• Nusantara
  • Kekerasan terhadap Jurnalis Tumbuh Subur Akibat Rendahnya Dukungan Keselamatan oleh Perusahaan Media

Kekerasan terhadap Jurnalis Tumbuh Subur Akibat Rendahnya Dukungan Keselamatan oleh Perusahaan Media

Kebanyakan jurnalis mendapatkan pelatihan justru dari organisasi profesi, bukan dari pada perusahaan media tempat mereka bekerja.

Ilustrasi ancaman kebebasan pers dan berekspresi. Indonesia subur dengan pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi. (Sumber: Aliansi Jurnalis Independen (AJI))

Penulis Delpedro Marhaen20 Oktober 2022


BandungBergerak.idKeselamatan jurnalis di Indonesia belum mendapatkan perhatian serius. Indeks Keselamatan Jurnalis (IKJ) 2022 mengungkapkan bahwa salah satu faktor meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis dikarenakan dukungan keamanan dari perusahaan media terhadap keselamatan jurnalis masih rendah.

Minimnya pelatihan keamanan yang diberikan oleh perusahaan media bagi jurnalis menjadi salah satu indikator yang dicatat IKJ 2022. Selain itu juga karena minimnya protokol keamanan khusus bagi jurnalis perempuan untuk melindungi dari ancaman kekerasan seksual. Mereka menyebutkan kebanyakan pelatihan justru mereka dapatkan dari organisasi profesi dari pada perusahaan media tempat mereka bekerja.

“Kekerasan terhadap jurnalis tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Namun, terkadang kurangnya pengetahuan jurnalis dalam melihat resiko keamanan dan minimnya perlindungan perusahaan media membuat dampak kekerasan semakin berat bagi korban,” ujar Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setiap tahunnya terdapat berbagai ragam kekerasan terhadap jurnalis, seperti kekerasan fisik, digital, hingga kriminalisasi. Terbaru dialami 37 awak redaksi Narasi yang mengalami serangan digital. Hal itu disebut menghambat kerja jurnalis untuk memberikan informasi secara utuh kepada publik.

Penyusun Riset IKJ 2022, Bambang Muryanto, mengatakan kekerasan terhadap jurnalis tersebut merupakan bagian dari intervensi terhadap kebebasan pers. Bambang menegaskan bahwa keselamatan dari jurnalis merupakan syarat untuk terciptanya kebebasan pers. Tanpa ada keselamatan bagi jurnalis, mustahil dapat menghasilkan informasi yang berkualitas.

“Kalau kemudian jurnalisnya banyak mengalami hambatan dan ancaman, dia akan melakukan swasensor sehingga tidak bisa memberikan laporan yang berkualitas kepada masyarakat,” kata Bambang Muryanto dalam peluncuran IKJ 2022 di kanal Youtube AJI Indonesia, Rabu (19/10/2022).

Dalam temuannya, Bambang mengatakan mayoritas jurnalis sering mendapatkan penghalangan ketika meliput suatu peristiwa, mulai dari perampasan alat kerja hingga dipaksa untuk tidak melakukan peliputan. Para jurnalis juga mengakui bahwa serangan digital semakin meningkat. Banyak di antaranya yang mengalami doxxing, peretasan, hingga cyber bullying.

“Jurnalis makin rentan mengalami serangan digital antara lain karena penulisan nama jurnalis secara lengkap dalam berita yang dibuatnya. Sejumlah jurnalis juga mengatakan ancaman digital lebih banyak terjadi di Jakarta, sedangkan di luar Jakarta lebih menggunakan kekerasan,” papar Bambang.

Dalam IKJ 2022 secara umum memperlihatkan pengetahuan jurnalis mengenai risiko keamanan fisik, digital, dan psikologis sangat baik. Kendati, ketaatan jurnalis terhadap protokol cukup bervariasi. Misalnya mayoritas jurnalis tahu pentingnya menggunakan jasa layanan surat elektronik terenkripsi untuk melindungi data dari serangan digital. Namun hanya 43 persen jurnalis di Jakarta dan 51 persen jurnalis di luar Jakarta yang menerapkannya.

IKJ 2022 disusun berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 520 jurnalis yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan rincian, 120 jurnalis di Jakarta dan 402 jurnalis di luar Jakarta. Survei dilakukan pada 16 Juni hingga 15 Juli 2022.

“IKJ 2022 diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan media dan pemangku kepentingan terkait sehingga dapat menjadi panduan dalam melakukan perbaikan situasi keamanan bagi jurnalis,” kata Bambang.

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis dan Jaringan CekFakta: Peretasan Akun Ketua AJI sebagai Teror terhadap Demokrasi
AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Buku Digital “Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia”, Kasus Ini Harus Diusut Tuntas

Liputan Beresiko

Bambang juga mengungkapkan sebanyak 85 persen jurnalis yang menjadi responden Indeks Keselamatan Jurnalis 2022 pernah melakukan liputan berisiko. Jurnalis yang bertugas di luar Jakarta disebut tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk menolak penugasan liputan berisiko. Namun ada beberapa jurnalis yang memiliki berbagai cara untuk menghindari penugasan tersebut.

“Karena media tersebut kurang orang dan hanya media itu yang ada di lapangan sehingga kalau jurnalisnya menolak menjalankan tugas akan mendapatkan penilaian buruk,” ungkap Bambang.

Sebanyak 90 persen responden, lanjut Bambang, mengatakan bahwa liputan di wilayah konflik, baik dengan militer atau antarmasyarakat merupakan liputan yang paling berbahaya. Disusul dengan 74 persen responden yang mengatakan liputan pendudukan oleh kelompok bersenjata. Kemudian sebanyak 72 persen responden mengatakan liputan penularan bibit penyakit, aksi teroris 62 persen, bencana alam 58 persen, dan yang dianggap paling tidak berbahaya adalah liputan kriminal.

Kendati demikian, ada beberapa media yang mengantongi nilai indeks cukup tinggi memberikan pilihan mengenai penugasan beresiko. Dua di antaranya adalah memberikan ruang sehingga jurnalis memiliki hak menolak bila ditugaskan ke wilayah berisiko dan pemantauan keselamatan jurnalis di lapangan.

Kesehatan Fisik dan Psikologis

Kesehatan fisik dan psikologis juga menjadi indikator indeks keselamatan jurnalis. Secara umum responden memiliki kesadaran perlunya persiapan kesehatan fisik sebelum melakukan peliputan. Namun masih ada yang tidak memperhatikan atau tidak taat terhadap kesehatan fisik, misalnya tidak dapat memastikan golongan darah dan jenis alergi yang diderita.

Kemudian mengenai persiapan obat pertolongan pertama. Mayoritas jurnalis mengetahui bahwa membawa obat pertolongan pertama pada saat melakukan peliputan adalah hal yang penting. Tetapi faktanya hanya sekitar 44 persen jurnalis di Jakarta yang membawa obat pertolongan pertama pada saat peliputan, sementara di luar Jakarta hanya 38 persen.

“Para jurnalis juga paham tentang pentingnya persiapan mental dan potensi dampak psikologis dari liputan berisiko,” ungkap Bambang.

Akan tetapi, sambung Bambang, faktanya ketaatan jurnalis tidak banyak melakukan persiapan itu. Salah satunya seperti pentingnya olahraga agar bugar, menghabiskan waktu dengan keluarga sebelum liputan, dan mengetahui akses asuransi kesehatan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//