Saatnya Media Lokal Independen di Bandung Berjejaring
Media lokal independen di Bandung sangat beragam. Mereka berusaha menyalurkan idealisme, walaupun tidak mudah. Jumlah media online menurut Dewan Pers 43.300 media.
Penulis Iman Herdiana30 Mei 2022
BandungBergerak.id - Perekembangan media massa saat ini berbeda dengan satu atau dua dekade ke belakang, dengan media berbasis teknologi digital lebih dominan. Di antara menjamurnya media online ini, tumbuh ekosistem media massa yang bersifat lokal dan independen.
Media lokal dan independen tersebut umumnya dijalankan dengan jumlah jurnalis (SDM) dan modal terbatas, namun sama-sama mengusung idealisme untuk bisa melayani kebutuhan publik akan informasi yang bermutu.
Hal itu dapat disimak dari acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 2022 yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Senin (30/5/2022). Acara ini sedikitnya dihadiri 16 media lokal independen di Bandung. Mereka berdiskusi dengan tajuk “Memperkuat Jejaring Media Lokal Independen, Bersama Merawat Kebebasan Berekspresi”.
Sesuai urutan absensi, media lokal independen yang hadir antara lain Melekmedia, Bandungbergerak, FKPMB (Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung), LPM Jumpa, jurnalis freelance, mahasiswa Unpad, Tugu Bandung, Berita Baik, Saukun Bdg, Portalkripto, Metrumi TB, Satu Tema, Apa Kabar, Jurnal Fikom, LPM Suaka, Kutub.id, Jurnalisme Komik, dan lain-lain.
Jumlah tersebut sebagian kecil saja dari media massa yang ada di Indonesia. Tahun 2014 saja Dewan Pers merilis jumlah media radio 674 media, media televisi 523 media. Pada tahun 2015 jumlah media cetak tercatat 2.000 media. Sedangkan jumlah media online tercatat 43.300. Jumlah media online dipastikan melesat setiap tahunnya.
Pendiri Berita Baik, Avitia Nurmatari, menuturkan pembentukan Berita Baik terdorong dari kegelisahannya sendiri terhadap jurnalistik yang berkembang di era digital ini. Lewat Berita Baik, ia dan timnya ingin menyajikan informasi yang khas sesuai visi misi, menghadirkan berita positif yang inspiratif.
Namun dalam perjalanannya, Berita Baik pun mengalami gelombang yang tidak mudah, terutama terkait dengan model bisnis yang belum mampu menopang para awak redaksinya. Saat ini Berita Baik telah kembali dengan SDM yang lebih ramping dan bergabung dengan sistem media jaringan sambil tetap mempertahankan visi misi mereka.
Ada juga Erwin Kustiman pendiri Tugu Bandung yang menuturkan bahwa pembentukan medianya kurang lebih sama dengan yang dialami Avie, yakni karena ekosistem media digital yang tidak memberi ruang pada standar jurnalisme.
“Jadi jangankan jurnalisme kritis, yang standar pun tak terpenuhi prasyaratnya,” kata Erwin.
Tugu Bandung awalnya dibangun untuk mewadahi gairah jurnalisme para mahasiswa. Erwin yang berasal dari salah satu perusahaan media, kemudian bertemu rekan-rekan selapangan dan sepakat untuk mendirikan media profesional. Tugu Bandung pun menghadapi kesilitan mencari-cari model bisnis untuk menopang aktivitas jurnalistiknya.
Baca Juga: Laga Para Penghayat Muda
WTP BPK Bukan Berarti Seluruh Pengelolaan Keuangan Pemkot Bandung Baik
Jangan Lupa, PKL Bandung adalah Anak Sah dari Pertumbuhan Ekonomi
View this post on Instagram
Keragaman Demokrasi dan Godaan Keseragaman
Ada dilema besar yang dihadapi para pendiri dan awak redaksi media lokal independen di Bandung, yakni bagaimana agar model bisnis yang dijalankan bisa eksis dan menghidupi media mereka. Masalah ini belum terpecahkan hingga kini, di tengah godaan membuat konten seragam yang banyak mendatangkan pembaca atau klik.
Perwakilan penyelenggara acara dari AJI Bandung, Catur Ratna Wulandari, mengatakan diskusi bersama media lokal independen ini dilatarbelakangi bahwa kemunculan media-media lokal baru sebagai pertanda baik bagi demokrasi, terutama terkait kebebasan pers dan berekspresi.
Kehadiran mereka telah menyajikan berita-berita beragam di internet, lebih lokal atau khusus. Kerja mereka turut merawat keberagaman informasi dan menghindari keseragaman. Namun dalam perjalanannya, mereka menghadapi medan yang tidak semulus yang diharapkan.
