• Berita
  • Layanan Kesehatan Balita di Kota Bandung Tersendat selama Pagebluk

Layanan Kesehatan Balita di Kota Bandung Tersendat selama Pagebluk

Layanan kesehatan balita selama pagebluk Covid-19 terhambat tren kenaikan kasus Covid-19. Di sisi lain, tingkat kematian bayi di Kota Bandung tinggi.

Petugas Puskesmas Jajaway melakukan pelacakan dan pengetesan warga positif Covid-19 dengan gejala ringan di Bandung, 22 Juli 2021. Puskesmas jadi ujung tombak penanganan pasien yang tengah isoman di saat rumah sakit kolaps. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Bani Hakiki6 Agustus 2021


BandungBergerak.idPagebluk Covid-19 di Kota Bandung menyulitkan ibu menyusui mengakses layanan kesehatan balita. Apalagi di tengah tingginya lonjakan kasus penularan. Faktor kesulitan mereka beragam, mulai dari tingginya laju infeksi, penuhnya fasilitas kesehatan, dan merosotnya perekonomian orang tua.

Sepasang suami-istri, Rizal Nurzaman dan Windi Iryanti menghadapi kesulitan itu di saat anak pertama mereka lahir. Pasangan muda ini menikah pada pertengahan November 2019 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Anggita pada awal Juli 2021. Hari kelahiran anaknya itu bertepatan dengan lonjakan kasus Covid-19 di Jawa Barat, data Pusat Informasi Covid-19 Jawa Barat mencatat sebanyak 4.834 kasus.

Rizal mengungkapkan, hal yang paling mereka khawatirkan adalah risiko potensi penularan virus yang semakin luas cakupannya. Mereka merasa terjebak dengan keadaan.

“Seinget saya waktu itu, kasus lagi tinggi-tingginya ya walaupun gak kayak sekarang. Belum ada pengalaman punya anak dan anak saya lahir di tengah pandemi. Agak paranoid mau keluar, karena takut bawa virus ke rumah,” ungkapnya melalui telepon pada Jumat (6/8/2021).

Sekitar sebulan sebelum kelahiran anaknya, Rizal terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sebuah perusahaan dan istrinya tidak bekerja. Tabungan mereka ketika itu hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari selama sekitar 2 sampai 3 bulan saja. Mendapat kerjaan baru pada masa itu tidaklah mudah, mereka pun terpaksa harus mengirit tabungan.

Menjelang memasuki bulan kedua, sang bayi menunjukkan gejala bilirubin (penyakit kuning). Rizal dan Windi pun berkonsultasi kepada dokter Junita Sinaga, seorang dokter anak yang membantu kelahiran Anggita di RS Hermina. Sesuai arahan konsultasi, Anggita memerlukan segera penanganan fototerapi yang alatnya hanya tersedia di fasilitas kesehatan.

Junita menjelaskan, bilirubin merupakan zat kuning yang muncul dari proses penghancuran sel darah merah. Kondisi ini seringkali ditemuka pada bayi-bayi yang baru lahir, bisa berakibat kematian bila kadar zatnya terlalu tinggi dan tidak segera ditangani.

“Sebenarnya (bilirubin) bisa sembuh dengan sendirinya, karena cukup wajar dengan fungsi hati yang belum maksimal pada bayi. Ya, sekitar seminggu-dua minggu (hilang) kalau rajin berjemur. Tapi, seingat saya, untuk kasus Anggita itu harus dirawat,” paparnya melalui telepon pada Jumat (6/8/2021).

Jaminan kesehatan pada usia balita sangat menentukan tumbuh kembang anak. Pada usia itulah daya tahan tubuh anak rentan terhadap gejala dan potensi penyakit bawaan yang nantinya mengganggu stabilitas kesehatannya di masa depan.

