• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 3)

NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 3)

Medan Prijaji berkembang pesat di Bandung. Menyewa gedung, berubah menjadi koran harian, memperluas jejaring dengan pedagang, dan menulis kritik yang lebih pedas.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Naripanweg (kini Jalan Naripan) di Bandung sekitar tahun 1913. (Koleksi KITLV 155144, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

11 November 2022


BandungBergerak.id - Sejak tahun 1911, koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda tidak lagi menyebutkan Medan Prijaji sebagai koran yang diterbitkan dari Buitenzorg. Koran milik Tirto Adhi Soerjo tersebut mendapat sebutan koran berbahasa Melayu yang terbit dari Bandung. Di tahun tersebut seluruh aktivitas N.V. Medan Prijaji dijalankan sepenuhnya dari Bandung.

Akivitas Medan Prijaji di Bandung di jalankan dari sebuah gedung di Naripanweg, kini Jalan Naripan yang berada di pusat kota. Berita di koran De Preanger-bode tangal 12 April 1911 salah satunya yang memastikan gedung milik koran tersebut terletak di Naripanweg. Sayangnya tidak ada informasi yang lebih rinci mengenai gedung milik koran tersebut di Bandung.

Koran De Preanger-bode tersebut memberitakan tentang korban penyakit kolera, salah satu penyakit menular yang berbahaya di zaman tersebut. Kala itu tempat tinggal yang penghuninya terpapar kolera harus dipasangi plakat untuk memeringatkan penduduk sekitar untuk menjauhi agar tidak ikut tertular.

Koran tersebut memberitakan gedung Medan Prijaji di Naripanweg salah satu yang dipasangi palat peringatan penyakit kolera. “Di gedung Medan Prijaji, seorang penulis pribumi terbaring sakit. Tindakan dekontaminasi telah diambil dan dokter sipil telah memerintahkan rumah untuk ditutup,” tulis De Preanger-bode tanggal 12 April 1911.

Di Buitenzorg tempat lahirnya, Medan Prijaji terbit sebagai majalah mingguan. Namun sejak pindah ke Bandung, Tirto Adhi Soerjo menjadikan Medan Prijaji menjadi koran yang terbit setiap hari.

Harian  Arnhemsche courant tanggal 21 November 1911 memberitakan, NV Medan Prijaji menerbitkan oblitasi dan surat hutang untuk memodali Medan Prijaji terbit menjadi koran harian. Modal yang terkumpul dari penjualan obligasi dan surat hutang tersebut menembus 80 ribu Gulden.

Gadis dalam sarung dan kebaya di Preanger di Jawa Barat sekitar tahn 1930. (Koleksi KITLV 182130, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Gadis dalam sarung dan kebaya di Preanger di Jawa Barat sekitar tahn 1930. (Koleksi KITLV 182130, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Menggebrak dengan Poetri Hindia

Koran De Preanger-bode tanggal 1 Januari 1911 memberitakan gebrakan perdana Tirto Adhi Soerjia di Bandung lewat N.V. Medan Prijaji, perusahaan penerbitan yang didirikannya bersama Mohamad Arsad. Di perusahaan penerbitan tersebut Tirto Adhi Soerjo menjabat direktur.

NV Medan Prijaji kala itu tidak hanya menerbitkan mingguan Medan Prijaji. Tapi juga majalah mingguan yang khusus menyasar pembaca perempuan yakni Poetri Hindia. Majalah tersebut yang mencuri perhatian tak lama setelah NV Medan Prijaji hijrah ke Bandung 

Koran tersebut menceritakan pendirian sekolah batik yang dimotori oleh majalah mingguan Poetri Hindia. “Perkembangan industri batik di Preanger yang masih rendah mendorong penerbit majalah perempuan pribumi “Poetri Hindia” mendirikan sekolah batik di Bandung yang di dalamnya juga terdapat sekolah memasak. Buka akhir bulan ini,” tulis De Preanger-bode, tanggal 1 Januari 1911.

Majalah mingguan Poetri Hindia memang diperuntukkan untuk kemajuan perempuan pribumi di Hindia Belanda. Tirto Adhi Seorjo tidak ikut campur langsung di majalah perempuan yang digawangi oleh L.E. Staal, Raden Ajoe Tirtoadisoerjo, dan Raden Adjeng Soekito Tirtokeosoemo.

Kiprah Poetri Hindia tersebut menarik perhatian banyak orang. Ibu suri Kerajaan Belanda, H. K. H. Koninginmoeder Emma atau Ratu Emma bahkan memberikan hadiah berupa uang sebagai tanda simpati dan ketertarikannya pada gerakan perempuan pribumi yang diperlihatkan lewat majalah tersebut.

Koran De Preanger-bode tanggal 1 Januari 1911 memberitakan hadiah yang dari Ratu Emma itulah  yang dipegunakan Poetri Hindia membuka sekolah batik di Bandung. Pendirian sekolah tersebut juga mendapat sokongan dari Boedi Oetomo dan Darmo Oepojo, organisasi pegerakan pribumi. Sejumlah bupati di Preanger juga ikut menyokong sekolah tersebut.

