• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 2)

NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 2)

Mengumpulkan amunisi dan sekondan di Buitenzorg. Medan Prijaji bersiap hijrah ke Bandung.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Suasana distrik komersil di Buitenzorg sekitar tahun 1910 (Koleksi KITLV 2488, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

3 November 2022


BandungBergerak.id—Kehadiran koran berbahasa melayu Medan Prijaji di Hindia Belanda menyedot perhatian masyarakat Belanda. Harian Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant yang terbit di Belanda tanggal 31 Juli 1909 menyinggung koran itu saat menerbitkan tulisan panjang mengenai kebangkitan pribumi di Jawa.

Medan Prijaji disebut sebagai contoh yang kasat mata kebangkitan bumiputra. Kehadiran koran di kalangan masyarakat pribumi menunjukkan sudah ada bumiputra yang bekerja menggunakan intelektualitasnya dengan menjadi jurnalis. Tidak berhenti di sana, koran itu juga sekaligus mengambil peran sebagai pembela masyarakatnya.

Harian Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant  tersebut menceritakan pembelaan yang dilakukan Medan Prijaji pada penduduk desa Bawangan yang berurusan dengan pengadilan karena tuduhan mencurangi pemilihan kepala desa. Medan Prijaji memberitakan ratusan warga desa yang bersimpati bersedia patungan untuk membayar hukuman denda jika pengadilan menjatuhkan hukuman. Belakangan pengadilan membebaskan terdakwa.

Tirto Adhi Soerjo terus membawa Medan Prijaji dalam pembelaan yang makin berani. Kritiknya makin pedas. Hingga satu ketika tulisan yang terbit di Medan Prijaji membawanya berhadapan dengan hukum.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 18 Agustus 1909 memberitakan tentang Tirto Adhi Soerjo yang harus menghadapi gugatan di Pengadilan Batavia. Musababnya tulisan di Medan Prijaji tanggal 24 Juni 1908 berjudul "Betapa satoe pertoeloengan di ertikan".

Tirto Adhi Soerjo dituduh melakukan penghinaan pada A. Simon, seorang Binnenlandsch-Bestuur (calon pengawas Dewan Dalam Negeri) di Poerworedjo. Kata-kata yang dipersolkan pada tulisan yang terbit di Medan Prijaji tersebut adalah “anak nakal dari pengontrol yang bercita-cita tinggi" yang ditujukan pada Simon.

Kata-kata tersebut yang dinilai sebagai ejekan, serta penghinaan pada pejabat pemerintah. Tak hanya itu, kata-kata “kera ingus” di dalam tulisan Medan Prijaji tersebut juga dipersolkan.

"Selasa, 5 Oktober 1909, Raden Mas Tirto Adhisoerjo, 31, lahir di Blora, pemimpin redaksi dan co-penerbit mingguan berbahasa melayu ‘Medan Prijaji’, yang berada di Buitenzorg, akan diadili di hadapan pengadilan di sini,” tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 18 Agustus 1909.

Gedung Raad van Justitie (Pengadilan) di Batavia. (Koleksi KITLV 1400818, sumber  digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Gedung Raad van Justitie (Pengadilan) di Batavia. (Koleksi KITLV 1400818, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Tersandung Kasus Hukum dan Dibuang

Kasus hukum tersebut muncul bersamaan dengan rencana Tirto Adhi Soerjo melawat ke Belanda. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, masih di terbitan yang sama tanggal 18 Agustus 1909 memberitakan Tirto Adhi Soerjo mendapat undangan mantan Gubernur Jenderal C. H. A. Van der Wyck dan Prof. Dr. D. Snouck Hurgronje untuk datang ke Belanda membantu Komisi Adat dengan pengetahuannya tentang adat yang ada di Jawa.

Dengan dalih undangan tersebut, majalah Warta Pantjaran juga mengumumkan pengunduran diri Tirto Adhi Soerjo dari posisi redaktur di majalah itu. Padahal Tirto Adhi Soerjo belum lama di angkat menjadi redaktur yakni pada Februari 1909.

Proses peradilan di Batavia berujung pada kekalahan Tirto Adhi Soerjo. Koran De Preanger-bode tanggal 15 Oktober 1909 memberitakan pengadilan Batavia menghukum Tirto Adhi Soerjo dengan mengirimnya ke pengasingan di Telok Betoeng selama dua bulan. Pengadilan menghukumnya dengan delik pers karena terbukti melakukan "penistaan terhadap pejabat publik yang dilakukan melalui barang cetakan yang didistribusikan".

Hukuman yang dijatuhkan pengadilan pada Tirto Adhi Soerjo malah membuat namanya makin sohor. Kiprahnya dengan menggalang pembelaan pada masyarakat pribumi mendapat banyak pujian.

Harian Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant tanggal 13 November 1909 menceritakan sepak terjang Medan Prijaji yang taktis melakukan pembelaan. Koran tersebut memuji Medan Prijaji yang bukan hanya sekadar penyampai informasi, tapi sekaligus mengambil peran sebagai advokat publik.

