• Berita
  • Pagebluk Picu Naiknya Kasus Gangguan Jiwa pada Mahasiswa

Pagebluk Picu Naiknya Kasus Gangguan Jiwa pada Mahasiswa

Kondisi mental mahasiswa rentan terhadap stres hingga tendensi bunuh diri selama pandemi. Pihak kampus diminta cepat tanggap.

Vaksinasi Covid-19 pada mahasiswa di Bandung, 21 Juni 2021. Mahasiswa rentan mengalami gangguan jiwa selama pagebluk. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Bani Hakiki24 Juli 2021


BandungBergerak.idTim dosen dan pakar kejiwaan yang tergabung dalam asosiasi Ruang Tengah merilis data penelitian: sebanyak 11.315.000 mahasiswa di Jawa Barat mengalami stres di perkuliahan. Dari jumlah itu, seperempatnya didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan, namun hanya 9 persen saja yang menjalani pengobatan.

Peningkatan angka stres pada mahasiswa melambung sejak pagebluk Covid-19 melanda. Titik lonjakannya mulai terlihat ketika sistem perkuliahan dilakukan secara daring pada 15 Maret 2020 lalu.

Spesialis dokter jiwa Rumah Sakit Melinda Bandung, Teddy Hidayat menyatakan, gejala stres berpengaruh besar terhadap prestasi perkuliahan mahasiswa. Untuk itu, keadaan ini penting diketahui setiap pihak kampus.

“Selama pandemi, mahasiswa rentan dengan gejala stres. Banyak mahasiswa potensial yang terlihat baik-baik saja, tapi karena satu dan lain hal, prestasinya justru anjlok, bahkan banyak yang drop out,” jelasnya pada pertemuan virtual Ruang Tengah pada Sabtu (24/7/2021).

Tim Ruang Tengah juga telah melakukan sebuah penelitian tentang kesehatan jiwa mahasiswa di Bandung Raya. Penelitian ini dilakukan pada 863 mahasiswa di 79 bidang keilmuan dan 93 kampus sepanjang Juni hingga Juli 2021. Hasilnya, rata-rata lebih dari 60 persen mahasiswa mengalami stres, cemas, depresi, hingga tendensi bunuh diri.

Gejala gangguan jiwa tersebut diklasifikasikan sesuai tingkatannya, mulai yang ringan hingga sangat berat. Berikut persentase hasil penelitannya:

69 persen menyatakan mengalami stres. Sebanyak 19 persen stres sedang, 6 persen stres berat, 2 persen sangat berat, 31 persen di antaranya normal, sisanya stres ringan;

70,43 persen menyatakan mengalami kecemasan. Sebanyak 9,92 persen cemas ringan, 33,38 stres sedang, 16,87 cemas berat, 19,26 cemas berat, dan 20,57 di antaranya normal;

50,66 persen menyatakan mengalami depresi. Sebanyak 15,79 persen depresi ringan, 25,24 depresi sedang, dan 6,22 depresi berat, 7,42 depresi sangat berat, dan 45,33 di antaranya normal;

Banyak pula mahasiswa yang mengalami gejala atau tendensi bunuh diri. Dari jumlah keseluruhan, 16,5 persen mengaku tak punya harapan hidup ketika bangun tidur; 10,8 persen terpikir ide mengakhiri hidup, 1,6 persen melakukan percobaan bunuh diri; dan 7,4 persen mengaku telah berupaya menyakiti diri sendiri.

Penelitian ini dilakukan mengunakan alat ukur Depression Anxiety Stress Scales (DASS). DASS adalah skala asesmen diri sendiri (self-assesment scale) yang digunakan untuk mengukur kondisi emosional negatif seseorang yaitu depresi, kecemasan, dan stres.

Dokter spesialis kejiwaan lainnya, Arlisa Wulandari mengungkapkan deteski terhadap kesehatan jiwa mahasiswa juga terkendala oleh terbatasnya kegiatan tatap selama pandemi. Banyak di antara mereka yang memilih menutup diri dari gejala yang mereka alami.

“Banyak yang tidak berani konsultasi atau menceritakan gejalanya. Ada yang bisa mengatasinya sendiri, ada yang cari pelarian dan menutupi (gejala). Ini bahaya, kalau stres tidak diatasi, bisa berakhir ke tindakan self-harassment (menyakiti diri),” papar Arlisa Wulandari.