Sekolah batik tersebut diperuntukkan bagi perempuan desa. Tidak ada biaya yang dipungut pada siswa. Sekolah batik bahkan menyediakan asrama juga makan sehari-hari bagi siswanya. Batik yang dihasilkan siswa sekolah tersebut menjadi sumber penghasilan sekolah.

Selain belajar batik, siswa juga belajar memasak. “Salah satu tujuan pengajaran pelajaran memasak adalah untuk mengembangkan juru masak yang berpendidikan baik untuk orang Eropa,“ tulis De Preanger-bode, 1 Januari 1911.

Anggota Sarekat Islam, mungkin pada pertemuan di Blitar sekitar tahun 1914. (Koleksi KITLV 8092, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Anggota Sarekat Islam, mungkin pada pertemuan di Blitar sekitar tahun 1914. (Koleksi KITLV 8092, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Menerbitkan De Maleische Pers

Tirto Adhi Soerjo dengan tangan NV Medan Priaji juga mendirikan majalah mingguan berbahasa Belanda yang dinamai De Maleische Pers. Harian Deli courant tanggal 19 Januari 1911 memberitakan terbitnya harian terbaru milik NV Medan Prijaji.

“Kami yakin bahwa Ned. India benar-benar membutuhkan terbitan berkala yang, dalam bahasa Belanda, memberikan gambaran singkat tentang semua yang muncul di pers Pribumi dan Cina tentang artikel dan pertimbangan yang kurang lebih penting,” tulis Deli courant mengutip pengantar dalam terbitan perdana De Maleische Pers.

Tirto Adhi Soerjo terang-terangan menyebutkan bahwa De Maleische Pers meniru koran dengan semangat yang sama yang terbit di Den Haag, Belanda yakni mingguan Koloniaal Weekblaad. Koran yang terbit di negeri Belanda tersebut hanya menyajikan berita yang terjadi di Hindia Belanda, serta memberi ruang bagi pribumi di Hindia Belanda untuk berpendapat atas persoalan yang terjadi di negeri koloni tersebut. Secara berkala mingguan Koloniaal Weekblaad juga mengutip tulisan yang muncul di koran Medan Prijaji.

Tirto Adhi Soerjo sengaja menerbitkan De Maleische Pers dalam bahasa Belanda untuk menyajikan pemberitaan dari sudut pandang pribumi dan etnis Cina yang tinggal di Hindia Belanda. Dia meyakini koran yang diperuntukkan bagi warga Belanda di Hindia Belanda yang menyajikan tulisan dengan sudut pandang pribumi dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka menjadi penting untuk saling memahami.

Koran Algemeen Handelsblad tanggal 6 Februari 1911 memberitakan edisi perdana mingguan De Maleische Pers. “Edisi pertama telah diterbitkan majalah mingguan De Maleische Pers, untuk publikasi dalam lingkaran yang lebih luas dari ekspresi penting dari pers pribumi dan Cina. Penerbitnya adalah N. V. Medan Prijaji, sedangkan editor Medan Prijaji mengurus pengeditan untuk saat ini,” tulis koran tersebut.

Sayang, De Maleische Pers tidak berumur panjang. Koran tersebut hanya sanggup terbit 4 kali.

Majalah mingguan Koloniaal Weekblaad tanggal 9 Maret 1911 membertiakan tutupnya koran berbahasa Belanda yang digawangi sendiri oleh Tirto Adhi Soerjo. “Sebuah usaha yang gagal. Medan Prijaji mengumumkan bahwa majalah mingguan ‘De Maleische Pers’ tidak akan muncul lagi setelah edisi keempat dari majalah ini karena kurangnya pelanggan,” tulis Koloniaal Weekblaad.

Berorganisasi dan Berjejaring

Di Bandung, kegiatan Tirto Adhi Soerjo bersama organisasi pergerakan bumiputra makin intens. Buku De nationalistische beweging in Nederlandsch-Indie? (Gerakan Nasionalis di Hindia Belanda) karya  J. Th. Petrus Blumberfer, mantan pejabat tata kelola (Bestuursambtenaar) pemerintah Hindia Belanda, yang terbit tahun 1931 menyinggung keterkaitan akvtivitas Tirto Adhi Soerjo dengan Sarekat Islam.

Petrus menyebutkan kehadiran Boedi Oetomo, organisasi pemuda yang didirkan Soetomo dan mahasiswa STOVIA  (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) membawa dampak tumbuhnya kesadaran berorganisasi yang pada akhirnya mengembangkan gagasan atas bangsa, gagasan atas nasionalisme. Boedi Oetomo menunjukkan cara yang memungkinkan bagi bumiputra untuk berpolitik.

Tirto Adhi Soerjo yang memiliki kesadaran yang sama atas kecintaannya pada rakyat jelata bergerak dengan cara berbeda. Dia melihat kekuatan ekonomi sebagai alat untuk mandiri, untuk mengubah nasib dan berdiri sama tegak dengan warga Eropa di Hindia Belanda.

