NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 1)
Menceritakan Medan Prijaji tidak bisa lepas dari sepak terjang Tirto Adi Soerjo. Jurnalis bumiputra pertama di Hindia Belanda.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
29 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 11 Februari 1911 menurunkan berita mengutip isi berita yang terbit di koran Medan Prijaji berjudul “Een kleine bijdrage voor den heer Wybrands”, kalau diterjemahkan kira-kira “Kontribusi Kecil untuk Mr. Wybrands”. Nama Wybrands yang disinggung dalam Medan Prijaji tersebut adalah K. Wybrands pemimpin redaksi Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?.
Isi berita yang diturunkan Medan Prijaji terhitung berani. Berita tersebut menceritakan tentang seorang pegawai firma Singer-Maatschappij di Batoedjadjar, Tjimahi yang membawa kabur uang perusahaan. Belakangan pegawai yang kabur itu diketahui telah bekerja sebagai perwira polisi di Batavia.
Medan Prijaji memberitakan, Wiessner, pewakilan firma, kemudian mengadukan perwira tersebut pada perwakilan polisi di Bandung dan Batavia. Tak tanggung-tanggung, Wiessner mengadukan agen yang buron itu pada kepala polisi Batavia, Tuan Ruempol.
Weissner kecewa, Tuan Ruempol malah berkesan melindungi anak buahnya. Tuan Ruempol menyarankan agar perwiranya itu diberi kesempatan melunasi uang yang dibawa kabur dari firma tersebut dengan mencicilnya.
Weissner kemudian mengadukan soal itu pada Asisten Residen Bandung. Selanjutnya Residen Bandung mengirim kawat pada Reumpol agar segera mengirim anak buahnya itu ke Bandung. Reumpol tidak bisa menghindar. Perwiranya tersebut kemudian dikirim ke Bandung, dan kini mendekam di penjara di Bandung.
“Tuan Wybrands benar, kata Medan Prijaji, ketika dia sampai pada kesimpulan bahwa Mr Ruempol tidak cocok untuk kepala polisi! Ah, kemana perginya ketika seorang kepala polisi melindungi seorang penjahat?” tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11 Februari 1911.
Sepotong berita tersebut kira-kira bisa menggambarkan sepak terjang koran Medan Prijaji yang dipimpin oleh Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), bangsawan Jawa yang menjadi jurnalis bumiputra pertama di Indonesia. Bagi orang Belanda yang mengenalnya, Tirto Adhi Soerjo mungkin sosok yang menggemaskan, dicintai sekaligus di benci.
Berbeda Bangsa saling Mengenal
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie terhitung koran berbahasa Belanda yang berpengaruh nusantara di zaman kolonial. Sementara Medan Prijaji adalah koran berbahasa melayu pasar yang digawangi bumiputra.
Ada banyak yang bisa ditafsirkan dalam memaknai koran yang diperuntukkan bagi warga Belanda tersebut malah mengutip bahan berita dari koran milik pribumi. Di satu sisi bisa disebut Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie mengakui kualitas koran Medan Prijaji. Di sisi lain bisa ditafsirkan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie sedang cari aman, meminjam nama Medan Prijaji untuk menayangkan materi berita yang sensitif.
Apa pun tafsirnya, yang pasti orang-orang di balik dua koran itu berasal dari bangsa berbeda dan sudah saling mengenal. Bahkan pernah akrab. Tirto Adhi Soerjo pada tahun 1900 sempat magang di koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie dan mendapat bimbingan langsung K. Wybrands.
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 14 Januari 1919, saat menuliskan obituari Tirto Adhi Soerjo mengisahkan: “Dia adalah jurnalis pribumi pertama yang antara lain dibimbing oleh Tuan K. Wybrands, direktur majalah ini, selama pelatihannya.”
Pada awal abad ke-20 karier Tirto Adhi Soerjo sebagai jurnalis mulai moncer. Tirto Adhi Soerjo banyak dilibatkan dan diminta membantu sebagai editor di banyak koran dan majalah yang terbit di Hindia Belanda.
Koran De locomotief tanggal 14 Januari 1919 menukil sedikit kisah hidup Tirto Adhi Soerjo. Koran De locomotief mengambil bahan tulisan tersebut dari petikan berita di koran Poetri Hindia tanggal 29 Juli 1909 saat peringatan lahirnya koran yang mengampanyekan kesetaraan perempuan yang kelahirannya juga dibidani oleh Tirto Adhi Soerjo.
