Antara Bandung dan India
Berkaca dari India, bukankah tsunami Covid-19 di negara itu pertama-tama lahir dari kecerobohan para pemimpinnya?
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
9 Mei 2021
BandungBergerak.id - Semua yang menakutkan tentang India datang bertubi-tubi dalam beberapa pekan terakhir. Jarak yang membentang 4 ribu kilometer jauhnya seolah lenyap. India, negerinya Mahatma Gandhi yang agung itu, tak ubahnya tetangga sebelah yang rumahnya sedang dilalap api sehingga kita semua dibuat cemas.
Semua gara-gara tsunami Covid-19 yang bergulung-gulung sejak April lalu. Media tiada henti memberitakannya. Tentang ratusan ribu orang yang tertular virus dalam sehari. Tentang rumah sakit yang kehabisan tempat tidur. Tentang para pasien yang kesulitan memperoleh oksigen. Tentang mayat-mayat yang mengantre untuk dikremasi.
Tak terkecuali di Bandung, kota yang dikunjungi Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, tokoh besar lain dari India, pada gelaran Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, nama India disebut-sebut. Wali Kota Oded M. Danial bahkan menjadikannya cermin.
"Jangan sampai terlena. Jangan sampai terjadi seperti di India. Kita diwajibkan ikhtiar dari serangan Covid-19 ini," ucap Oded dalam Safari Ramadan di Masjid Al Amanah, Babakan Ciparay, Minggu, 2 Mei 2021 lalu.
Ketua DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan tidak mau ketinggalan. Dalam wawancara yang disiarkan Jumat, 7 Mei 2021, ia meminta warga untuk menahan diri tidak mudik lebaran agar tidak terjadi lonjakan kasus positif seperti di India. Silaturahmi bisa dilakukan dengan “memanfaatakan teknologi”.
Oded dan Tedy, keduanya politisi PKS, pastilah tahu betul apa yang terjadi di India. Negara terpadat kedua di dunia setelah Tiongkok itu sempat memanen pujian dari dunia internasional berkat ketangkasannya menangani pagebluk di awal tahun 2021. Bukan hanya sudah memulai proses vaksinasi, India bahkan bermurah hati mengirimkan bantuan medis, termasuk stok oksigen, ke beberapa negara paling membutuhkan.
Malapetaka dimulai ketika India melonggarkan protokol bagi gelaran festival keagamaan dan kampanye pemilu di sepanjang Februari dan Maret. Ribuan orang tumpah-ruah, membuat kerumunan di mana-mana. Di jalan, di lapangan, di sungai. Keteledoran yang berbuah tsunami Covid-19 sejak April lalu.
Menakutkan
Saya menelpon Bipasha Mukherjea, kawan berkuliah di Ateneo, Filipina, tiga hari lalu. Dia tinggal bersama keluarganya di Delhi dan bekerja sebagai produser di stasiun televisi India Today. Pada 2017 dia dan dua koleganya menerima penghargaan prestisius untuk praktik jurnalistik luar biasa, Ramnath Goenka Awards.
Bipasha merupakan satu dari enam kawan angkatan sesama penerima beasiswa Adenauer pada 2015 lalu. Dia, yang kami panggil Bi, satu-satunya dari India. Sama seperti saya satu-satunya dari Indonesia, Zayar dari Myanmar, dan Zobaer dari Bangladesh. Tiga kawan lain kami adalah para jurnalis perempuan tuan rumah.
Bipasha merupakan satu-satunya dari kami yang pada awal tahun kedua kuliah mengambil tawaran mata kuliah sosio-antropologi di Silay, Bacolod yang 400 kilometer lebih jaraknya dari Manila. Selama beberapa pekan dia ada di sana, sementara kami memilih kenyamanan dengan mengambil mata kuliah pilihan di kampus. Ketika bergabung lagi berasama kami di Manila, Bipasha membagikan sekian banyak cerita yang membuat iri.