Tirto Adhi Soerjo menghimpun kelompok pedagang bumiputra dengan membentuk Sarekat Dagang Islam pada tahun 1909 di Batavia, yang selanjutya pindah ke Buitenzorg. Tirto Adhi Soerjo menunjukkan ketertarikannya pada kelompok pedagang. Kelompok yang punya kesempatan paling besar untuk mengubah nasib, mandiri, dan berdiri sama tegak. 

Kegiatannya menyokong sekolah batik asuhan Poetri Hindia membawanya menelusuri jejaring pedagang batik. Hingga dia kemudian bepergian ke Solo dan berkenalan dengan pengusaha batik Hadji Samanhudi di Lawejan. Tirto Adhi Soerjo menularkan ide dan mendorong kelompok pedagang batik di sana membentuk koperasi hingga kemudian terbentuklah organisasi Sarekat Islam di Solo. Tirto Adhi Soerjo juga membantu Sarekat Islam memiliki penerbitan sendiri. Di Jogjakarta, Tirto Adhi Soerjo membantu pendirian media dan percetakan Sarotomo.

Sarekat Islam berkembang makin besar di Solo. Anggotanya makin banyak, Samanhudi memutuskan mengambil alih Sarotomo dan memindahkannya ke Solo.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 1)
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 2)

Kritik Berbalas Gugatan Hukum

Harian Medan Prijaji terus menerbitkan tulisan yang semakin tajam. Di Bandung, Tirto Adhi Soerjo mulai mendidik penulis-penulis baru untuk mengisi halaman Medan Prijaji. Kesibukan terkadang membuatnya lalai mengawasi tulisan yang terbit di Medan Prijaji.

Gara-gara tulisan wartawan baru didikannya, Tirto Adhi Soerjo berseteru dengan K. Wybrands. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tangga 31 Januari 1911 menerbitkan tulisan pedas yang ditujukan pada Tirto Adhi Soerjo.

Penyebabnya seorang penulis baru didikan Tirto Adhi Soerjo yang terbit di Medan Prijai. Penulis baru ini menulis nama Wybrands tanpa sebutan Tuan. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? dalam tulisannya berjudul “Een brutale sinjeur” atau kira-kria artinya Pendosa yang Kejam menyebut tulisan penulis baru yang terbit di Medan Prijaji tersebut kurang ajar.

“Namun R. M. Tirtoadisoerjo disarankan untuk sedikit lebih pemilih terhadap rekan-rekannya, dan tidak merekrut orang-orang semacam itu,” tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? 31 Januari 1911 .  

Tulisan yang terbit di Medan Prijaji makin tajam. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 11 Februari 1911 mengutip artikel yang terbit di Medan Prijaji yang menyerang kepala polisi Batavia karena melindungi anak buahnya yang dilaporkan menilap uang perusahaan sebelum bekerja menjadi polisi. Asisten Residen Bandung sampai mengirim kawat meminta perwira polisi tersebut dikirimkan ke Bandung untuk menjalani proses hukum.

Tulisan yang tajam dari koran yang diawaki seluruhnya oleh bumiputra membawa risiko besar. Medan Prijaji mendapat serangan balik.

Koran De Preanger-bode tanggal 14 Mei 1911 memberitakan gugatan yang dilayangkan pemilik Bioskop Ellita pada Medan Prijaji. Pemilik bioskop tersebut menuntut kompensasi ganti rugi akibat pemberitaan Medan Prijaji.

Ancaman hukum pada Medan Prijaji juga datang dari pejabat bumiputra. Koran De Preanger-bode tanggal 18 Juli 1911 mengadukan Medan Prijai karena menerbitkan surat tebuka yang isinya menghina bupati tersebut.

Koran De Preanger-bode tanggal 9 Juli 1911 sempat menukil petikan surat terbuka yang dipersoalkan Bupati Rembang yang diterbitkan Medan Prijaji. Surat terbuka di Medan Prijaji ditulis oleh Tirto Adhi Soerjo ditujukan pada Gubernur Jenderal, anggota Dewan Hindia Belanda, Staten General, serta penduduk Remang mengenai kelakuan Bupati Rembang.

Tirto Adhi Soerjo menceritakan kesewenang-wenangan bupati dalam surat terbuka tersebut. Misalnya dengan sengaja memotong gaji pejabat bawahannya untuk membiayai pesta pernikahan keluarga bupati, memaksa warga mengerjakan proyek pembangunan fasilitas umum tanpa upah, menolak menyerahkan tanda bukti kepemilikan rumah padahal uang pembelian sudah diterima bupati, hingga memaksa seorang wedono untuk membayar kereta rusak yang seharusnya diberikan pada wedono tersebut sebagai hadiah. Tirto Adhi Soerjo dalam surat terbuka itu menyamakan kelakuan bupati tersebut seperti Bupati Lebak yang memeras rakyatnya dalam tulisan Multatuli.

Pukulan paling berat justru datang dari dalam Medan Prijaji. Anak buahnya menggelapkan uang perusahana di tengah himpitan perkara hukum yang harus dilayani Tirto Adhi Soerjo.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//