• Berita
  • Pengakuan Warga Bandung tentang Sulitnya Mendapat Vaksin Covid-19

Pengakuan Warga Bandung tentang Sulitnya Mendapat Vaksin Covid-19

Penularan Covid-19 tak mengenal batas-batas administrasi. Sehingga pendekatan vaksinasi Covid-19 pun mestinya melampaui batasan-batasan administrasi tersebut.

Beberapa pelajar menerima suntikan vaksin Covid-19 Sinovac di SMPN 7, Kota Bandung, Sabtu (21/8/2021). Jangkauan vaksinasi menjadi kunci pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) yang digulirkan pemerintah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki29 September 2021


BandungBergerak.idPemkot Bandung semakin optimis menggapai kekebalan komunal (herd immunity) di saat semakin banyak warga yang terjangkau program vaksinasi Covid-19. Walaupun kenyataannya masih ada warga yang kesulitan mengakses vaksinasi Covid-19 ini.

Kesulitan tersebut dialami warga Bandung maupun warga luar Bandung yang bekerja di Bandung. Alasannya klasik: masalah administrasi seperti KTP atau domisili. Padahal kita semua paham, virus tak mengenal batas administrasi.

Virus corona yang awalnya mewabah jauh di Wuhan, China, kini sudah menyebar di seluruh dunia. Begitu juga dengan varian barunya, salah satunya delta, yang semula teridentifikasi jauh di India, hanya dalam hitungan bulan mampu memorakporandakan sistem kesehatan di Indonesia, termasuk Kota Bandung, pada Juli kemarin.

Sekali lagi, virus tak mengenal batas-batas teritorial. Orang KTP Bandung ataupun tidak, bisa terinfeksi virus yang menyerang saluran pernapasan itu. Apalagi sejak tempo dulu, Bandung adalah kota urban yang menjadi tujuan bagi warga-warga luar Bandung.

Tetapi soal domisili ini justru menjadi kendala yang dialami Riad (42) dalam mendapatkan vaksinasi. Karena sulitnya mengakses vaksinasi, pria pedagang asongan asal Kuningan itu jadi pasrah. Mendapatkan vaksin syukur, tidak pun tak apa-apa.

“Kalau buat saya, saya orang awam, pemerintah ngomong apa aja juga jadi harapan. Saya bukan dokter, gak ngerti apa-apa. Awalnya, dengar kabar bisa vaksin semangat tapi lama-lama gak peduli lagi soalnya ribet ngurusinnya,” ungkapnya ketika ditemui di perempatan Buah Batu-Bonjongsoang, Selasa (28/9/2021).

Riad tak pernah mendapat kesempatan divaksin karena alamat domisili yang tertera pada KTP miliknya tidak sesuai ketentuan vaksinasi di Kota Bandung. Hingga kini ia tak tersentuh program vaksinasi yang dijalankan pemerintah.

Berbeda dengan Riad yang bukan warga Bandung, Septia (27), adalah warga Bandung sekaligus penyintas Covid-19. Namun ia pun sama-sama belum mendapatkan kesempatan disuntik vaksin. Septia positif Covid-19 dan harus menjalani isolasi mandiri (isoman) selama dua pekan di rumah pada Mei 2021 lalu. Akhir bulan Mei ia sembuh dan negatif Covid-19.

Memasuki pertengahan Juni 2021, Kota Bandung diterpa badai penularan Covid-19 untuk kedua kalinya sejak pandemi melanda tahun 2020 lalu. Antara Juni-Juli, kasus positif harian tembus angka 10 ribu orang, dan kasus meninggal mencapai lebih dari 50 orang sehari. Sistem kesehatan Kota Bandung lumpuh, sejumlah rumah sakit nyaris mengangkat bendera putih karena kebanjiran pasien Covid-19 dan kehabisan oksigen medis.

Menyadari hal itu, Septia berusaha mendaftarkan diri untuk mengikuti vaksinasi. Akan tetapi, ia ditolak karena tak bisa memenuhi salah satu syarat vaksinasi, yaitu harus sudah sembuh dari virus infeksius tersebut selama tiga bulan.

Septia pun bersabar menunggu tiga bulan. Ia kembali daftar ulang pada akhir Agustus 2021 melalu aplikasi Pedulilindungi. Sayangnya, ia tak pernah mendapat panggilan hingga hari ini.

“Dihitung-hitung mah sekarang, udah sembuh lebih dari tiga bulan dan alhamdulillah gak pernah positif lagi. Amit-amit,” tuturnya sambil tertawa ketika disambangi di sekitar rumahnya di bilangan Cinambo, Selasa (28/9/2021).

“Cuma sampai sekarang gak pernah dipanggil (vaksinasi), padahal daftar teh akhir-akhir Agustus kemarin,” sambungnya.

