• Nusantara
  • Buku Digital “Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia”, Kasus Ini Harus Diusut Tuntas

Buku Digital “Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia”, Kasus Ini Harus Diusut Tuntas

Dari 9 kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia, hanya satu kasus saja yang pelakunya diproses hukum. Negara belum mememberikan perlindungan terhadap jurnalis.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meluncurkan buku digital berjudul Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia, Rabu (12/10/2022). Pengusutan terhadap kasus kematian jurnalis di Indonesia masih gelap. (Foto Ilustrasi: Aliansi Jurnalis Independen (AJI))

Penulis Mawaddah Daniah15 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meluncurkan buku digital berjudul ‘Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia’. Buku ini memuat kekerasan dan pembunuhan terhadap 9 orang jurnalis. Pengusutan terhadap kasus kematian mereka masih gelap.

Sembilan jurnalis tersebut, yaitu Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1996), Naimullah (1997), Agus Mulyawan (1999), Muhammad Jamaluddin (2003), Ersa Siregar (2003), Herliyanto (2006), Ardiansyah Matrais Wibisono (2010), Anak Agung Prabangsa (2009), dan Alfred Mirulewan (2010). Dari 9 kasus ini, hanya satu kasus pembunuhan yang pelakunya diproses hukum.

Buku digital ini disususun berdasarkan riset AJI Indonesia bersama AJI kota dan beberapa pihak terkait. Karya ini bukan sekadar mendokumentasikan kematian jurnalis di masa lalu. Tapi sebagai pengingat bahwa impunitas pelaku kejahatan terhadap jurnalis masih menjadi tantangan terbesar di negeri ini.

Ketua umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim mengungkapkan bahwa kasus-kasus pembunuhan pada jurnalis harus diusut secara tuntas supaya korban dan keluarga korban bisa mendapatkan keadilan yang seutuhnya. Apalagi masih banyaknya informasi yang masih simpang siur terkait kasus pembunuhan ini. Hal ini yang membentuk AJI untuk berupaya melakukan riset kembali.

Penerbitan buku digital ini diharapkan bisa menjadi bahan advokasi bagi komunitas pers, khususnya Dewan Pers. Ia juga menegaskan, 8 kasus kematian jurnalis yang masih belum ditangani dengan tuntas ini bisa dilanjutkan kembali jika dilakukan bersama-sama, terutama jika pihak aparat penegak hukum ikut serta.

“Kita dorong secara bersama-sama aparat penegak hukum untuk melanjutkan kembali ya dengan berangkat dari riset ini. Jadi, ini adalah salah satu bahan yang bisa kita maksimalkan untuk advokasi pembunuhan terhadap jurnalis,” tutur Sasmito Madrim, dalam diskusi sekaligus diseminasi buku digital ‘Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia’ yang menghadirkan Kemenkopolhukam, Polri, Dewan Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan AJI Indonesia, via Zoom Meeting, Rabu (12/10/2022).

Hadir pula 3 periset buku, di antaranya Rudy Riwukah yang meliput kematian jurnalis Agus Mulyawan. Agus meninggal saat bertugas di Timor Timur. Periset lainnya, Juli Amin meliput jurnalis Muhammad Jamaluddin yang tewas di Aceh, dan Shinta Maharani meliput jurnalis Agus Mulyawan yang tewas di Yogyakarta.

Rudy menuturkan, tidak ada kejelaskan proses hukum terhadap kematian jurnalis Agus Mulyawan. Tidak ada transparansi kasus dari pihak aparat kepada masyarakat luas.

Juli Amin memaparkan proses pencarian data untuk kasus kematian Jamal yang bekerja di TVRI. Juli mewawancarai jurnalis yang menjadi rekan Jamal, yang pada saat kejadian tersebut mengintip dari celah jendela dan melihat langsung ketika Jamal dibawa oleh 2 orang misterius yang tak dikenal.

Menurut Juli, narasumber yang diwawancarainya masih menyimpan rasa kekhawatiran dan trauma ketika menceritakan rekan kerjanya yang tewas tersebut.

Namun, ada kendala yang dirasakan oleh tim periset. Salah satunya adalah Nasrullah yang merupakan satpam di Gedung Kantor TVRI tersebut sudah meninggal dunia. Nasrullah yang membawa 2 orang misterius itu masuk ke ruangan Jamal.

“Mereka parkir di depan pintu masuk Gedung kantor kemudian menyapa satpam Nasrullah. Ini juga salah satu kendala bagi kami karena Nasrullah sudah meninggal lebih dahulu sebelum riset dilakukan. Jadi sebenarnya kunci utama itu ada di almarhum Nasrullah ini, karena dia yang membawa kedua orang ini yang turun dari mobil ke ruangan Jamal,” ungkap Juli.

