• Cerita
  • Cerita Orang Bandung (20): Kering Keringat Tiga Kuli Panggul Pasar Baru

Cerita Orang Bandung (20): Kering Keringat Tiga Kuli Panggul Pasar Baru

Untuk makan, mereka menanak nasi bersama, lalu membeli lauk seadanya: dua potong gorengan seharga seribu rupiah.

Cecep, salah satu kuli panggul di Pasar Baru Bandung, dipotret di basemen pasar pada Jumat (16/7/2021). Pandemi membuat pendapatan ayah dua anak ini kian tidak menentu. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau26 Juli 2021


BandungBergerak.idSuasana basemen Pasar Baru Bandung membuat sesak dada. Lantainya dingin, kusam. Sedikit sekali cahaya yang berhasil menerobos masuk. Deretan kios tergembok.

Cecep (27), salah seorang pekerja kuli panggul, merasakan betul suasana yang menyesakkan itu. Bekerja sejak pagi hingga kumandang adzan salat Jumat terdengar, ia baru sekali mendapat panggilan mengangkut barang.

Rezeki itu datang dari pemilik toko tas sekolah di lantai 2 Pasar Baru yang masih beroperasi demi melayani pembelian daring (online). Setidaknya Acep sudah mengantongi uang untuk sekali makan hari itu.

“Sudah tadi dapat 10 ribu rupiah, satu kali ngangkat,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id, Jumat (16/7/2021) lalu. “Jadi kalau lagi dapat ya dapat, kalau nggak, ya nggak sama sekali.”

Sudah sejak 3 Juli 2021, pemerintah menggulirkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk mengurangi penyebaran virus di tengah masa pandemi. Pembatasan dan pelarangan aktivitas serta mobilitas warga menjadi pukulan hebat bagi para pelaku usaha di Pasar Baru Bandung yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian. Tidak terkecuali kuli panggul seperti Cecep.

Susasana dingin basemen Pasar Baru sudah menjadi karib Cecep sejak mulai bekerja sebagai kuli panggul pada 2003 lalu. Ia bertahan hidup dengan bekerja serabutan mengangkat barang-barang pemilik toko di Pasar. Dengan ijazah sekolah dasar, sangat sulit bagi Cecep mendapat pekerjaan lain. Kebugaran tubuh menjadi modal utamanya.

Baca Juga: Cerita Orang Bandung (19): Jiwa Rocker Penjual Minuman Cepat Saji
Cerita Orang Bandung (18): Penjual Lotek yang Juga Pengemudi Ojek

Cecep bukannya tidak mau bersekolah tinggi. Masalah ekonomi menjadi ganjalan. Sebagai anak yang lahir di keluarga yang tidak berkecukupan, ia hanya bisa menerima kondisi tersebut.

Sejak putus sekolah, Cecep mulai bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Semua pekerjaan dia lakoni, yang penting halal. Ia pernah bekerja sebagai tukang bangunan di kampung halamannya di daerah Bendungan Saguling, Cililin, sebelum berpindah ke pekerjaan lain lagi.

Saat ini Cecep berjuang mencari nafkah untuk keluarga kecilnya di rumah.  Ia memiliki dua orang anak. Si sulung laki-laki berusia 7 tahun sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, sedangkan bungsu perempuannya masih berusia 4 tahun.

“Sudah satu bulan saya belum pulang. Biasanya tiap Minggu pulang,” ungkap Cecep. “(Harus) bawa duit (kalau pulang), sekarang usahanya lagi musim gini (pandemi), jadi ekonominya lagi menurun.”

Ingar pasar tak lagi terdengar di basemen Pasar Baru. Jangankan menyisihkan untuk anak istrinya di kampung, Cecep masih harus memikirkan bagaimana bisa bertahan di pasar selama hari-hari paceklik dan tanpa pekerjaan.

Tidak jarang, betul-betul tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan Cecep. Tidak barang dangangan yang harus dipanggul, tak ada keringat yang bercucuran. Ini juga berarti tak ada uang diperoleh hari itu. Untuk makan, Cecep mengais sisa-sisa uang yang didapat pada hari sebelumnya. 

Oha (71) sudah bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Baru sejak 42 tahun lalu. Ia mengalami bulan-bulan tersulit dalam hidupnya akibat pagebluk yang mencengkeram sejak tahun 2020 lalu. (Foto: Emi La Palau)
Oha (71) sudah bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Baru sejak 42 tahun lalu. Ia mengalami bulan-bulan tersulit dalam hidupnya akibat pagebluk yang mencengkeram sejak tahun 2020 lalu. (Foto: Emi La Palau)

Makan dan Tidur Seadanya

Penghasilan sebagai kuli panggul tidaklah seberapa. Untuk menghemat pengeluaran, kebanyakan dari mereka memilih tidur di lantai atau kursi-kursi kosong di sudut pasar. Untuk makan, mereka menanak nasi bersama, lalu membeli lauk seadanya: dua potong gorengan seharga seribu rupiah.

Oha (71) sudah bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Baru sejak 42 tahun lalu. Jauh lebih lama dibandingkan Cecep. Pandemi Covid-19 memberinya hari-hari terberat. Dua pekan PPKM Darurat menghanguskan pendapatan hariannya. Tak ada lagi keringat yang membasahi pelipis seperti ketika ia dipaksa sibuk mengangkat barang-barang dagangan naik-turun tangga.

Oha berasal dari Cicalengka. Jika biasanya ia pulang seminggu dua kali untuk memberikan uang kepada anak dan istrinya, kali ini ceritanya sama sekali berbeda. Sejak pagi Oha belum mendapatkan satu saja orderan mengangkat barang.

“Ya repot pokoknya mah tukang panggul di sini,” kata Oha. “Dapat 15 ribu sehari, buat makan juga gak cukup. Repot.”

Eman (49) bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Baru sejak 10 tahun lalu. Selama pandemi, tak ada uang bisa disisihkan untuk dibawa pulang ke kampung halaman di Ciamis. (Foto: Emi La Palau)
Eman (49) bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Baru sejak 10 tahun lalu. Selama pandemi, tak ada uang bisa disisihkan untuk dibawa pulang ke kampung halaman di Ciamis. (Foto: Emi La Palau)

Pulang Jadi Beban

Kesulitan yang sama juga dirakan oleh Eman (49). Sepuluh tahun lalu ia berhenti berjualan kelontongan di kampung halamannya di Ciamis untuk mulai bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Baru. Pandemi membuat segalanya sulit baginya.

Eman biasanya pulang sebulan sekali. Namun saat ini pilihan terbaik baginya adalah bertahan di Bandung. Tak ada uang bisa ia bawa pulang, tak ada pekerjaan yang bisa ia lakukan di kampung halaman. Kepulangannya justru dia rasakan bakal jadi beban keluarga.

“Wah, susah sekarag. Pulang gak bisa, di sini cari makan juga susah. Kadang buat makan bisa, cuman kalau buat ke kampung gak cukup,” ungkapnya.

Begitulah Eman, juga Cecep, Oha, dan para kuli panggul Pasar Baru lain, terperangkap di tengah gelombang pandemi. Di basemen Pasar Baru, dengan lantainya yang dingin dan kusam, mereka bertahan sekuat tenaga.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//