• Opini
  • Perlukah Tax Amnesty Jilid 2 Diberlakukan di Indonesia?

Perlukah Tax Amnesty Jilid 2 Diberlakukan di Indonesia?

Sebelumnya, Indonesia telah menggulirkan kebijakan tax amnesty selama 10 bulan, mulai Juli 2016 hingga April 2017. Hasilnya tak memuaskan.

Aurelia Marvetta Yuwono

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Sejumlah kafe di kawasan Braga, Bandung, saat PPKM terlihat sepi, (22/6/2021). Mereka minim pemasukan, sementara pengeluaran rutin harus tetap dibayarkan, misalnya listrik dan pajak. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

14 September 2021


BandungBergerak.id - Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan tax amnesty jilid 2. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Sebenarnya, tax amnesty bukanlah hal baru bagi dunia ini maupun di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia telah menggulirkan kebijakan tax amnesty selama 10 bulan, mulai Juli 2016 hingga April 2017. Hasilnya tak memuaskan.

Dikutip dari kemenkeu.go.id, tax amnesty atau pengampunan pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan Pengampunan Pajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Tujuan dari tax amnesty sendiri untuk meningkatkan penerimaan pajak, karena diduga masih banyak wajib pajak yang secara diam-diam menyetorkan uangnya di negara bebas pajak.

Pada tahun 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sedang mempertimbangkan tax amnesty jilid 2 di Indonesia. Kemudian baru-baru ini mulai bermunculan artikel mengenai skema tax amnesty jilid 2. Sebenarnya apabila berkaca pada jumlah peserta dan penerimaan yang didapat melalui tax amnesty jilid 1, perlu ada pertimbangan lebih dan peninjauan kembali mengenai tax amnesty jilid 2.

Skema tax amnesty jilid 2 sendiri telah tercantum dalam Pasal 37 C Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) disampaikan bahwa waktu pengungkapan harta dimulai dari tanggal 1 Juli 2021 hingga 31 Desember 2021. Lalu apa saja yang harus dilampirkan? Bukti pembayaran PPh bersifat final, daftar rincian harta beserta informasi kepemilikannya dan surat pernyataan untuk diinvestasikan ke dalam surat berharga negara. Setelah itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menanggapinya dengan memberikan surat keterangan dan Wajib Pajak dibebaskan dari sanksi administratif. Harta yang diungkapkan merupakan harta yang belum dilaporkan dalam SPT pajak 2019 yang berada dalam periode 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2019. Dasar pengenaan pajaknya adalah nilai nominal untuk harta berupa kas atau setara kas dan harga perolehan untuk harta selain kas atau setara kas.

Sementara itu tarif PPh yang dikenakan adalah 30 persen. Tetapi, apabila diinvestasikan ke Surat Berharga Negara (SBN) tarifnya menjadi 20 persen. Skema yang sudah dijelaskan adalah skema tax amnesty jilid 2 yang dikatakan oleh Menteri Sri Mulyani bahwa pelaksanaannya akan berbeda tidak seperti tax amnesty yang dibayangkan publik, namun merupakan kelanjutan dari tax amnesty jilid 1. Hal ini juga merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Sri Mulyani Buka Suara soal Wacana Tax Amnesty Jilid II, 2021).

Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita ulas terlebih dahulu data tax amnesty jilid 1 di Indonesia. Data DJP Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa total wajib pajak yang ikut serta dalam tax amnesty jilid 1 sebanyak 956.793. Nilai harta yang diungkap sebesar Rp 4.854,63 triliun. Tetapi sayangnya, komitmen repatriasi pajak hanya sebesar Rp 147 triliun, yakni setara dengan 14,7 persen dari target awal yang ditetapkan sebesar Rp 1.000 triliun. Sementara, nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp 3.676 triliun. Lalu, nilai harta deklarasi luar negeri sebesar Rp 1.031 triliun. Kemudian, negara hanya menerima uang tebusan sebesar Rp 114,02 triliun, yakni setara dengan 69 persen dari target Rp 165 triliun. Bahkan pada akhir Maret 2017 yang lalu, saat penutupan program tax amnesty, Sri Mulyani sendiri mengakui ketidakpuasannya terhadap jumlah peserta tax amnesty, karena jumlahnya jauh dari total wajib pajak yang mencapai 32 juta wajib pajak (Melihat Hasil Tax Amnesty Jilid I di Tengah Rencana Jilid II, 2021).

Baca Juga: Menyaksikan Film KPK EndGame di Tamansari, Bandung
Lapor Covid-19 dan 57 Pegawai KPK Mendapat Tasrif Award 2021 AJI

Tak Perlu Repot

Apa yang dapat kita simpulkan dari data di atas? Menurut saya jawabannya, Indonesia tidak perlu repot melakukan tax amnesty jilid 2 dengan risiko besar dan hasil yang tidak sebanding. Tak hanya itu, tax amnesty jilid 2 bisa dianggap kebimbangan pemerintah dalam mengelola sistem perpajakan negara. Saya kira, kini saatnya semua pihak terutama lembaga negara memperkuat dan mendukung penuh Direktorat Jenderal Pajak melakukan reformasi perpajakan dan penegakan hukum yang terukur, tidak memihak, objektif, dan adil.

