• Cerita
  • Cerita Orang Bandung (19): Jiwa Rocker Penjual Minuman Cepat Saji

Cerita Orang Bandung (19): Jiwa Rocker Penjual Minuman Cepat Saji

Fajar Setiadi (38), akrab disapa Jey, menetap di Bandung setelah mengembara ke berbagai kota. Ironisnya, impian jadi seniman musik harus berhenti di kota ini.

Fajar Setiadi (38), akrab disapa Jey, ditemui di warung minuman cepat saji di kawasan Titiran, Bandung, akhir Juni 2021 lalu. Mimpi Jey sebagai musisi harus dipadamkan justru ketika ia mulai menetap di kota idamannya, Bandung. (Foto: Bani Hakiki)

Penulis Bani Hakiki25 Juli 2021


BandungBergerak.idLagu rock era 1990-an dan 2000-an awal mengudara tanpa jeda di sebuah pujasera (pusat jajanan serba ada) di bilangan Jalan Titiran, Bandung, akhir Juni 2021 lalu. Pujasera ini diisi oleh 8 pedagang dengan lapaknya masing-masing. Alunan lagu rock itu datang dari sebuah gerobak minuman cepat saji yang ditunggui Fajar Setiadi (38).

“Daun Muda”, begitulah Fajar menamai usahanya.  Sudah sekitar 4 tahun lebih pria yang akrab disapa Jey ini berjualan. Ia sudah membuat lebih dari 20 varian minuman dengan bahan dasar teh, susu, kopi, dan cokelat. Harganya bervarasi, mulai dari 10 ribu sampai 15 ribu rupiah untuk per gelas plastik. Gerobaknya buka setiap hari dari pukul 11 siang hingga 8 malam.

Jey mulai menetap di Bandung sejak sekitar tahun 2016. Sebelumnya, ia sempat beberapa kali main ke Kota Kembang, dan dibuat jatuh cinta dengan lingkungan dan cuacanya. Jey gemar bermain musik sejak kecil. Dengan tinggal di Bandung, ia berharap bisa bertemu dengan orang-orang kreatif dan memulai karier.

“Saya pengembara asli Ciamis. Dulu hobi saya nge-band, tapi sudah istirahat. Sempet nyobain genre dari metal, rock, sampai grindcore,” tutur Jey sambil membenarkan letak topi yang selalu ia pakai setiap berjualan.

Sejak lulus SMA, kecintaan Jey pada musik membuatnya memilih berpetualang. Bangku kuliah di Universitas Siliwangi Tasikmalaya pun ia tinggalkan. Ingin melihat dunia lebih jauh, Jey memutuskan hengkang dari kampung halaman.

Dari penghasilan warung minuman cepat saji ini, Jey menghidupi istri dan tiga anaknya yang saat ini tinggal di kawasan Ciumbuleuit. (Foto: Bani Hakiki)
Dari penghasilan warung minuman cepat saji ini, Jey menghidupi istri dan tiga anaknya yang saat ini tinggal di kawasan Ciumbuleuit. (Foto: Bani Hakiki)

Berhenti di Bandung

Jey mulai bermain musik dari panggung ke panggung, meski belum menghasilkan uang. Perjalanannya ini justru mengantarkannya mengenal dunia fotografi yang di kemudian hari sempat jadi pekerjaan utamanya. Jey bekerja sebagai fotografer upacara pernikahan selama beberapa tahun di Surabaya.

Namun, obsesinya pada gitar membuat Jey memutuskan pindah ke Bekasi. Di sana ia bekerja sebagai staf sebuah perusahaan peralatan musik ternama asal Jepang hanya demi mempelajari cara pembuatan gitar.

Dari beberapa kota lain yang pernah ia sambangi dan tinggali, Jey merasa bahwa Bandung adalah pilihan tepat untuk menjalani sisa hidupnya. Ia tidak punya modal besar untuk hidup di kota ini. Yang dia miliki hanyalah kemauan untuk menjadi apa saja walau ia harus memulai segalanya dari nol lagi. Jey sempat mencoba berjualan kaus tapi tidak bertahan lama. Bahkan ia sempat menjalani hidup di jalanan sebagai pengamen.