Harian Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant tersebut menceritakan Tirto Adhi Soerjo yang memilih tinggal di Buitenzorg untuk mengelola Medan Prijaji yang rajin menggalang bantuan orang kaya yang tinggal di sana. Duit yang dikumpulkan tersebut dipergunakan membantu orang kecil yang mencari keadilan dengan mendatangi Medan Prijaji.

Di Buitenzorg, Tirto Adhi Soerjo mendirikan perhimpunan “Sarikat Dagang Islamiah”, asosiasi yang bertujuan melindungi kepentingan bersama kelompok pedagang yang bersimpati. Anggotanya berasal dari beragam suku yang semuanya adalah pedagang pribumi dan Arab terpelajar. Pada pertemuan pertama, asosiasi tersebut berhasil mengumpulkan uang untuk keperluan organisasi sebesar 1.250 Gulden.

Sarikat Dagang Islamiah lebih mirip sekolah. Di sana anggotanya saling menimba ilmu berdagang. Materi pengajaran tentang ilmu perdagangan dalam bentuk buklet dan beragam barang cetakan lainnya berisi seluk beluk perdagangan dicetak dengan harga yang wajar dalam berbagai bahasa; Jawa, Melayu, dan Sunda.

Kembali dari Pengasingan

Dua bulan menjalani pengasingan di Telok Betoeng membuat aktivitasnya dalam organisasi dan mengelola media terhenti sesaat. Dua bulan tidak juga membuat orang-orang melupakan Tirto Adhi Soerjo.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 19 Mei 1910 memberitakan kepulangan Tirto Adhi Soerjo dari Telok Betoeng. “Pemimpin Redaksi Medan Prijaji, Raden Mas Tirtoadisoerjo, yang diasingkan ke Telok Betong karena pelanggaran pers, pulang kemarin sore karena berakhirnya hukumannya, dikawal ratusan penduduk asli dan Cina. Sekoci yang dinaikinya didekorasi dengan indah, semuanya sesuai dengan apa yang telah dilakukan pria kecil itu,” tulis koran itu.

Belum sebulan kembali dari pengasingan, Tirto Adhi Soerjo kembali membuat ulah. Medan Prijaji menurunkan tulisan memblejeti praktik kongkalikong pemilik pabrik gula dan penguasa pribumi setempat untuk mendapatkan tanah dengan sewa yang murah.

Medan Prijaji menukil kisah seorang lurah yang tanah sawahnya diincar administratur pabrik gula. Asisten Wedono yang menjadi atasannya meminta lurah tersebut menyerahkan sawahnya dengan harga yang tidak seberapa dibandingkan dengan hasil panen sawah tersebut. Sang lurah menolaknya. Akibatnya, pekerjaannya selaku pegawai kecil di pemerintahan terus dijegal. Tekanan demi tekanan atas gangguan atasannya tersebut membuatnya menyerah.

Lurah tersebut pasrah menyerahkan tanahnya. Sejak itu gangguan dan tekanan yang dialaminya berhenti. Medan Prijaji mengkritik bupati di sana, yang memiliki tiga mobil yang ditotal harganya tak mungkin bisa dibeli dengan penghasilannya.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 1)
NGULIK BANDUNG: BBM di Zaman Kolonial (1)
NGULIK BANDUNG: BBM di Zaman Kolonial (2)

Rumah pedesaan di Buitenzorg sekitar tahun 1910 (Koleksi KITLV 1401372, sumber  digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Rumah pedesaan di Buitenzorg sekitar tahun 1910 (Koleksi KITLV 1401372, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Memutuskan Pindah

Harian Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant tanggal 18 Juni 1910 memuji tulisan yang terbit di Medan Prijaji tersebut dengan menyebut gaya penyajiannya mengingatkan akan kisah Multatuli. “Seolah-olah Multatulis berbicara di artikel Medan Prijaji tentang kerja gratis di Hindia Belanda,” tulis koran itu.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 5 Juli 1910 mengkritik tulisan tersebut. Koran itu menyebutkan tulisan Medan Prijaji dengan tidak langsung menuduh bupati menerima suap dari pabrik gula tidak berdasar. Argumen Medan Prijaji yang menghubungkan kepemilikan tiga mobil dengan penghasilan bupati dinilai lemah.

Perusahan percetakan N.V. Javasche Medan-Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Soerjo bersama Mohamad Arsad makin berkembang pesat. Majalah semi arsip Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie? Deel: 1 tahun 1910 mencatat ada tiga media yang diterbitkan N.V. Javasche Medan-Prijaji. Yakni Suluh Keadilan dan Medan Prijaji yang ditangani langsung oleh Tirto Adhi Soerjo.

Dengan modal yang makin kuat, Tirto Adhi Soerjo kemudian memutuskan pindah ke Bandung. Koran De Preanger-bode tanggal 10 Januari 1911 memberitakan kepindahan tersebut. “Sebuah majalah mingguan berbahasa melayu telah muncul di sini,” tulis koran De Preanger-bode yang berbasis di Bandung itu.

Kota Bandung kala itu sedang tumbuh pesat. Kota yang digadang-gadang sebagai ibu kota masa depan Hindia Belanda. Kota tersebut kemudian menjadi palagan sesungguhnya bagi Medan Prijaji.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//