, mereka menyebutnya Jalan SS. Masyarakat di sepanjang jalur itu pun paham betul jika rumah-rumah mereka berada di bekas jalur kereta api.

Selepas Unpad, melalui permukiman di Cisaladah, Desa Hegarmanah, saya turun ke persawahan di sekitarnya. Di sana menjulang jembatan kereta api yang dikenal dengan nama Jembatan Cincin Cikuda. Jembatan ikonik yang dibangun sekitar 1917 itu menjulang puluhan meter di atas sawah dan aliran sungai. Kini jembatan bekas jalur kereta api tersebut digunakan oleh warga sebagai jalan umum.

Dari Jembatan Cincin Cikuda, warga menyarankan saya untuk melanjutkan penelusuran ke Desa Cileles, jalur menuju Jembatan Cincin Cigondoh. Jembatan ini tak banyak disinggung orang, seolah kalah pamor dengan Jembatan Cincin Cikuda. Namun perjalanan menelusuri jalan di sepanjang jalur Cileles menyajikan pemandangan yang cantik sekali.

Sawah, kebun, dan hutan ada di kanan kiri jalan desa selebar satu mobil tersebut. Kebetulan saat ini adalah musim tanam padi. Pemandangan sawah terasering dengan petani yang sedang membajak sawah menggunakan kerbau, membuat kita betah berlama-lama di sana. Sejak era Hindia Belanda, kawasan pertanian di Cileles tak banyak berubah. Mungkin seperti ini jugalah pemandangan yang akan kita nikmati saat naik kereta api Rancaekek-Tanjungsari di masa lalu.

"Ini jalan yang dilewati teh Jalan SS, makanya banyak patok di pinggir jalan dan di sebagian sawah-sawah. Tak ada perkampungan di sini, hanya sawah dan kebun," kata seorang petani.

Setelah beberapa ratus meter jalur nan asri, pemandangan sawah berganti dengan permukiman lagi. Sebuah jembatan membentang di atas sungai. Inilah jembatan kereta api Cigondoh. Sebuah kerangkeng besi di sisi jembatan, yang digunakan orang untuk berdiri saat kereta melintas, menjadi satu-satunya penanda bahwa jembatan ini dulunya adalah rel kereta api.

Untuk melihat struktur jembatan, kita harus turun melewati rumpun-rumpun bambu yang cukup rapat. Dari bawah, baru terlihat struktur jembatan Cipondong yang mirip dengan Jembatan Cincin Cikuda. Hanya ukurannya lebih pendek.

Dari sini, penelusuran menyisakan Stasiun Tanjungsari dan konstruksi jembatan kereta api Tunggul Hideung di Kecamatan Pamulihan. Setelah hampir 20 menit menyusuri jalan kampung bekas jalur rel kereta, perjalanan berakhir di Alun-Alun Tanjungsari, di ruas jalan nasional Sumedang-Cirebon.

Stasiun Tanjungsari terletak di antara Jalan SS dan Jalan Pasar Lama, di samping alun-alun. Keberadaan stasiun terhimpit bangunan-bangunan rumah penduduk. Bangunannya sekarang difungsikan sebagai Gedung Juang 45 oleh Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI Polri Tanjungsari dan sebuah Kelompok Bermain. Ada plang berkarat dengan tulisan pudar “Tandjoengsari” yang jadi penanda keberadaan stasiun di masa lalu.

Jalur kereta api menuju arah Stasiun Tanjungsari ini memiliki viaduct, yang di atasnya terletak Jalan Raya Sumedang-Cirebon. Bagian bawahnya yang kini jadi jalan umum adalah jalur rel kereta api. Viaduct ini merupakan konstruksi infrastruktur utuh yang tersisa di sekitar stasiun.

Dari Tanjungsari, perjalanan dilanjutkan ke Kecamatan Pamulihan. Di situ masih ada sisa konstruksi jembatan kereta api yang memang tak selesai. Konstruksi berupa benteng kembar ini berada di atas Sungai Cipeles, di antara kebun dan sawah penduduk. Warga menamainya Jembatan Tunggul Hideung. Dulunya, Belanda berencana untuk melanjutkan jalur kereta api dari Sumedang ke Cirebon. Namun proyek ini mangkrak di tengah jalan karena dunia di hantam krisis ekonomi (malaise) mulai tahun 1929.

Rencana Reaktivasi

Sejarah jalur kereta api Bandung-Sumedang tidak lepas dari Jatinangor sebagai pusat perkebunan Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud, milik tuan tanah Baron W. A Baud, yang berdiri tahun 1841. Teh dan karet adalah komoditas utama di perkebunan tersebut. Satu-satunya peninggalan perkebunan yang masih berdiri kokoh adalah menara lonceng yang saat ini berada di kawasan Taman Loji Kampus ITB Jatinangor. Kepentingan pengangkutan hasil bumi dari Sumedang ke Bandung inilah yang jadi pertimbangan utama Belanda membangun jalur kereta api, selain tentu saja untuk kepentingan militer.

Jalur mati kereta api Rancaekek-Tanjungsari menyisakan sedikit sekali artefak, seperti konstruksi jembatan dan satu bangunan stasiun. Bahkan satu-satunya rel baja yang tersisa adalah batang rel ukuran tak lebih dari 1 meter yang ditancapkan di perlintasan kereta di mulut gang pinggir ruas jalan nasional Jatinangor. Satu-satunya cara untuk menyusuri bekas jalur kereta api tersebut adalah banyak-banyak bertanya ke warga dengan kata kunci ‘Jalan SS'.

Bukan perkara mudah bagi pemerintah yang berangan-angan untuk mereaktivasi jalur kereta api Rancaekek-Tanjungsari ini. Jalur ini sudah mati sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia. Warga sudah puluhan tahun hidup di sana, membangun kampung dari generasi ke generasi. Di Kecamatan Tanjungsari saja, misalnya, ada 4 desa yang dilalui jalur mati kereta api ini, yaitu Gunung Manik, Jatisari, Margajaya, dan Tanjungsari. Di Gunung Manik dan Jatisari, sebagian besar jalur kereta berupa perkebunan dan sawah, sementara di desa lainnya jalur itu sudah berubah menjadi permukiman padat penduduk. Di Desa Tanjungsari, diperkirakan ada sekitar 350 kepala keluarga (KK) yang tinggal di jalur kereta, dengan 80 persen di antaranya merupakan warga dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah.

Wacana menghidupkan kembali jalur kereta Bandung-Tanjungsari tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. DPRD Jawa Barat juga ikut memberikan dukungan. Tentu motif ekonomi yang jadi pertimbangan utama munculnya ide untuk kembali menghidupkan jalur kuda besi sepanjang 11 kilometer ini.

“Kita menunggu pemerintah saja," kata Manajer Humas PT KAI Daop II Bandung, Kuswardoyo, singkat.

Mungkinkah jalur kereta api Bandung-Tanjungsari bangkit dari kematiannya 80 tahun lalu?

Foto dan teks : Prima Mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//