Para pemain besar justru menggoda media-media lokal untuk menyajikan berita yang seragam demi mendatangkan banyak klik.
“Di perjalanan mereka tidak gampang merawat ruang berekspresi karena masing-masing menghadapi tantangan sendiri-sendiri, mulai dari SDM yang terbatas, dana terbatas, kesulitan mendapatkan panggung yang sama karena di dunia digital sudah kadung berkembang ekosistem sekarang ini yang berpihak pada mereka yang menghasilkan konten yang banyak dan algoritma. Ekosistem ini akhirnya bagi yang ingin menyajikan konten beragam menjadi seragam,” papar Ratna, di sela-sela acara.
Akan tetapi di tengah kendala-kendala itu, AJI Bandung melihat media-media lokal independen memiliki kekuatan tersendiri. Mereka bergerak dari level komunitas atau bawah, dengan isu-isu mereka yang khas yang menghasilkan segmen atau pembaca yang khusus pula.
Maka melalui pertemuan tersebut, dihadapkan muncul suatu wadah bersama yang mampu memecah kebuntuan. Forum ini akan menjadi wahana pertemuan-pertemuan selanjutnya, untuk saling berbagi pengalaman, skill, bertukar ide, gagasan, dan saling belajar bersama.
Forum ini akan berusaha mencari cara bagaimana agar media lokal bisa eksi tanpa tergantung klik atau pagepiew yang dihasilkan dari konten seragam.
Meski demikian, forum ini bukan wadah untuk saling contek ide dan sistem. Ratna yakin, kebutuhan dan sistem yang dijalankan masing-masing media lokal berbeda-beda, begitu juga segmentasinya. Sistem di satu media tidak akan cocok jika diterapkan pada media lainnya.
Di samping itu, mengumpulkan media-media lokal dalam satu wadah bukan berarti menyatukan mereka dalam satu platform media. Mereka akan tetap bekerja dengan ranahnya masing-masing, namun di antara pekerjaan rutin tersebut mereka membangun jaringan bersama.
“Intinya berkolaborasi. Kita berharap segmen yang beda-beda ini, yang kecil-kecil ini kalau disatukan jadi banyak kan, jadi daya ungkitnya lebih tinggi,” kata Bendahara AJI Bandung tersebut.
Ratna mengutip pernyataan dosen ilmu komunikasi Telkom University Rana Akbari, yang juga hadir dalam temu media tersebut, bahwa dengan bersatu media-media jurnalistik ini bisa merebut ruang-ruang digital yang sejatinya bukan milik segelintir pemain besar.
Selain itu, posisi AJI Bandung dalam hal ini lebih sebagai pemantik pertama. Selanjutnya bola forum ada di tangan masing-masing media lokal independen untuk melanjutkannya.
”AJI Bandung mendukung sesuai kapasitas yang ada di AJI Bandung sendiri. Yang bergerak selanjutnya media-medianya,” kata Ratna.
Hari Kebebasan Pers Sedunia di Cirebon
Jika di Bandung Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati dengan diskusi media-media lokal, di Cirebon, Jawa Barat, momentum ini diperingati dengan aksi turun ke jalan. Aksi dilakukan oleh Koalisi Jurnalis Cirebon di Tugu Proklamasi.
Aksi tersebut mengingatkan isu pentingnya kebebasan pers dan perlindungan terhadap profesi jurnalis. Menurut Koalisi Jurnalis Cirebon, meskipun sudah 29 tahun lalu masyarakat dunia memberikan perhatian untuk kebebasan pers, kondisi jurnalis masih jauh dari harapan.
Rabu (11/5/2022) lalu, misalnya, jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh (51), dibunuh dalam serangan tentara Israel di kawasan Jenin, wilayah pendudukan Tepi Barat. Kasus tersebut menunjukkan jurnalis belum sepenuhnya terlindungi.
Di Indonesia, kasus pembunuhan jurnalis juga masih menghantui. Misalnya, kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin wartawan Harian Bernas Yogyakarta, 1996, yang hingga kini belum terungkap pelakunya.
Koalisi Jurnalis Cirebon merupakan gabungan organisasi profesi jurnalis yang terdiri dari AJI Bandung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Cirebon Raya, unit kegiatan pers kampus seperti Fatsoen dan Setara, serta para jurnalis di wilayah Cirebon.
Dalam aksinya, selain menyuarakan pentingnya kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis, mereka juga menyuarakan pemberitaan yang ramah anak.