Saat ini, Septia mengaku tidak terlalu diburu-buru untuk segera mendaftar vaksinasi Covid-19. Tapi di sisi lain, ia tetap berharap akan ada panggilan imunisasi itu suatu nanti.

Baca Juga: Tidak Mudik agar Terhindar dari Tsunami Covid-19 seperti di India
Menyikapi Varian Covid-19 dari India, Inggris, dan Lainnya Jika Masuk Indonesia
Antara Bandung dan India

Tidak hanya ratusan santri, vaksinasi Covid-19 juga dilakukan bagi ratusan ustad, ustadzah, dan juga para staf pegawai Pesantren Nurul Iman. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Lemahnya Pendataan Vaksinasi Covid-19

Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat dan beberapa elemen masyarakat lainnya telah mendesak Pemkot Bandung untuk segera melakukan sinkronisasi data target vaksinasi sejak pertama kali vaksinasi dijalankan pada Februari 2021 lalu.

Persoalan pendataan ini dialami Haris (37), seorang warga Ujung Berung yang baru menerima dosis vaksin pertama. Ia telah mengecek data dirinya di aplikasi PeduliLindungi. Tetapi hasilnya tidak akurat.

“Awal-awal Agustus kemarin, saya daftar vaksin di Pedulilindungi. Pas mau daftar katanya NIK saya sudah terdaftar vaksin (dosis pertama dan kedua), padahal waktu dosis pertama saya daftar vaksin di tempat lain. Saya udah nanya ke puskesmas tapi katanya suruh segera lapor ke Kominfo, ribet. Bahaya sih, soalnya ini menyangkut data pribadi,” ungkapnya ketika dihubungi pada Selasa (28/9/2021).

Haris terancam tidak bisa mengikuti vaksinasi dosis kedua. Masalah kekeliruan datanya belum terpecahkan hingga hari ini. Kekeliruan pendataan vaksinasi sebelumnya dialami warga Bandung lainnya, Heri Pramono, salah satu anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung.

Hingga 28 September 2021, data Bandung.go.id menyatakan total warga Bandung yang sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 sudah lebih dari 80 persen dari sasaran sekitar 1,9 juta jiwa. Rinciannya, vaksin dosis 1 sebanyak 1.626.727 orang, vaksin dosis 2 sebanyak 1.088.069 orang.

Wali Kota Bandung Yana Mulyana, yakin pada akhir Desember 2021 ini seluruh sasaran vaksinasi Kota Bandung sudah tervaksin, jika stok vaksin dari pemerintah pusat tersedia dan program vaksinasi gencar dilakukan. 

Yana sendiri mengisyaratkan bahwa virus corona bisa datang dari mana saja, tidak mengenal batas-batas wilayah atau kependudukan.

"Kita tidak pernah tahu, orang yang datang dari mana dan zona apa. Jadi satu-satunya kita memproteksi diri kita sendiri dengan vaksin dan Peduli Lindungi," ucap Yana Mulyana, dalam siaran persnya.

Keluhan-keluhan di lapangan dalam mengakses vaksinasi umumnya terkait masalah administasi. Kebijakan pemerintah mestinya mengakomodir keluhan tersebut dengan membuat kebijakan pemerataan vaksinasi tanpa syarat rumit administrasi.

Penolakan PTM Terbatas

Masalah Haris bukan saja data vaksinasi. Pengusaha kain yang membuka toko di Pasar Ujung Berung itu menghkawatirkan euforia warga yang terjadi beberapa hari belakangan ini pascapelonggaran PPKM. Ia takut Bandung kembali diserang gelombang baru penularan Covid-19.

Selain melonggarkan sektor-sektor ekonomi, Pemkot Bandung mulai menyelenggarakan kebijakan sekolah tatap muka secara terbatas. Meskipun begitu, pembelajaran tatap muka (PTM) tidak disepakati oleh seluruh pihak orang tua, termasuk Haris yang memiliki anak yang duduk di kelas 6 SD.

“Saya mah jujur, bingung dan agak gak yakin gitu sekolah offline (tatap muka) udah aman buat anak-anak. Sempet ada surat pernyataan dari sekolah (anaknya) untuk persetujuan sekolah offline tapi gak saya waro (gubris),” ujar Haris.

Alasan Haris sangat mendasar. Vaksinasi Covid-19 belum bisa menjangkau anak-anak SD. Sejauh ini vaksinasi baru bisa dilakukan pada anak usia 12 tahun ke atas. Hari mempertanyakan bagaimana perlindungan untuk anak-anak usia 12 tahun ke bawah.

Haris pun berharap pemerintah bisa terlebih dahulu membereskan vaksinasi Covid-19 secara merata di berbagai kalangan dan golongan umur. Sebelum semua itu terealisasikan, ia belum bisa percaya kegiatan anaknya di sekolah bisa berjalan aman.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//