Ilmuwan Dunia Mendeteksi Varian Baru Mirip Delta, Vaksinasi Covid-19 Perlu semakin Dipercepat
Sayangnya, di Indonesia jangkauan vaksinasi Covid-19 masih sangat terbatas. Masing-masing daerah memiliki persoalan yang sama: sama-sama kekurangan vaksin Covid-19.
Penulis Iman Herdiana5 September 2021
BandungBergerak.id - Para peneliti sedang melacak varian baru virus corona yang baru-baru ini diidentifikasi di Afrika Selatan dan tampaknya memiliki jumlah mutasi mengejutkan dengan potensi lebih unggul dibandingkan jenis virus lainnya. Tetapi apa pun variannya, peneliti merekomendasikan agar vaksinasi Covid-19 dipercepat dan diperluas.
Sayangnya, di Indonesia jangkauan vaksinasi Covid-19 masih sangat terbatas. Masing-masing daerah memiliki persoalan yang sama: sama-sama kekurangan vaksin Covid-19.
Mengutip Los Angeles Times, Minggu (5/9/2021), varian tersebut diberi kode C.1.2 yang mulai ditemukan pada Mei tahun ini dan resmi diidentifikasi pada Juli. Varian C.1.2 merupakan virus baru yang mendominasi gelombang infeksi di Afrika Selatan.
Pada Mei, C.1.2 menyumbang 0,2 persen dari 1.054 genom yang diurutkan oleh tim program pengawasan yang berbasis di Afrika Selatan. Pada Juni, jumlah genom naik menjadi 1,6 persen dari 2.177 sampel, dan pada Juli naik lagi menjadi 2 persen dari 1.326 sampel.
Pola penyebaran varian C.1 disebut mirip dengan peningkatan penularan pada varian beta dan delta, merujuk pada varian virus corona yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan dan India.
C.1.2 telah menyebar dari Afrika ke Asia, Oseania dan Eropa. Para ilmuwan menemukannya di Botswana, Mauritius, Cina, Selandia Baru, Portugal, Swiss, dan Inggris.
Haruskah Kita Khawatir?
Saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan varian baru virus corona ke dalam beberapa kategori, salah satunya varian dalam pengawasan “variant of concern” atau VoC seperti varian delta yang memiliki bukti nyata dapat menyebar lebih mudah, menyebabkan penyakit yang lebih parah atau mengurangi efektivitas antibodi yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh.
Varian delta yang sangat menular dan menyebabkan kasus melonjak di banyak negara, masuk dalam kategori variant of concern bersama varian lainnya, yakni Alpha, Beta, dan Gamma.
Kategori lainnya adalah “varian menarik” atau “variant of interest”, di antaranya varian eta, iota, kappa, lambda dan mu. Sejauh ini, C.1.2 belum masuk kedua ketegori tersebut.
Namun para ilmuwan telah melakukan pengawasan genomik pada sampel dari tes virus corona rutin yang dilakukan di laboratorium publik dan swasta di Afrika Selatan. Dari C.1.2 mereka telah menemukan kumpulan mutasi yang mengkhawatirkan yang ada pada varian lain yang menjadi perhatian maupun varian menarik. Peneliti menduga C.1.2 juga mampu membantu virus menginfeksi sel dan menghindari sistem pertahanan tubuh.
Varian ini tampaknya telah mengalami sejumlah besar mutasi dalam waktu singkat. Disebutkan bahwa tingkat evolusi C.1.2 sekitar 1,7 kali lebih cepat untuk virus corona secara umum.
“Ini mengejutkan karena membawa begitu banyak perubahan yang mengkhawatirkan, dan juga memiliki karakteristik yang tampaknya berkembang pesat,” kata Stuart Ray, ahli imunologi dan penyakit menular dari Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins.
Mutasi pada virus adalah hal wajar dan bisa terjadi secara acak dan kapan saja di tubuh inang yang terinfeksi. Kebanyakan mutasi sebenarnya tidak menguntungkan virus, walaupun beberapa mutasi memberikan keuntungan bagi virus dalam beradaptasi menghadapi tekanan lingkungan tertentu untuk bisa menyebar.
"Ketika suatu organisme memperoleh ceruk baru ... ia memiliki tantangan baru untuk dihadapi," kata Ray. "Kita harus waspada."
Kabar baiknya, para ahli mengatakan munculnya varian baru tidak selalu berarti malapetaka yang akan segera terjadi. Saat ini, varian delta masih menjadi perhatian yang jauh lebih besar dan paling dominan.
Saat ini ilmuwan tetap mengawasi sebaran C.1.2, terurama sejauh mana varian ini bisa mengalahkan sebaran varian delta di suatu tempat.