Tirto Adhi Soerjo disebutkan memulai karir sebagai wartawan dengan bergabung di majalah Hindia Olanda sebagai kontributor tanggal 29 Juli 1894. Di majalah bergambar yang dipimpin Mr. Alex Regensburg tersebut Tirto Adhi Soerjo bekerja hingga majalan Hindia Olanda sendiri berhenti terbit.
Tirto Adhi Soerjo selanjutnya diketahui bekerja di berbagai koran dan majalah. Di antaranya di koran Pemberita Betawi, Pewarta Priangan, serta Bintang Betawi.
Kariernya mulai ajek saat diminta menjadi redaktur di media Warnasari tahun 1900. Pada saat yang sama, dia pun diangkat menjadi redaktur Pemberita Betawi dan selanjutnya kariernya menanjak hingga dipercaya menjadi pemimpin redaksi. Di tahun 1900 itu juga Tirto bergabung dengan koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie.
Sunda Berita
Beberapa media berbahasa Belanda mencatat jejak Tirto Adhi Soerjo. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 17 Mei 1902 menceritakan Tirto Adhi Soerjo saat menjadi redaktur Pemberita Betawi. Di kantor percetakan koran tersebut, Albrecht & Co., Tirto Adhi Soerjo berkenalan dengan rombongan pangeran Solo, utusan Soesoehoenan di Surakarta yang sedang berkunjung ke Batavia dan Banten. Tirto sempat mengantarkan rombongan pangeran Solo menjelajahi Banten.
Koran De locomotief tanggal 24 Agustus 1903 memberitakan peluncuran Sunda Berita yang diterbitkan oleh firma G. Kolff & Co. Di majalah mingguan ini Tirto Adhi Soerjo dipercaya menjadi redaktur. Dia bekerja sama dengan J. C. Van Haeften, seorang pengacara Batavia yang mengisi ulasan hukum di Sunda Berita. Sunda Berita adalah majalah mingguan yang disebut-sebut sebagai media pertama di zaman kolonial yang memberi ruang bagi pribumi, perempuan, sekaligus rekan bagi pelaku perniagaan.
Ketertarikannya untuk membuat media yang diperuntukkan bagi pribumi terus tumbuh. Dia belajar banyak mengenai hal tersebut saat diajak bergabung mengelola media Oranje Nassau. Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 5 Agustus 1904 menyebutkan majalah tesebut diperuntukkan bagi pribumi yang ingin belajar bahasa Belanda.
Tirto Adhi Soerjo diajak bergabung oleh J. Stigter, guru di sekolah Koningin Wilhelmina di Batavia. Orange Nassau diperuntukkan untuk memberikan kursus reguler bagi pribumi untuk mengasah kemampuannya berbahasa Belanda. Majalah tersebut juga menerima esai berbahasa Belanda yang ditulis pribumi yang ingin mempraktikkan pelajaran bahasanya dengan menulis untuk majalah itu.
Menikahi Adik Sultan
Tirto Adhi Soerjo selanjutnya sempat bepergian ke Maluku. Di sana dia berkenalan akrab dengan keluarga Sultan Batjan, Z.H. Molana Moh.Shadik Shah Kalifat’ul. Dia pun menikahi adik perempuan sultan yakni Putri Fatimah pada 8 Februari 1906.
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 28 Februari 1906 memberitakan pernikahan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dengan Putri Fatimah yang berlangsung meriah di istana Sultan Batjan di Maluku. Pesta besar digelar dengan meledakkan kembang api di langit istana yang didatangkan perusahan Francis &Co.
Tahun 1907, Tirto Adhi Soerjo kembali ke Batavia dengan memboyong istrinya. Kepergiannya ke Maluku yang memakan waktu lama membuat dirinya dipaksa lengser dari redaksi Sunda Berita. Namun kembalinya Tirto Adhi Soerjo membelah Sunda Berita menjadi dua koran, yakni Medan Prijaji dan Suluh Keadilan. Medan Prijaji terbit mingguan, dan Suluh Keadilan terbit sebulan sekali.
Hadji Mohamad Arsad kemudian berkongsi dengan Tirto Adhi Soerjo. Dia menggelontorkan modal untuk membesarkan Medan Prijaji dan Suluh Keadilan. Tirto Adhi Soerjo dan Mohamad Arsad kemudian memutuskan mendirikan perusahan percetakan sendiri untuk menaungi dua koran tersebut yakni N.V. Javasche boekhandel en drukkerij Medan-Prijaji (N.V. Medan Prijaji) yang didaftarkan beralamat di Batavia saat itu.
