Industri Kreatif Kota Bandung Buntu selama Pagebluk, belum Dilirik Pemerintah
Kancah industri kreatif Kota Bandung terus meredup sejak awal pagebluk Covid-19. Orang-orang di balik layar paling merana.
Penulis Bani Hakiki2 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Para pelaku industri kreatif Kota Bandung menghadapi berbagai kebuntuan selama pagebluk Covid-19 berkepanjangan. Sektor ini meredup sejak Maret 2020 tahun lalu, padahal Kota Bandung dikenal sebagai salah satu “rumah seniman” atau “kota musik”.
Daftar yang disusun komunitas asal Jatinangor, Teras Kolektif menunjukkan, ada sebanyak 93 gigs atau pentas musik dan pameran seni non-sponsor selama rentan waktu Januari 2019 hingga Februari 2020 yang dibatalkan. Data tersebut belum termasuk acara yang diselenggarakan secara virtual atau daring. Sementara pentas bersponsor bisa diselenggarakan lebih dari satu kali setiap pekannya.
Penulis sekaligus pegiat kancah musik Bandung, Prabu Pramayougha mengutarakan bagaimana masa pagebluk berpengaruh secara signifikan dalam industri kreatif, terutama di bidang musik dan seni. Secara ekosistem, berkurangnya kegiatan tatap muka merupakan kendala esensial terhadap menurunnya geliat kancah tersebut.
“Bentuk media paling mumpuninya ya live performance. Seketika pandemi menyerang, otomatis panggung pun ditiadakan untuk menghindari penyebaran virusnya. Jadi, beberapa pelaku akhirnya terpaksa harus beku karena tidak ada interaksi di antaranya,” tuturnya, kepada BandungBergerak.id, Sabtu (31/7/2021) siang.
Hal yang bisa dilakukan para musisi dan seniman saat ini, hanya menabung karya dalam masa “kontemplasi” terpanjang dengan harapan bisa ditampilkan nanti ketika pagebluk berakhir. Ada pula sejumlah pelaku yang merilis karya selama pagebluk berlangsung, memanfaatkan teknologi seperti live streaming atau perilisan karya secara digital. Namun, pendapatannya tidak sebanding dengan biasanya karena promosi secara daring tidak sebesar panggung dan pameran konvensional.
Prabu menjelaskan hampir tidak ada harapan bagi para pegiat industri kreatif selama pagebluk Covid-19, khususnya bagi mereka pegiat industri mandiri atau non-sponsor. Para pegiat terpaksa menjalani kehidupan lain di masa sulitnya menggelar pertunjukan. Apalagi, berbagai kebijakan pembatasan di Kota Bandung berjalan cukup ketetat pada ranah tersebut. Kebanyakan event organizer (EO) pun tak berani ambil risiko, meski ada segelintir yang menyelenggarakan acara secara diam-diam.
Kendati demikian, kegiatan panggung daring bisa jadi obat penawar asa yang kian surut oleh pagebluk. Meski pun, umpan balik dari pilihan alternatif itu dinilai tidak merata, terutama dalam hal penghasilan.
“Ya, mau tidak mau gigs online harus tetap dilakukan agar berbagai belah pihak di scene bisa tetap mencari penghasilan. Buat orang-orang belakang layar juga, untuk para pemegang saham bisa mengalirkan dananya ke audience yang lebih spesifik,” ujarnya.
Dampak pandemi Covid-19 tak hanya kepada musikus dan senimannya, tapi juga terhadap para pekerja di balik layar seperti kru panggung, artisan pemeran, hingga penyelenggara acara atau EO. Sementara itu, belum ada kebijakan resmi dari pemerintah yang bisa memberi napas segar untuk para pegiat industri kreatif ini.
Baca Juga: Selain Bansos, Seniman Berharap ada Relaksasi Pertunjukan dengan Prokes
Menggugat Nasib Seniman Tradisi di Masa Pandemi
Ironi Orang-orang di balik Layar
Kabar yang lebih ironis justru terdengar dari orang-orang di balik layar industri kreatif. Tidak seperti musisi atau seniman yang relatif masih bisa berkarya selama dirumahkan, kesempatan orang-orang di balik layar hampir hilang sepenuhnya. Tidak sedikit mereka yang berusaha mencari pekerjaan lain.
Felmy Herdianto, seorang kru grup musik selancar kontemporer The Panturas mengungkapkan, keadaan ini seharusnya jadi salah satu tanggung jawab pemerintah. Namun ekosistem industri musik saat ini terkesan dibiarkan acak-acakan. Pemerintah maupun DPR mesti paham bahwa tak ada panggung sama dengan tak ada penghasilan.
“Seharusnya rencana UU royalti musik di (DPR) Komisi X kemarin diteruskan, tapi harus bijak dan adil. Tapi, kayaknya mereka (angota DPR) gak serius. Padahal itu bisa jadi sumber penghasilan selama gak ada panggung,” ungkap Felmy Herdianto, melalui sambungan telepon, Sabtu (31/7/2021) siang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu. Isinya seputar hak penghasilan musikus dari karya lagunya yang diputar secara bebas di berbagai gerai atau pertokoan. Namun, timbul sejumlah pro dan kontra di antara pelaku industri, khususnya di bidang musik.
Hingga saat ini, Felmy tidak melihat ada upaya dari pihak pemerintah mengenai perekonomian para pekerja industri yang ranahnya beku selama pagebluk. Sementara, panggung daring sama sekali tidak menjawab keluhan para pelaku industri di Kota Bandung.
“Masyarakat gak begitu support untuk hal semacam itu. Saya juga gak tahu kenapa, mungkin (tatap muka) udah jadi kebiasaan (guyub) orang Bandung,” katanya.
Sampai saat ini, belum ada pendataan resmi oleh Pemkot Bandung mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap industri kreatif. Sementara Kepala Disparbud Jabar Dedi Taufik mengatakan, dampak Covid-19 pada sektor industri pariwisata dan budaya sebanyak 65 ribu jiwa. Dari angka itu, 15 ribu jiwa di antaranya adalah seniman dan budayawan. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah seiring dengan belum tuntasnya pagebluk.