“Sudah pergi ke sana-sini, orang-orangnya gak seramah di Bandung. DIbanding kota besar yang lain, di sini saya paling betah karena orang-orangnya kreatif. Bagi orang Bandung itu, segala bisa dijadiin karya,” ujar Jey.

Ironisnya, justru di kota yang paling ia sukai inilah Jey mulai memadamkan impiannya menjadi musisi. Jey menyadari impian itu tidak pernah memberinya penghasilan yang cukup untuk bertahan hidup. Akhirnya, tercetuslah sebuah ide untuk berjualan minuman cepat saji. Demikianlah sejak November 2017, pekerjaan ini terbukti mampu menopang hidup keluarganya.

Meski impiannya jadi musisi kini hanya tinggal cerita, setidaknya dunia ini telah mempertemukan Jey dengan pendamping hidup. Sang istri dulunya adalah seorang vokalis grup musik yang tampil dari satu kafe ke kafe lain di Bandung. Saat ini Jey tinggal bersama keluarganya di kawasan Ciumbuleuit. Ia dikaruniai tiga orang anak. Dua anak masih di bangku sekolah, sementara si bungsu baru berumur tiga bulan.

Jey belum berpikir untuk mencoba bisnis lain. Ia bersyukur usaha gerobak minuman cepat saji ini, dengan biaya sewa tempat 1 juta rupiah per bulan, masih bisa mencukupi kehidupan keluarganya. Ia bisa mengantongi uang paling banyak 1 juta rupiah di hari-hari ramai pembeli. 

Baca Juga: Cerita Orang Bandung (18): Penjual Lotek yang Juga Pengemudi Ojek
Cerita Orang Bandung (17): Dari Gemerlap Panggung Musik ke Keras Jalanan
Cerita Orang Bandung (16): Kerelaan Rajan sebagai Pengawal Ambulans

Pengamen adalah juga Seniman

Ketika pertama kali memutuskan tinggal di Kota Bandung, Jey tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Sambil menunggu pekerjaan yang layak, ia berinisiatif untuk mencari uang di jalanan. Bermodal gitar akustik dan keahliannya bermusik, Jey mengamen di sekitaran Jalan Cihampelas atau perempatan Jalan Pahlawan.

Hasil ngamen-nya hanya cukup untuk membeli makan sehari-hari saja. Malah biasanya uang itu ludes dipakai membeli kopi dan rokok. Jey mengaku tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya saat itu karena dari dulu ia sudah terbiasa hidup di jalanan. Ia sempat beberapa kali menyewa kamar kos, tapi takj arang juga ia harus ikut tinggal di rumah teman-temannya, atau tidur di emperan toko.

Bagi Jey, pekerjaan pengamen atau musisi jalanan ini sama seperti seniman pada umumnya. Tidak ada jalan mudah untuk menjadi seorang seniman yang sukses. Yang membuatnya bertahan sebagai pengamen semata-mata adalah gairah bermain musik. Menyajikan sebuah lagu di hadapan orang sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Jey.

“Waktu dulu ngamen, (saya) nyuguhin lagu-lagu yang banyak orang kenal, dari (lagu) Barat sampai lokal. Saya selalu ngebuat para pendengar saya senyaman mungkin, karena saya di situ sebagai seniman, bukan cuma ngamen,” tutur pria yang mengaku sebagai pendengar Rage Against The Machine ini.

Ketika masih tinggal di Ciamis, Jey sering kali mengisi panggung di beberapa festival pesta rakyat. Obsesinya dalam bermain musik membuatnya tidak begitu menghiraukan bayaran yang diterima. Bahkan, sering kali ia dan bandnya tampil tanpa dibayar, yang penting seru. Harapan untuk sukses di Bandung sebagai rocker memang tak pernah tercapai, tapi Jey tidak menyesal. Menjadi pengamen merupakan sebuah kenangan indah yang pernah ia alami.

Sejak kecil, Jey telah menggemari dunia seni. Pria dengan ciri khas topi terbalik ini selalu menganggap seniman, dalam segala bidang, merupakan sosok yang keren dan cerdas. Pandangan inilah yang ia akui telah membawa hidupnya ke titik sekarang.

“Bagi saya, semua seniman itu hebat,” kata Jey. “Pengamen juga punya hak yang sama.” 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//