• Cerita
  • Cerita Orang Bandung (18): Penjual Lotek yang Juga Pengemudi Ojek

Cerita Orang Bandung (18): Penjual Lotek yang Juga Pengemudi Ojek

Yulia Rosita (34) pernah selama enam tahun bekerja sebagai buruh yang diupah di bawah UMK. Dia sekarang bertahan hidup sebagai penjual lotek dan pengemudi ojek.

Yulia Rosita (34), yang bertahan hidup dengan bekerja sebagai penjual lotek sekaligus pengemudi ojek, ditemui Minggu (11/7/21). Sudah lebih dari 10 tahun terakhir dia menjadi orangtua tunggal bagi putri semata wayangnya. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri21 Juli 2021


BandungBergerak.id - Yulia Rosita (34) pernah bekerja selama enam tahun sebagai perajin alas kaki di sebuah perusahaan ternama tak jauh dari rumahnya di kawasan Pagerwangi, Lembang. Selama itu pula dia menerima bayaran di bawah upah minimum kota/kabupaten (UMK).

Pada tahun 2010, Yulia membawa pulang uang 113.000 ribu rupiah setiap pekannya. Itu sudah termasuk insentif kerja lembur. Keterampilannya mengasah sandal dengan gurinda dihargai 15 ribu rupiah per dua jam lembur.

Tidak ada jaminan keselamatan atau kesehatan yang diterima Yulia. Bahkan tunjangan uang makan pun tiada. Tanggung jawab atas hidup dirinya dan keluarganya memaksa Yulia sekuat mungkin bertahan bekerja di perusahaan itu.

Namun pada tahun 2016, perempuan yang sejak umur 21 tahun menjadi orangtua tunggal bagi seorang anak perempuan itu, memberanikan diri untuk meninggalkan perkerjaannya itu. Dia tidak pernah menyesal meski saat itu pesangon yang diperoleh tak lebih banyak dari 150 ribu rupiah.

“Mendingan jadi penjual kopi, walau cuma uang dua ribuan yang dihitungnya, tapi pendapatan gak akan dipotong setengahnya akibat sidik jari telat nempel satu menit,” kenang Yulia, sambil menggerutu, ketika ditemui BandungBergerak.id, Minggu (11/7/21).

Di perusahan tempat Yulia bekerja, tidak ada serikat pekerja yang memperjuangkan perbaikan kesejahteraan. Para rekan kerjanya pun tak pernah mempertanyakan hak yang semestinya mereka dapatkan. Yulia sering sendirian menyuarakan pemberontakan.  

Pernah suatu ketika Yulia dibuat sangat geram oleh kebijakan perusahaan. Dia dituntut tetap kerja lembur, dan tidak diberi izin cuti, ketika sang anak sedang menderita sakit di rumah.

“Sekarang gini, saya kan kerja untuk anak. Kalau anak sakit dan saya gak boleh cuti, buat apa saya kerja?” katanya.  

Putri semata wayang Yulia saat ini baru saja masuk salah satu sekolah menengah atas (SMA) di Bandung. Sebelumnya selama tiga tahun dia menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren di Subang. Selama itu pula Yulia tidak bisa bertemu sang buah hati.

Yulia Rosita memiliki lima orang pelanggan yang harus dia antarkan setiap hari. Ada anak sekolah, ada juga pekerja kantoran. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)
Yulia Rosita memiliki lima orang pelanggan yang harus dia antarkan setiap hari. Ada anak sekolah, ada juga pekerja kantoran. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)

Kepedulian Pelanggan

Melepas status buruh, Yulia Rosita berjualan lotek dan gorengan di depan rumahnya. Setiap harinya, dia bangun jam empat pagi lalu bergegas baik sepeda motor menuju Pasar Ciroyom untuk membeli bahan baku yang dibutuhkan. Meski jarak dari rumahnya mencapai15 kilometer, Pasar Ciroyom jadi pilihan Yulia karena bahan-bahan bisa dia beli dengan harga lebih murah dibandingkan pasar-pasar lainnya.

Untuk menambah penghasilannya, Yulia juga berkerja sebagai pengemudi ojek langganan. Pekerjaan yang sudah dilakoninya selama satu tahun terakhir. Saat ini Yulia memiliki lima orang pelanggan tetap. Ada anak sekolah, ada juga orang pekerja kantoran.

Artinya, setiap hari paling sedikit ada lima rute harus dilewati Yulia. Sebagai imbalan, kelima pelanggan itu secara rutin memberi upah pada Yulia. Ada yang setiap satu minggu, ada pula yang satu bulan sekali.

Meski telah memiliki pelanggan, Yulia tidak berhenti berjualan lotek. Ia terus melayani pembeli di warungnya sampai waktu mengantar atau menjemput pelanggan ojek tiba.

“Saya mulai kerja jam 4 subuh. Sekitar jam 8 saya antar dulu pelanggan, lalu jam 10-an jaga warung. Keluar lagi jam 3 atau jam 4an untuk jemput langganan,” tutur Yulia.

Baca Juga: Cerita Orang Bandung (17): Dari Gemerlap Panggung Musik ke Keras Jalanan
Cerita Orang Bandung (16): Kerelaan Rajan sebagai Pengawal Ambulans
Cerita Orang Bandung (15): Endang dan Nasib Selebar Jalan Parakan Saat

Ketika di pusat kota dilakukan banyak pembatasan pergerakan warga, kawasan tempat tinggal Yulia relatif aman karena tak banyak orang yang keluar-masuk kampung. Pagebluk Covid-19, diakui Yulia, tidak terlalu berpengaruh pada pendapatan menjual lotek dan gorengan, meski pernah juga dia diminta menutup warung untuk sementara waktu.

Yulia Rosita merasa mujur, ketika saudaranya tak bisa membantu saat dirinya dalam kesulitan, para pelanggan ojeknya selau menunjukkan kepedulian. Bahkan mereka tak sungkan menawarkan bantuan. Ketika Yulia sakit, para penggannya itu menyempatkan diri untuk menjenguk.

“Jujur kalau saya mah, dulur jadi batur, batur jadi dulur (saudara jadi orang lain, orang lain jadi saudara),” katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//