• Opini
  • Urgensi Membaca Ulang Sebelum Berbicara Lantang

Urgensi Membaca Ulang Sebelum Berbicara Lantang

Di Indonesia, semua orang berhak berbicara dan berpendapat. Apakah semua perkataan bersumber dari kebenaran?

Mohamad Akmal Albari

Mahasiswa, aktif membuat blog

Ilustrasi. Teknologi gawai memudahkan manusia untuk menyuarakan pendapatnya di media sosial, 12 September 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

14 Oktober 2022


BandungBergerak.idFilsuf Yunani, Epictetus, pernah berkata bahwa adanya dua telinga dan satu mulut dikarenakan satu alasan, yaitu agar lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Sama halnya setiap indrawi tunggal memiliki sensitivitas tinggi terhadap segala sesuatu yang ditangkapnya. Mendengar dan membaca, hal yang mesti didahulukan, berbicara setelahnya. Seorang yang sering disebut profesional atau ahli bidang tertentu tidak semena-mena berteori dan berhipotesi tanpa penalaran yang ia miliki.

Mengkaji perihal membaca, zaman percepatan informasi, komunikasi, dan teknologi menumbuhkan literatur yang tereduksi oleh media sosial, absurditas pola pikir menelaah sesuatu, dan gegabah mencapai konklusi yang bias. Manusia generasi Z seharusnya bisa lebih cerdas dari pendahulunya, tidak sembarang menjahit kain dari bahan yang tidak jelas asalnya. Fenomena aplikasi media sosial tentu memudahkan kebutuhan yang proporsional bagi penggunanya.

Di Indonesia, semua orang berhak berbicara dan berpendapat sebagaimana pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang hak dan kewajiban warga negara Indonesia. Memanglah itu benar, kesalahan yang digarisbawahi adalah apakah perkataan semua orang merupakan hal benar? Contohnya, seseorang yang menekuni bidang hukum tapi belum sampai pada persoalan penemuan hukum. Ia ditanya temannya, “penemuan hukum itu bagaimana?” lalu, pelajar hukum menjawab “mudah saja, penemuan hukum itu hukum-hukum yang sudah ditemukan”.

Contoh tersebut mengartikan, meskipun seseorang terpandang di bidangnya namun ia tidak tahu apa-apa mengenai sesuatu yang dihadapinya, maka ia bisa membentuk pemahaman yang salah kepada yang lain. Dari perspektif psikologis, fenomena itu dinamakan Dunning-Kruger effect. Sederhananya, efek Dunning-Kruger adalah bias kognitif, keadaan seseorang dengan persepsi salah dan menilai diri sendiri lebih kompeten dari yang lain melalui pengetahuan yang dimilikinya [Apa itu Dunning-Kruger Effect, Kompas.com, Senin, 18 April 2022]. Layak ‘tong kosong, nyaring bunyinya’, suaranya keras namun tidak berarti apa-apa.

Tengok lingkungan di sekitar, satu atau dua orang terdekat selalu mengalami bias kognitif seperti itu. Membaca lagi dan lagi sampai paham sukar untuk dilakukan, tapi produktivitas seperti itu yang menjadikan seorang profesor, kyai, paus, dan ahli bidang tertentu kompeten dan berkualitas. Membaca di sini bukan hanya membaca buku, jurnal, dan teks saja. Pembacaan pada setiap realita, fakta, dan kehidupan sosial diperlukan juga. Waktu yang cukup juga perlu untuk pemenuhan atas pemahaman. Tetapi orang-orang kini cepat sekali manuver sana-sini memanggungkan dirinya mengetahui semua hal.

Mengutip dari cerita pendek (cerpen) A Scandal in Bohemia, Sherlock Holmes tegas mengatakan “It’s a capital mistake to theorieze before one has data, insensibly one begins to twist facts to suit theories, instead of theories to suit facts” (suatu kesalahan terbesar untuk seseorang berteori sebelum memiliki data, tanpa disadari seseorang akan memutarkan fakta agar sesuai teori, bukan teori yang sesuai faktanya). Kejadian-kejadian ini sering ditemui di ruang-ruang pendidikan baik akademik dan nonakademik. Tanpa teori dan ilmu yang sesuai, banyak mahasiswa dan pelajar bersikap arogan mendiskusikan gejala sosial, metafisika, politik hukum, dan psikologis berakting sebagai ahli konsultan ilmu.