Sayangnya, untuk mengobati bilirubin dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam kondisi tabungan yang menipis, Rizal dan Windi mengaku kalang-kabut karena biaya fototerapi dan rawat inap bayinya memerlukan biasa 2-3 juta Rupiah per hari, sudah termasuk obat-obat yang dibutuhkan. Anaknya sedikitnya membutuhkan waktu terapi minimal dua hari.

Orang tua dan beberapa kerabat mereka menyarankan untuk mencoba mendatangi puskesmas karena biayanya relaitf lebih murah.

Wah, gak tahu harus gimana lagi, saya belum dapat kerjaan lagi. Kalau waktu itu, uang tabungan dipakai, tetap kurang untuk biaya makan sehari-hari nantinya. Sempat coba ke Puskesmas juga, siapa tahu lebih murah,” ujar Rizal.

Fasilitas terdekatnya yakni UPT Puskesmas Padasuka di Jalan Padasuka No. 3, Kecamatan Cibeunying Kidul yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. Tetapi Puskesmas tersebut sedang sibuk menghadapi pasien-pasien Covid-19. Pihak Puskesmas sampai harus menutup sementara layanan bagi bayi dan ibu hamil.

Mereka juga mencoba mencari fasilitas fototerapi ke beberapa Puskesmas di kecamatan tetangga, salah satunya Puskesmas di Antapani. Tetapi lagi-lagi situasi Puskesmas penuh dengan pasien Covid-19.

Pada akhirnya, sang bayi terpaksa dilarikan ke RS Hermina yang jadi tempat kelahirannya. Rizal harus meminjam uang ke beberapa kerabat demi kesehatan anaknya. Ia cukup beruntung karena dr. Junita membantu mereka memangkas biaya tagihan pelayanan. Anggita kini berumur satu tahun lebih dan menjadi balita yang sehat.

Baca Juga: Jangan Remehkan Depresi di tengah Pandemi
Data Jumlah Buruh di Kota Bandung 2015-2020, Anjlok di Tahun Pagebluk

Angka Kematian Balita di Kota Bandung

Tren kematian bayi berumur lima tahun (balita) ke bawah di Kota Bandung selalu tinggi dari tahun ke tahun. Namun, angkanya cukup sulit diprediksi menginat data Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tidak mudah diakses oleh masyarakat umum.

Pada Januari 2021 lalu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung merilis data jumlah kematian balita di Kota Bandung pada tahun 2019 mencapai 114 kasus. Sementara pada 2020, jumlahnya melandai hingga angka 82 kasus kematian. Namun, data tersebut tergolong ekslusif karena tidak terbuka bagi masyarakat.

Tingginya kasus kematian pada balita juga diakui oleh Junita Sinaga, Menurutnya, kebanyakan kasus kematian bayi terjadi di luar fasilitas kesehatan atau di luar kebidanan resmi. Melihat kesenjangan ekonomi di Kota Bandung, ia meyakini angkanya jauh lebih tinggi dari data resmi.

Duh, kalau data validnya sih ekslusif ya. Kita tidak bisa memastikan karena itu kewenangan Dinkes. Tapi, di Bandung masih banyak kasus kematian bayi, kebanyakan karena tidak tertangani secara profesional. Jangankan di luar fasilitas kesehatan, di puskesmas saja banyak,” tuturnya.

Junita menambahkan, sulit mengintegrasi data jumlah kematian bayi yang tercecer. Ia juga mendorong pihak pemerintah untuk lebih giat dan serius dalam melakukan survei mengenai data tersebut. Hal ini dianggap penting sebagai nilai keterbukaan informasi bagi masyarakat.

Merujuk data pada 2019 dalam situs Bandung.go.id, angka kematian anak berumur 1-4 tahun sebanyak 27 kasus di Kota Bandung. Perbedaan ini cukup signifikan dengan data yang dirilis pihak Dinkes Kota Bandung. Sementara itu, tidak ada jawaban dari Kepala Dinkes Kota Bandung Ahyani Raksanegara setelah dihubungi pada Jumat (6/8/2021).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//