“Ini menakutkan. Sungguh sangat menakutkan,” kata Bipasha lewat sambungan telepon via aplikasi WhatsApp.
Saya selalu memandang Bipasha sebagai perempuan pemberani. Sekali saja dia terlihat oleh saya ketakutan: ketika disodori sepeda bambu untuk mengelilingi kawasan kota lama Intramuros. Bipasha mengaku tak sanggup mengendalikan benda ajaib itu, lalu memaksa saya memboncengkannya.
Dikisahkan Bipasha, dibandingkan gelombang pertama tahun lalu, tsunami Covid-19 kali ini jauh lebih mengerikan. Dia merangsek semakin dekat, seolah di suatu malam yang dingin bisa tiba-tiba datang mengetuk pintu rumah. Beberapa keluarga sahabatnya meninggal. Puluhan tetangga kawasan perumahan tempat dia tinggal divonis positif.
“Bencana ini melanda seluruh pelosok negeri. Memang begitu adanya. Pulang kampung ke daerah pinggiran bukan jawaban,” ucapnya.
Sebagai jurnalis, Bipasha bersikap kritis terhadap setiap pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Ia memprotes keputusan pemerintah memberikan kelonggaran pada kegiatan-kegiatan yang mengundang kerumunan. Tapi pada saat bersamaan ia juga kecewa terhadap masyarakat yang mulai kendur menerapkan protokol kesehatan.
Percakapan kami berlangsung selama hampir setengah jam. Bipasha pamit untuk bersiap berangkat kerja. Setelah kerja dari rumah (WFH) selama beberapa pekan, dia sudah harus kembali berkantor.
Di sepanjang percakapan itu, Bipasha berulang kali mendoakan keselamatan bagi saya dan keluarga. Pagebluk yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini memang jauh lebih menakutkan daripada tantangan menyeimbangkan badan di atas sepeda.
Baca Juga: Percakapan (Terakhir) dengan Budi Brahmantyo
Mendengar Bukit Algoritma Sukabumi, Teringat Bandung Teknopolis
Yang di depan Mata
Wali Kota Oded M. Danial dan Ketua DPRD Tedy Rusmawan tentu tidak keliru ketika mengungkit apa yang terjadi di India ketika menekankan pentingnya kepatuhan pada protokol kesehatan dan keputusan pemerintah melarang mudik. Jika tidak hati-hati, malapetaka itu bisa terjadi di mana saja. Tak terkecuali Bandung.
Namun, sebelum jauh berkaca ke India, ada baiknya kedua pemimpin itu menengok apa yang terjadi di depan mata. Di kawasan perbelanjaan tidak jauh dari Alun-alun, yang berarti juga tidak jauh dari Pendopo yang jadi rumah dinas wali kota, orang-orang mulai menyerbu toko dan mal demi bisa berbelanja kebutuhan menjelang lebaran. Pemandangan serupa dengan mudah bisa ditemukan di banyak pusat belanja dan restoran lain di Bandung.
Melarang total aktivitas warga, apalagi beberapa hari menjelang lebaran, tentu juga bukan keputusan bijak, terutama karena pemerintah tidak sanggup menanggung seluruh kebutuhan warga selama dipaksa tinggal di rumah. Yang lebih masuk akal adalah memastikan setiap aktivitas di tempat komersial dan ruang publik berlangsung dalam disiplin protokol kesehatan yang ketat.
Kalau betul para pejabat tidak menginginkan apa yang dialami India terjadi di Bandung, tidak cukup mereka hanya menuntut warganya untuk tertib. Sebagai pemegang otoritas, yang dilengkapi dengan aparat dan infrastruktur, merekalah yang mestinya memikul tanggung jawab lebih besar.
Berkaca dari India, bukankah tsunami Covid-19 di negara itu lahir dari kecerobohan para pemimpinnya membiarkan berlangsungnya kegiatan-kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan warga?