Kuncinya Vaksinasi Covid-19
Ramon Lorenzo-Redondo, ahli virologi molekuler di Fakultas Kedokteran Universitas Feinberg Northwestern University, mengungkap kekhawatiran yang jauh lebih besar: bahwa varian yang lebih berbahaya akan muncul ketika infeksi terus menyebar melalui populasi yang rentan dan tidak divaksinasi.
"Ini adalah perang global sekarang," kata Ramon Lorenzo-Redondo.
Untuk menghindari munculnya lebih banyak varian yang dapat memperpanjang pandemi, maka harus lebih banyak lagi orang di seluruh dunia memiliki akses ke program vaksinasi Covid-19.
Masalahnya, jangkauan vaksinasi Covid-19 justru menjadi soal serius di Indonesia. Jumlah penduduk yang sudah divaksin Covid-19 masih jauh dari syarat mencapai kekebalan komunal (70-80 persen). Padahal seperti telah diketahui, Indonesia dinyatakan baru saja melewati puncak penularan varian delta yang nyaris menghancurkan fasilitas-fasilitas kesehatan.
Di tengah masih terbatasnya jumlah vaksin Covid-19 di Indonesia, kebutuhan jumlah dosis vaksin juga meningkat seiring perlunya tenaga kesehatan mendapat suntikan ketiga atau booster. Vaksin booster hanya diperuntukkan bagi para nakes yang berjuang di garda depan Covid-19. Di luar para nakes, booster belum diperlukan.
“Berbeda dengan nakes yang memang diperlukan vaksin booster karena dari sisi jumlah yang sedikit dan mereka adalah pejuang yang berada di garda depan penanganan Covid-19 sehingga berisiko besar terpapar Covid-19 ,” jelas pakar virologi FKKMK UGM, Mohamad Saifudin Hakim, mengutip laman resmi UGM.
Menurutnya, yang terpenting saat ini adalah meningkatkan angka cakupan vaksinasi nasional. Sebab, hingga kini masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan vaksin dosis satu maupun dua.
“Jadi, sebaiknya mengejar cakupan vaksin dulu bagi mereka yang belum divaksin, terutama kelompok lansia yang berisiko tinggi,” paparnya.
Selain itu, pemberian vaksin booster juga belum masuk dalam rekomendasi WHO. Bahkan, belum lama ini WHO meminta agar negara-negara mempertimbangkan kembali urgensi pemberian vaksin booster Covid-19.
Lebih lanjut, Hakim menjelaskan bahwa dari sisi imunologi, pemberian vaksin booster memang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh yang diperoleh dari dua dosis vaksin sebelumnya. Vaksin booster yang diberikan akan melatih kembali sel-sel memori penghasil antibodi tubuh yang dihasilkan dari dua dosis vaksin sebelumnya. Daya ikat antibodi juga menjadi lebih baik terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
“Sejumlah studi awal menunjukkan bahwa dengan pemberian vaksin booster atau dosis ketiga, baik dengan merk (platform) vaksin yang sama atau berbeda, mampu memperkuat imunitas yang diperoleh dari dua dosis vaksin sebelumnya,” urainya.
Kendati begitu, ia menyampaikan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum pemberian vaksin booster. Pertama, terkait penurunan level imunitas. Hingga kini belum jelas bagaimana imunitas setelah pemberian vaksin sebelumnya bertahan, apakah terjadi penurunan atau tidak. Jika benar terjadi penurunan maka pemberian booster bisa dipertimbangkan.
Kedua, efektivitas vaksin. Data yang ada saat ini belum cukup untuk memastikan apakah terdapat penurunan efektivitas vaksin untuk mencegah gejala berat Covid-19 pada sekian bulan setelah dosis kedua dan angka kejadian Covid-19 pada mereka yang sudah mendapatkan vaksinasi dua dosis.
"Lalu, bagaimana efektivitas vaksin terhadap varian corona baru yang menjadi perhatian global (VoC)? Jika ada data penurunan efektivitas vaksin dua dosis, pemberian booster bisa dipertimbangkan,"tuturnya.
Ketiga, pasokan vaksin secara global dan nasional. Kebijakan pemberian vaksin booster perlu mempertimbangkan ketersediaan vaksin secara global maupun nasional di suatu negara.
“Kalau negara maju mengejar pemberian vaksin dosis 3, sementara negara lain saja masih belum mendapatkan dosis 1, ini bisa memperparah prinsip kesetaraan nasional dan global dalam akses terhadap vaksin selama pandemi,” tegasnya.