Fenomena tersebut juga diperparah anggapan bahwa kesehatan mental sebagai aib dan merasa malu untuk meminta pertolongan. Sehingga menyakiti diri sendiri dianggap bisa menghilangkan stres hingga depresi, tak sedikit yang melampiaskannya kepara orang lain.

Data penelitian tim Ruang Tengah sedidaknya mengonfirmasi temuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) selama ini, bahwa lebih dari 700.000 kasus bunuh diri terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya.

Baca Juga: Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian Layak
Psikologi Masyarakat Penting dalam Meredam Pagebluk

Penyebab dan Solusi, Kampus tak Bisa Berdiam Diri

Gejala gangguan kejiwaan pada mahasiswa di Bandung Raya tak hanya terjadi ketika kebijakan kuliah daring saja, melainkan meningkat seiring pagebluk berkepanjangan. Faktor penyebabnya sangat kompleks, mulai dari kondisi lingkungan yang tidak sehat, baik di dalam maupun di luar rumah. Sehingga gangguan jiwa menjadi tanggung jawab keluarga dan lingkungan masyarakat.

Pakar dari pertemuan virtual Ruang Tengah lainnya, Irwanto Ichlas menyoroti peran teknologi komunikasi digital yang nyatanya berbeda sekali dengan komunikasi tatap muka.

“Masih banyak mahasiswa yang belum bisa beradaptasi dengan pola komunikasi sekarang yang serba digital. Apalagi banyak kegiatan yang dibatasi dan memaksa mereka berdiam diri di rumah.” ungkapnya.

Para peneliti mengungkap gangguan kejiwaan yang dihadapi mahasiswa muncul dari permasalahan psikososial. Berikut sejumlah faktor penyebabnya:

Kesulitan perkuliahan secara daring sebanyak 68,8 persen;

Kebosanan dan kesulitan bersosialisasi perkuliahan daring sebanyak 78,5 persen;

Ketidakpastian kapan pagebluk berakhir sebanyak 92,8 persen;

Menurunnya prestasi akademik sebanyak 58, 4 persen;

Kesulitan memenuhi biaya hidup sebanyak 45,7 persen;

Kesulitan memenuhi biaya kuliah sebanyak 43,1 persen. Masalah atau konflik keluarga sebanyak 34,3 persen;

Sejumlah mahasiswa juga mengakui terbatasnya terhadap akses mendapat pertolongan. Berikut hasilnya:

Ketersediaan layanan konseling psikologis untuk mahasiswa 49,4 persen;

Ketersediaan relawan yang membantu saat krisis mental 47 persen;

Pernah mengikuti pertolongan pertama pada krisis mental hanya 12,8 persen.

Ada pula sejumlah penyelesaian pribadi yang telah dilakukan sejumlah mahasiswa untuk mengatasi gejala gangguan kejiwaannya. Di antaranya: tidur 77, 6 persen; self-care 51,8 persen; bercerita 47,7 persen; bermain game 41,4 persen; berolahraga 26 persen; menulis catatan harian (diary) 15,2 persen; curhat di media sosial 13,9 persen; mencari teman di dunia maya 9,3 persen, dan layanan konselin daring sebanyak 4,8 persen.

Irwanto menegaskan mengatasi permasalahan kesehatan mental merupakan kewajiban moral setiap perguruan tinggi. Ia mendesak setiap kampus agar mengadakan screening online. Bentuknya bisa melalui konseling rutin secara daring.

“Sudah jadi tanggung jawab universitas untuk mengatasinya, terutama saat pagebluk seperti ini. Harus ada penjaringan, baik untuk mahasiswa dan dosennya. Wah, repot kalau ada dosennya juga yang sakit (mental),” tegasnya.

Konseling daring tersebut harus dilakukan untuk mengurangi tekanan psikis yang dihadapi mahasiswa. Dalam praktiknya, setiap badan konseling perlu membekali mahasiswa cara mengatasi tekanan (stress management). Selain itu, setiap kampus direkomendasikan mendorong mahasiswanya agar mampu menemukan arti hidupnya masing-masing.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//