Tirto Adhi Soerjo dan Mohamad Arsad kemudian mendirikan majalah khusus untuk perjuangan perempuan yakni Poetri Hindia pada tahun 1908. Namun Tirto Adhi Soerjo tidak cawe-cawe langsung di majalah tersebut. Majalah semi arsip Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, Deel 1, tahun 1910 mencatatkan sejumlah nama yang tercatat dalam redaksi Poetri Hindia. Yakni Nona L.E. Staal, Raden Ajoe Tirtoadisoerjo dan Raden Adjeng Soekito Tirtokeosoemo.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Balapan Kuda di Tegallega
NGULIK BANDUNG: Teror Bom di Bandung pada Zaman Kolonial
Bukan hanya untuk Bangsawan Jawa
Tirto Adhi Soerjo selanjutnya dikenal luas sebagai pemimpin redaksi Medan Prijaji. Mengusung kata Prijaji, yang berarti bangsawan Jawa, tidak membuat koran mingguan yang bermarkas di Buitenzorg itu hanya melulu ditujukan pada golongan tertentu. Tirto Adhi Soerjo membuat Medan Prijaji sebagai media yang ditujukan pada kalangan pribumi seluas-luasnya.
Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 24 November 1908 memuji Medan Prijaji yang lebih populer dibandingkan dengan Pewarta Prijaji yang terbit nyaris berbarengan di tahun yang sama. Pewarta Prijaji yang dimotori Wedono Sampang, Raden Sasro Danoe Koesoemo, sempat memohon subsidi dari pemerintah Hindia Belanda agar korannya bisa terus terbit dengan alasan korannya adalah jembatan yang paling tepat untuk menghubungkan pemerintah dengan kaum pribumi. Permintaan tersebut ditolak.
Koran Bataviaasch nieuwsblad tersebut menyebutkan sejumlah nama besar yang menyokong Tirto Adi Soerjo di Medan Prijaji. Diantaranya Bupati Oetojo dari Japara, Tuan W.F. Haase seorang hakim pengadilan di Semarang, serta Mr. A. Neytzell de Wilde seorang guru di Probolinggo.
Mengelola Medan Prijaji dan Suluh Keadilan bersama-sama, tidak membuat tawaran pada Tirto Adi Soerjo membantu penerbitan koran dan majalah surut. Koran De locomotief tanggal 10 Okober 1908 memberitakan Tirto Adhi Soerjo menerima pinangan firma W. A. van der Hucht & Co. di Jogja untuk menerbitkan majalah bulanan berbahas Jawa bernama Militair Djawa.
De locomotief menjelaskan, Militair Djawa akan mencetak Staatsbladen atau pertauran Lembaran Negara serta dokumen kedinasan lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Tirto Adhi Soerjo yang diminta menerjemahkan dokumen berbahasa Belanda tersebut ke dalam bahasa Jawa. Majalah ini diperuntukkan bagi pejabat sipil dan militer pribumi serta prajurit keraton.
“Jika terjemahan bahasa Jawa ini dirawat dengan baik, dan jika perlu dengan penjelasan yang benar dan jelas, dan jika secara berkala dihargai oleh pejabat Pribumi sebagai sumber pengetahuan untuk tugas administrasi mereka, maka banyak kebaikan pasti dapat diharapkan darinya,” tulis De locomotief.
De locomotief memberikan catatan pada terbitnya majalah berbahasa Jawa yang diperuntukkan khusus bagi pejabat sipil dan militer pribumi. Majalah tersebut menandai adanya perhatian khusus pada perkembangan pribumi. Di tahun yang sama, organisasi pergerakan Boedi Oetomo menggelar kongresnya yang pertama.
Masih di tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo juga diminta bergabung menjadi awak redaksi Warta Pantjaran. Harian De nieuwe courant tanggal 6 Juli 1909 saat memberitakan kabar tersebut memujinya sebagai jurnalis pribumi yang simpatik di Jawa. Koran itu mengutip eks anggota parlemen Belanda H. Van Kol. yang memuji kiprah Tirto Adhi Soerjo sebagai tanda kebangkitan pribumi di Jawa.
Tirto Adhi Soerjo disebutkan di koran tersebut sebagai cucu dari Bupati Bojonegoro Raden Adipati Tirtonoto, pemegang tanda penghargaan “orde van den Nederlandschen Leeuw” dari Kerajaan Belanda. Tirto Adhi Soerjo juga disebut sebagai tokoh yang menonjol di kalangan pemuda Jawa. Masih dari koran yang sama, pada terbitannya tanggal 13 Juli 1909 menyebutkan Medan Prijaji dan Poetri Hindia yang digawangi Tirto Adhi Soerjo adalah organ utama Jong-Javaansche Partij (Partai Pemuda Jawa).