Awal wacana tax amnesty jilid 2 ini sendiri didasarkan pada keresahan para pengusaha yang menyampaikan penyesalan mereka karena tidak sempat ikut tax amnesty jilid 1 (Situmorang, Pro Kontra Tax Amnesty Jilid II, 2019). Berdasarkan hal tersebut, Sri Mulyani cukup optimis jika amnesti pajak jilid 2 digelar, akan lebih banyak peserta yang ikut dan hasilnya akan lebih berdampak pada perekonomian Indonesia. Menurutnya, tax amnesty jilid 1 tidak mencapai target karena tax amnesty ini masih merupakan barang “baru” dan belum semua masyarakat memahami manfaatnya, sehingga masih banyak yang bingung mau ikut atau tidak.

Tapi menurut saya, tidak ada jaminan pasti bahwa kali ini mereka akan benar-benar ikut. Lalu bukankah pemerintah juga akan dicap tidak serius dan tidak konsisten dalam melaksanakan kewajiban perpajakan di Indonesia? Khususnya bagi yang sudah mematuhi dan mengikuti tax amnesty jilid 1 sebelumnya.

Pemberian tax amnesty jilid 2 kepada wajib pajak akan berdampak negatif terhadap rasa tanggung jawab bagi yang seharusnya mematuhinya. Terlepas dari skema tax amnesty jilid 2 ini yang sedikit berbeda dari jilid sebelumnya, yakni lebih menyerupai sunset policy, tetapi tetap saja, kekhawatiran utama dari masalah ini adalah bukan kepatuhan wajib pajak yang akan muncul, melainkan “moral hazard”. Moral Hazard adalah bahwa mereka yang tidak mematuhi akan selalu memiliki kesempatan untuk dimaafkan oleh pemerintah. Sementara, bagi yang sudah ikut tax amnesty jilid 1 akan merasa dikhianati, dan muncul pemikiran seperti, "Saya sudah patuh, tapi kemudian ada tax amnesty kedua, artinya saya tidak harus patuh sebelumnya."

Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Piter Abdullah, yang menyatakan pemerintah tidak perlu lagi membuka "keran" tax amnesty untuk kedua kalinya. Menurutnya, akan banyak sekali risiko yang harus dihadapi oleh pemerintah sebagai pemberi pengampunan kepada pihak yang selama ini tidak patuh pajak. Menurut Luitel dan Sobel (2007) dalam 21 tahun terakhir ada 27 negara yang menawarkan tax amnesty berulang. Penelitian mereka menunjukkan bahwa pengulangan tax amnesty membawa penambahan revenue yang lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Contohnya, Argentina mengalami sindrom yang dalam literatur biasa disebut sindrom pengampunan pajak permanen. Ada pemikiran yang tumbuh, “Kalau setiap kali kita diberi pengampunan, lebih baik kita melanggar saja, kita juga akan dimaafkan nanti.”

Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari pengalaman tax amnesty jilid 1 dan pengalaman negara lain, pengulangan pelaksanaan tax amnesty bukanlah suatu hal yang cukup bijak. Jika pengampunan pajak hanya dilakukan sekali seumur hidup, kita akan berlomba-lomba memanfaatkannya. Apalagi, pengampunan pajak yang diberikan pada 2016-2017 tampaknya cukup untuk menunda penegakan hukum, bahkan sudah diberi kelonggaran pula dengan kebijakan insentif pajak yang signifikan. Jangan sampai kita kehilangan kepercayaan masyarakat yang sudah patuh, hingga tak ada lagi kepatuhan sukarela.

Namun jika keputusan pemerintah sudah benar-benar bulat mengenai rencana tax amnesty jilid 2, maka ada baiknya pemerintah memperjelas klasifikasi pengampunan pajak. Secara teori, menurut Franzoni (1996), amnesti pajak terdiri dari beberapa kelompok: return amnesty, investigation amnesty, dan prosecution amnesty. Return amnesty memberikan kesempatan bagi penghindar pajak untuk merevisi return pajaknya dengan mengurangi penalti. Individu yang menerima amnesti ini tidak imun terhadap aktivitas investigasi atau audit. Investigation amnesty menawarkan kepada penghindar pajak untuk dikecualikan dari audit pembayaran terhadap fee amnesty. Prosecution amnesty menawarkan penundaan dan keringanan terhadap hukuman pajak.

Klasifikasi pengampunan pajak mana yang akan diberikan harus jelas agar tepat sasaran. Maka dari itu, pemerintah diharapkan mempertimbangkan dan menimbang kembali apakah efektif dan efisien biaya, waktu, dan usaha yang dikeluarkan dengan manfaat yang didapatkan dari rencana penerapan kembali tax amnesty jilid 2.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//