Sementara Shinta memaparkan pencarian data terkait kematian Udin. Ia membuka-buka kembali berkas berupa kliping koran yang menggambarkan karya jurnalistik Udin yang diduga kuat menjadi pemicu pembunuhannya.

Beberapa karya junalistik Udin di antaranya mengenai dugaan suap dan korupsi dalam suksesi Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo. Ada juga megaproyek parangtritis dan sunat data ITD.

Pembunuhan Udin diketahui jelas kronologinya, namun hingga sekarang belum diketahui benang merah siapa pelakunya. Beberapa dugaan mengarah pada Sri Roso. Dalam wawancara kepada media pada 23 Agustus 1196, Sri Roso menyatakan berita-berita media selama ini tidak fair.

Baca Juga: Saatnya Media Lokal Independen di Bandung Berjejaring
AJI Bandung Mengecam Kekerasan terhadap Jurnalis di Kabupaten Sukabumi
Malam Resepesi AJI, dari Penghargaan Jurnalis Warga hingga Udin Award 2022

Terkendala Waktu dan Langkah Lambat Aparat

Tim LBH Pers, Mona Ervita mengungkap yang menjadi tantangan dari kesembilan kasus ini adalah waktu kejadian yang membentang panjang, yakni di era Orde Baru hingga awal tahun 2000.

Perlindungan terhadap pers di zaman Orde Baru sangat gelap. Waktu itu belum ada UU Pers (baru disahkan di tahun 1999). Terlebih adanya peraturan hukum yang dapat menghalangi untuk mengungkap hal ini, yaitu kedaluarsa waktu pengungkapan kasus jika lebih dari 20 tahun.

“Tantangan mengungkap kasus-kasus ini tadi seperti kasus Udin terjadi di tahun 96, sudah 26 tahun memang di peraturan hukum kita bentuk kedaluwarsa hukum itu 20 tahun. Ya artinya penegak hukum tidak bisa mengungkap kasusnya lagi karena tertutup oleh kedaluwarsa sepeti itu,” ungkap Mona Ervita.

Tidak adanya penyelidikan dan keterangan lebih lanjut dari aparat penegak hukum juga mejadi penghambat pengungkapan kasus kematian jurnalis. Hal tersebut yang masuk dalam pelanggaran dari proses peradilan yang adil. Seharusnya jurnalis mendapatkan jaminan-jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), karena kerja-kerja jurnalis ini adalah bagian dari pembela HAM.

“Dari dulu bahkan hingga sekarang kasus yang dialami oleh rekan-rekan jurnalis itu mengalami impunitas, artinya tidak adanya kasus yang diungkap atau dituntaskan hingga sampai ke pengadilan. Dan ini juga menjadi catatan bahwa di era-era Orde Baru, reformasi, hingga saat ini semakin berkembang bahwa jurnalis ini seharusnya dilindungi oleh negara dan mendapatkan jaminan-jaminan HAM,” tutur Mona.

Wakil Ketua Dewan Pers, Muhammad Agung Dharmajaya mengajak agar kasus ini bisa diusut dan dieksekusi kembali secara tuntas. Karena menurutnya, yang menjadi kendala sulitnya mengungkap kasus ini ada dari aparat penegak hukumnya.

“Persoalannyakan sampai hari ini kalau boleh kita bilang, misalnya mandetnya di aparat penegak hukum di kepolisian gitu kan,” ucapnya.

Sementara itu, Kombes Pol. Umi Fadilah dari Divisi Humas Polri merespons adanya tim independen untuk membahas serta mengadvokasi kasus-kasus kematian jurnalis yang pelaku kekerasannya atau proses hukumnya belum terungkap. Terlebih jika ada referensi dan bukti yang kuat maka kasus bisa diungkap kembali tanpa melihat kedaluarsa peraturan hukum.

“Seandainya seperti kasus Udin sudah 26 tahun kemudian ada undang-undang mengatakan bahwa kasus kedaluarsa ini kurang lebih 20 tahun seperti itu ya. Tapi apakah ada referensi lain yang mungkin bisa ditemukan ketika kasus ini sudah lebih dari 20 tahun bisa berubah kembali, kalau seandainya ada kenapa gak kita buka kembali, seperti itu,” ujar Umi.

Kemenpolhukam Bidang Informasi Publik dan Media Massa, Novan Ivan menuturkan tentang perlindungan jurnalis di bawah UU Pers tahun 1999. Selain memastikan penegakan hukum, perlu juga diperhatikan masalah regulasi atau UU yang memberikan perlindungan yang kuat kepada jurnalis-jurnalis Indonesia. Karena menurutnya, itu juga yang menjadi salah satu pendukung kualitas karya jurnalistik mereka.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//