• Opini
  • Implementasi Pancasila di Tengah Cepatnya Perubahan Masyarakat

Implementasi Pancasila di Tengah Cepatnya Perubahan Masyarakat

Gaya hidup kebarat-baratan (westernisasi) dan sifat individualistik adalah beberapa contoh budaya asing itu.

Vani Gisanta

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Presiden Sukarno sedang mendengarkan kata sambutan Ketua Parlemen duduk di bawah lambang negara RIS yang pada saat itu pertama kali diperlihatkan, 15 Februari 1950. (Foto: ANRI)

18 September 2021


BandungBergerak.id - Kehidupan manusia bergerak kian cepat. Sebagian besar didorong oleh perkembangan teknologi dan informasi. Masuknya budaya-budaya asing ke dalam negeri menjadi salah satu di antaranya. Perubahan di masyarakat pun tak terhindarkan, begitu juga dengan lunturnya budaya lokal.

Budaya asing—yang masuk ke dalam negeri—menjadi sebab lunturnya budaya yang telah lama dipertahankan. Gaya hidup kebarat-baratan (westernisasi) dan sifat individualistik adalah beberapa contoh budaya asing itu. Apabila dibiarkan, budaya luhur Indonesia akan benar-benar lenyap.

Padahal budaya negeri adalah pijakan bagi para funding fathers menuju kelahiran Pancasila. Kebiasaan-kebiasaan yang menjelma menjadi kebudayaan, diserap menjadi 5 sila untuk menjadi tolok ukur tiap sisi kehidupan masyarakat. Sederhananya, hal tersebut menjadi pengendali tingkah laku setiap individu. Ini terlihat jelas dalam hukum Indonesia—yang digunakan untuk mengatur setiap perilaku masyarakat—merujuk pada Pancasila dalam proses pembentukannya. Sehingga, Pancasila tidak bisa dilepaskan dan bahkan menjadi gambar diri Indonesia.

Namun, penerapan nilai Pancasila selain perlu dilakukan oleh masyarakat, juga harus dilaksanakan oleh pemerintah. Eksistensi Pancasila menjadi esensial sebagai parameter pemerintah dan negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, serta menjadi penuntun dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Baca Juga: Pers dan Pancasila: Menggali (Lagi) Pancasila di tengah Krisis
Dari Masyarakat Analog Pancasila Menjadi Masyarakat Digital Pancasila

Pengabaian Pancasila, Permulaan Disintegrasi Bangsa?

Masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa dengan segudang perbedaan. Perbedaan tersebut memerlukan jembatan menuju persatuan. Ibarat pohon, Indonesia adalah sebuah pohon besar yang tumbuh dan berkembang di atas akar serabut, yaitu dasar realitas yang membentuk Indonesia, yaitu perbedaan atau pluralitas (Andreas Doweng Bolo, dkk, Pancasila, Kekuatan Pembebas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012).

Oleh karena itu, para pendiri bangsa menggali nilai-nilai yang telah ada dalam kehidupan masyarakat sebagai upaya jalan tengah dari adanya perbedaan. Walaupun proses pembentukannya tidak lepas dari konflik dan pertentangan, tetapi Pancasila akhirnya lahir dan menjelma menjadi pedoman hidup bangsa dan negara Indonesia.

Namun, kini Pancasila mulai menghadapi masa redupnya. Banyak persoalan yang melanda negeri bersinggungan dengan dasar negara Indonesia tersebut. Tak dapat dipungkiri, bangsa Indonesia mulai mengalpakan kehadiran Pancasila dalam kehidupannya. Dari kasus orang-orang yang lupa isi yang tercantum dalam Pancasila, etnosentrisme, westernisasi hingga tindak pidana korupsi menjadi pertanda kemunduran masyarakat yang bersumber pada pengabaian nilai Pancasila. Bila tidak ada upaya konsisten dan persisten untuk memulihkan kondisi masyarakat Indonesia, disintegrasi bangsa bukan tidak mungkin terjadi.

Yayasan Denny JA mencatat selama 14 tahun setelah masa reformasi setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65 persen berlatar belakang agama. Sementara sisanya kekerasan etnik sekitar 20 persen, kekerasan gender sebanyak 15 persen, kekerasan seksual ada 5 persen (Ari Welianto, Kasus Kekerasan yang Dipicu Masalah Keberagaman di Indonesia, kompas.com, diakses 21 Juli 2021). 

Kasus tersebut merupakan salah satu alasan yang dapat menyebabkan perpecahan. Dan akan mengalami peningkatan jumlah dan meluas memenuhi bumi Indonesia, apabila masyarakat mengedepankan ego pribadi yang dapat mengancam keutuhan negara. Dikhawatirkan pula terjadi perubahan moral masyarakat, mengikuti budaya asing yang masuk ke dalam negeri.