Tidak salah juga, ruang-ruang diskusi harus tetap eksis agar penalaran seseorang tidak terpaku oleh literatur dan pengamatan yang sempit. Ketidaksetujuannya pada tindakan arogansi yang memposisikan diri senioritas paling cakap dan benar. Selalu ada pembenaran mereka dengan alibi jam terbang lebih lama, berpengalaman banyak hal, dan pengetahuan yang mendalam. Baiklah, kebudayaan yang tidak ada matinya ini harus didewasakan. Strateginya, tidak merasa puas dan taktiknya, selalu membaca ulang agar tidak salah penjelasan kala memberikan perihal keilmuan. Pada taraf tertentu, kefatalan budaya senioritas mengakibatkan efek domino pada orang-orang awam.

Baca Juga: SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1: Melahirkan Perlawanan pada Penjajahan
Pers Melahirkan Satu Bahasa
BANDUNG HARI INI: Akhir Perjalanan Sang Filsuf Jawa di Bandung, R.M.P. Sosrokartono

Efek Domino Dunning-Kruger Effect pada Fenomena Senioritas

Seorang senior pasti lebih percaya diri karena ia merasa kompetensi yang dimiliki lebih daripada junior. Begitulah, senior mengalami efek Dunning-Kruger karena terlalu percaya diri dan menjaga harga diri agar tidak terlihat rendah dan tak kompeten. Sang senior beranggapan ia memiliki kemampuan lebih dari mayoritas juniornya. David Dunning dan Justin Kruger dalam jurnal Unskilled and Unaware of it: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-assessments (1999) menggambarkan orang yang tahu sedikit, ia akan lantang menyuarakan. Semakin ia mengetahui, ia akan kembali merendahkan pembicaraan dan berdiam sampai pada saatnya ia akan kembali berapi-api.

Jika seorang senior lepas dari batas-batas norma umum, pasti menimbulkan kekerasan, kejahatan hingga pembunuhan. Ini bisa dilihat pada kasus 5 orang senior menganiaya 15 orang junior, salah satunya terbunuh di Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang [Tradisi Kekerasan Senior PIP Tewaskan Junior, Pelaku Mengaku Pernah Menjadi Korban, Kompas.com, Kamis, 14 April 2022]. Yang dikatakan senior adalah tradisi pembinaan. Padahal sama sekali tidak. Itu kesewenang-wenangan. Kasus lainnya, 23 orang bintara senior melakukan kekerasan pada 20 orang bintara junior di Polres Bungo, Jambi [20 Bintara Junior Polres Bungo Dianiaya Senior, 43 Personel Diperiksa Tim gabungan, merdeka.com, Rabu, 10 Agustus 2022].

Situasi yang sama, yaitu saat pembinaan. Tidak aneh, jika “pembinaan” terstigma negatif. Kiranya tujuan yang diharapkan dalam kasus-kasus tersebut adalah kepuasan balas dendam. Padahal pembinaan itu sendiri merupakan usaha yang dilakukan secara sadar, berencana, teratur, terarah untuk meningkatkan pengetahuan sikap dan keterampilan subjek didik dan tindakan, pengarahan, bimbimngan, pengawasan mencapai tujuan yang diharapkan (S. Hidayat, 1987).

Demikian, membaca ulang diperuntukkan agar mengurangi arogansi dan mengetahui kemampuan diri sendiri, tidak terlambat untuk bisa menjawab dan mengetahui sesuatu. Setiap guru yang penulis miliki, selalu membaca ulang kajian, peristiwa, kitab, buku, catatan sebelum mengajar dan mendiskusikannya. Ini juga berupaya pada pengenalan batas, batas wajar agar tidak melewatkan norma adat, hukum, dan agama. Lebih lanjut, lebih baik memperbaiki bus tua yang menampung puluhan orang ketimbang membeli mobil sport berisi dua kursi nan mahal. De omnibus dubitandum! (segala sesuatu harus diragukan) jelas Rene Descrates.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//