• Kampus
  • Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian Layak

Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian Layak

Penderita masalah kesehatan jiwa kerap dicap negatif dan mendapat diskriminasi. Masih ada pemasungan dan pengucilan.

Seminar Online FKM UI Seri 24: Perlindungan Sosial dan Stigma bagi Penyandang Disabilitas, Rabu (30/6/2021). (Dok. UI)

Penulis Iman Herdiana19 Juli 2021


BandungBergerak.idBicara kesehatan tidak lengkap tanpa menyertakan kesehatan jiwa. Meski dalam kenyataannya, kesehatan jiwa di Indonesia masih belum mendapat pertahian yang layak. Padahal sebuah riset menyatakan, potensi kerugian ekonomi bangsa akibat penyakit jiwa cukup besar, yaitu Rp 1 miliar per hari dan jika dilakukan perawatan mandiri oleh keluarga kerugiannya menjadi Rp 1,5 miliar per hari.

Angka tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI), Budi A Keliat, dalam “Seminar Online FKM UI Seri 24: Perlindungan Sosial dan Stigma bagi Penyandang Disabilitas”, dikutip dari laman resmi UI, Selasa (19/7/2021).

Karena itu, Budi menyatakan seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada layanan kesehatan mental/jiwa. “Membicarakan perihal kesehatan mental di Indonesia, hingga kini hal tersebut belum mendapatkan perhatian yang layak,” katanya.

Pemerintah seharusnya dapat melakukan langkah-langkah yang lebih komprehensif terkait upaya penanganan kesehatan jiwa, yang terdiri dari langkah-langkah promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Langkah-langkah tersebut dapat diwujudkan melalui upaya assessment yang berdasar pada indikator keluarga sehat, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa serta edukasi yang dimulai sejak jenjang Sekolah Dasar, penyediaan obat, serta pelayanan kesehatan jiwa yang layak bagi kelompok disabilitas. Semua upaya ini harus dilakukan secara konsisten dan terus dikuatkan oleh semua elemen masyarakat sehingga kasus diskriminasi seperti pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat dicegah.

Budi menilai, upaya penanganan yang dilakukan secara setengah-setengah dapat mengakibatkan dampak jangka panjang yang tidak baik. Sebagai contoh, kasus kekambuhan yang sering terjadi pada pasien ODGJ. Hal ini sebenarnya bisa terjadi karena pengobatan gangguan jiwa dengan kondisi akut di rumah sakit jiwa hanya ditanggung selama 23 hari oleh sistem jaminan sosial.

Sehingga pada saat pasien keluar dari rumah sakit, sang pasien tersebut tidak mendapat pemantauan dari tenaga kesehatan jiwa sehingga mengalami kekambuhan.

“Maka diperlukan sebuah sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komperhensif dan kolaboratif antar lembaga pelayanan masyarakat seperti Puskesmas, Kecamatan, Kelurahan hingga RT/RW untuk melakukan pemantauan bagi penyintas ODGJ,” ujarnya.

Upaya penanganan secara komperhensif oleh pemerintah ini sesuai dengan bunyi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28H ayat 2 yang mengamanatkan pada negara untuk menjamin perlindungan hak masyarakat.

Baca Juga: Psikologi Masyarakat Penting dalam Meredam Pagebluk
Psikologi UPI Bahas Solusi Memutus Kekerasan dalam Pacaran
Mahasiswi Psikologi Unjani Mengajar di Papua

Perlakuan Diskriminatif pada Penyadang Disabilitas Psikososial

Sudah menjadi rahasia umum, masyarakat cenderung memberikan label negatif bagi para penderita masalah kesehatan jiwa. Penyandang disabilitas psikosial ini cenderung mengalami diskriminasi, seperti kesulitan mendapat pekerjaan, hak memilih dalam pemilihan umum, kesulitan dalam mendapatkan hak asuh anak, dan lain-lain.

Disamping itu, penderita disabilitas gangguan jiwa juga mengalami berbagai diskriminasi secara fisik seperti pemasungan dan dirantai.

Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, mengatakan bentuk rehabilitasi terbaik bagi penyandang disabilitas psikososial harus bersifat inklusif.

“Dalam artian berada di tengah-tengah masyarakat, bukan bersifat pengurungan seperti banyak yang terjadi saat ini. Selain itu pemerintah juga harus menyediakan akomodasi berupa tunjangan dan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas psikososial,” ujarnya, pada acara yang sama.

Yeni Rosa Damayanti memaparkan, saat ini terdapat hampir 13.000 penyandang disabilitas psikososial berada di dalam panti sosial yang tersebar di seluruh Indonesia. Penderita disabilitas psikososial juga mengeluarkan living cost 28 persen lebih besar dibanding penduduk normal sehingga memang upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif dari pemerintah harus segera diupayakan.

Narasumber lainnya, Ari Dwi Aryani, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Primer Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), mengatakan Jaminan Kesehatan Nasional menyediakan layanan kesehatan jiwa pada tingkat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan tingkat lanjutan.

“BPJS Kesehatan juga memberikan bantuan penyediaan alat bantu dengar dan alat bantu gerak bagi penyandang disabilitas psikososial dengan spesifikasi sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga kini para penyandang disabilitas tidak lagi merasa terdiskriminasi dan dikucilkan,” ujar Dwi.

Menurutnya, akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia telah didukung JKN yang diklaim mampu mencegah terjadinya kemiskinan pada 8,1 juta orang pada tahun 2019 dan menurunkan koefisien gini (angka ketimpangan sosial masyarakat) yang besar di masyarakat.

“Jika dahulu, pelayanan kesehatan seperti rumah sakit hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang dan terkesan mewah, sekarang itu bisa diakses oleh semua golongan dengan hadirnya BPJS yang turut menggerakkan perekonomian Indonesia,” kata Dwi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//