Memang akulturasi budaya tidak dapat dihindari sejalan dengan dunia yang semakin maju akibat globalisasi. Konsep dunia tanpa batas, karena masyarakat antarnegara dapat berinteraksi tanpa terbatas oleh wilayah, mempermudah proses masuknya budaya asing tersebut. Namun, masuknya budaya asing bukan berarti bahwa transisi kebudayaan harus terjadi. Itulah perlunya peran masyarakat untuk tetap melanggengkan budaya leluhur yang telah melekat sejak dahulu.

Selanjutnya, terjadi juga pengabaian nilai Pancasila yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Sebagai pihak yang berkewajiban dalam menjalankan negara, seharusnya pihak yang bersangkutan menjaga tingkah lakunya agar tetap berada dalam koridor hukum. Upaya ini dilakukan untuk memberikan contoh bagi masyarakat dalam bertindak jujur dan adil. Keberadaan hukum yang mengawasi tingkah laku mereka sebenarnya tidak menjamin hal tesebut dapat terwujud. Tetap saja terjadi penyelewengan kewenangan, walaupun akan adanya sanksi yang menunggu sesudahnya.

Ini disayangkan, karena dapat memicu polemik dalam masyarakat yang mempertanyakan integritas yang dimiliki orang-orang terpilih tersebut untuk mengawasi jalannya negara dan mewakili rakyat dalam lembaga negara yang ada. Oleh karena itu, pengamalan Pancasila harus diterapkan tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.

Apa yang Harus Dilakukan Guna Melanggengkan Pancasila?

Indonesia tengah menghadapi tantangan dari dalam dan luar negeri yang berusaha melemahkan persatuannya. Lantas, apa yang dapat dilakukan masyarakat Indonesia untuk tetap melestarikan dan bahkan memperkuat tembok persatuan dan kesatuan tersebut? Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan:

1. Pendidikan Pancasila sejak dini. Langkah dalam menjaga nilai-nilai Pancasila agar tetap hidup dalam masyarakat dapat dimulai melalui pendidikan. Di sini pendidikan tidak hanya dalam lingkup sekolah yang bersifat formal, tetapi juga melalui pendidikan informal melalui keluarga.

Seringkali pendidikan formal menyebabkan anak-anak didik merasa terpaksa melakukan suatu hal, sehingga apa yang telah diajarkan tidak benar-benar tertanam dalam diri anak yang bersangkutan. Oleh karena sifat anak-anak yang seringkali meniru perilaku yang dilakukan orang-orang sekitarnya, maka kontribusi keluarga mempermudah pengamalan Pancasila dengan meneladani anak-anaknya melalui cara-cara yang lebih praktis.

2. Merangsang peningkatan rasa nasionalisme warga negara. Upaya ini dapat dilakukan oleh pihak masyarakat sendiri maupun pemerintah dengan berpartisipasi aktif dalam merayakan hari-hari nasional, menggunakan produk-produk lokal, menciptakan karya seni yang mengenalkan kebudayaan Indonesia dan memiliki tema cinta tanah air yang merupakan bentuk dalam memupuk kembali rasa nasionalisme (Ega Regiani dan Dinie Anggraeni D., Pudarnya Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Masyarakat di Era Globalisasi, Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 5, No.1, Juni 2021).

3. Konsisten dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kebiasaan sehari-hari. Seperti yang telah diketahui, Pancasila merupakan dasar negara yang dibentuk salah satunya guna mempersatu bangsa Indonesia yang heterogen. Dengan menghidupi nilai yang terkandung di dalamnya, walaupun masyarakat diterpa perbedaan-perbedaan seperti agama, ras, hingga sudut pandang, tidak menyurutkan arus persatuan yang ada, karena sudah tumbuh kesadaran akan pentingnya pelaksanaan Pancasila dalam setiap sisi kehidupan (Ega Regiani dan Dinie Anggraeni D., Pudarnya Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Masyarakat di Era Globalisasi, Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 5, No.1, Juni 2021).

Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat dilupakan keberadaannya. Perannya sebagai pemersatu bangsa dan pengarah masyarakat dalam bertingkah laku yang ditumpahkan menjadi produk-produk hukum negara, menjadi hal fundamental bagi keberlangsungan negara Indonesia. Masyarakat pun perlu senantiasa mengingat proses panjang dipenuhi peluh perjuangan yang dijalani para pendiri bangsa untuk melahirkan Pancasila.

Untuk menghindari pudar atau hilangnya nilai-nilai tersebut dari kehidupan masyarakat, diperlukan usaha yang timbul dari dalam diri setiap individu yang menjadi bagian dari masyarakat serta usaha dari pemerintah. Hal ini dilakukan agar Indonesia menjadi negara yang kuat meskipun diterpa hambatan, ancaman, tantangan, gangguan apa pun. Bukan perkara mudah untuk memupuk rasa ingin berjuang bersama demi mempersatukan masyarakat yang berbeda-beda.

Namun bukan suatu kemustahilan, apabila setiap dari masyarakat rela mengedepankan kepentingan negara dengan bahu-membahu mewujudkan persatuan yang dicita-citakan. Dari hal sederhana, seperti memilih jujur dalam menghadapi suatu situasi tertentu dan selektif dalam memilih nilai yang akan dianut, dapat membawa Indonesia ke arah yang jauh lebih baik.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//