• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: BBM di Zaman Kolonial (2)

NGULIK BANDUNG: BBM di Zaman Kolonial (2)

Lobi klub mobil mengendurkan aturan ketat penggunaan bensin. Klub mobil di Bandung menginginkan pembelian bensin dengan uang tunai. Cikal bakal kelahiran SPBU.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Depo Bensin BPM di Gemblongan Surabaya (Koleksi KITLV 1407069, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

22 September 2022


BandungBergerak.id—Di awal abad ke-20 di Hindia Belanda, bukan sekali dua saja kecelakaan terjadi karena bensin. Sifatnya yang memang mudah terbakar kerap memicu kebakaran yang tak jarang menyebabkan nyawa melayang. Tidak sedikit juga kecelakaan terjadi akibat kecerobohan pemakaian bensin. Namun, bagaimanapun berbahayanya, bensin pelan-pelan menjadi kebutuhan masyarakat di zaman itu.

Pemerintah Hindia Belanda kala itu membuat sederet aturan yang ketat hanya untuk bensin; mulai dari mengemasnya, menyimpan, hingga memperdagangkannya. Semua aturan tersebut hanya untuk memastikan penggunaan bensin tidak akan membahayakan keselamatan.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 21 November 1906 menceritakan tentang aturan Ordonantie tanggal 7 November 1871 tentang penyimpanan minyak bumi dan minyak yang mudah terbakar. Aturan tersebut mewajibkan lokasi penyimpanan bensin harus mendapatkan izin pemerintah daerah setempat. Izin diberikan setelah mendapat saran dan persetujuan penduduk sekitarnya.

Kemudian koran De locomotief tanggal 29 Januari 1908 dalam salah satu beritanya mengenai kecelakaan meledaknya perahu pengangkut bensin di Kalibaru mengulas salah satu aturan tersebut. Koran itu mengulas Stbl. 1906 nomor 143 tentang tata cara pengiriman bensin. Selanjutnya Stsbl. 1903 nomor 475 mengatur pembatasan penyimpanan kaleng bensin bagi penjual bensin eceran. Termasuk juga pembatasan penyimpanan bensin untuk penggunaan pribadi.

Bensin misalnya tidak boleh disimpan dalam drum dengan volume yang banyak karena bahayanya yang juga makin besar. Bensin kala itu dikemas dalam kaleng persegi yang bentuknya seperti kaleng kerupuk di warung-warung. Gudang penyimpanannya pun harus terpisah dengan barang-barang lain, lokasi penempatan gudang penyimpanan bensin harus mendapat persetujuan pemerintah setempat.

Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 22 Agustus 1908 saat memberitakan tentang kecelakaan terbakarnya gerbong pengangkut kaleng bensin di Kota Semarang menyebutkan lebih banyak lagi aturan terkait bensin. Yakni Stbl. 1871 nomor 166, Stbl. 1890 no 52, Stbl. 1905 no.475, Stbl. 1906 no.143, dan Stbl. 1908 no.213; yang keseluruhannya mengatur tentang impor, pengangkutan, penyimpanan, hingga bongkar muat khusus untuk bensin. 

Dengan sederet aturan yang ketat tersebut, pemilik mobil yang membutuhkan bensin tidak bisa memperolehnya sembarang. Hanya toko-toko tertentu yang mendapat izin khusus yang bisa menyimpan bensin untuk diperdagangkan.

Gampang-gampang susah untuk mendapatkan bensin kala itu. Dengan aturan yang ketat bensin tersedia, namun jumlahnya terbatas karena aturan tersebut mengatur dengan rinci sistem distribusinya. Akhirnya hukum ekonomi bekerja dengan membuat harga bensin menjadi mahal.

Sejumlah iklan di koran-koran berbahasa Belanda di awal abad ke-20 umumnya menyebutkan toko penyedia bensin merupakan toko kelontong yang memiliki gudang penyimpanan khusus. Penyedia bensin yang lain adalah bengkel yang sekaligus melayani jasa perawatan dan perbaikan mobil.

Seperti yang diberitakan koran De Preanger-bode tanggal 12 Desember 1910 tentang pemilik kendaraan yang menyimpan mobilnya di garasi perusahaan Resink & Co di Djocja untuk mengisi bensin. Menjadi berita karena mobilnya terbakar saat mengisi bensin di sana. Beruntung mobilnya masih sempat diselamatkan dengan mendorongnya keluar kemudian api yang membakar dipadamkan menggunakan pasir. Mobil tersebut selamat serta hanya mengalami kerusakan ringan.

Mengisi kaleng bensin di Koninklijke Nederlandse Petroleum Maatschappij di Pangkalansoesoe di pantai timur Sumatera. Foto sekitar tahun 1916 (Koleksi KITLV 2801, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Mengisi kaleng bensin di Koninklijke Nederlandse Petroleum Maatschappij di Pangkalansoesoe di pantai timur Sumatera. Foto sekitar tahun 1916 (Koleksi KITLV 2801, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Hobi Bermobil dan Kerepotannya

Ada satu kisah yang menggelikan yang diceritakan di koran De Preanger-bode tanggal 14 November 1908. Seorang pemilik kendaraan di Surabaya yang sedang bepergian bersama keluarganya dan sengaja meninggalkan mobil di garasi rumah yang dibiarkan tidak terkunci. Saat kembali dia tidak langsung memeriksa mobilnya. Baru pagi hari dia membuka garasi, dan heran mendapati mobilnya kotor dan berlumpur. Dia menemukan secarik kertas berisi tulisan:  "Terima kasih banyak! Di bawah bantalan jok belakang ada f 2.50 untuk bensin dan oli bekas."

Begitu penasarannya masyarakat kala itu berkendara. Hingga ada yang nekat “meminjam” mobil orang lain hanya untuk bisa menikmati mengendarai mobil.

Mengendarai mobil memang menantang. Berkendara dengan jarak yang jauh lebih aman dilakukan tidak sendirian. Sejumlah pemilik kendaraan di Surabaya misalnya mendirikan klub mobil demi hobi berkendara.

Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 20 Maret 1906 menceritakan perjalanan jarak jauh pertama yang dilakukan klub mobil Soerabajasceh Motor-Club menuju Mojokerto. Pesertanya adalah Tuan Faubel, Wentink, Wijnberg, Verkouteren, Brest Van Kempen, dan Courant dengan beberapa wanita. Perjalanan ini melewati jalan yang tidak mulus, terutama jalan antara Wonokromo dan Simpang yang kondisinya buruk.

Tidak semua peserta bisa tiba di Mojokerto, Tuan Verkouteren misalnya terpaksa menyerah di tengah jalan. Peserta tur yang tiba di Mojokerto lalu menginap semalam di Hotel Modjopait, di sana sudah disediakan pasokan bensin untuk perjalanan kembali rombongan tur klub motor tersebut. Sambil menginap, teknisi memeriksa mobil-mobilnya.

Perjalanan jauh dengan berkendara mobil menular di banyak kota di Hindia Belanda baik di Jawa maupun di Sumatera. Satu demi satu pemilik kendaraan di kota-kota besar di Hindia Belanda membuat klub mobil demi menyalurkan hobi berkendara untuk tamasya.

Ada banyak keuntungan bagi pemilik mobil dengan bergabung dalam klub. Selain menyalurkan hobi untuk tamasya bersama-sama, keuntungan lainnya mendapatkan bensin dalam jumlah yang banyak yang dibutuhkan dalam perjalanan panjang berkendara.

Tur klub mobil yang sempat mendapat perhatian khalayak luas adalah perjalanan jauh pertama melintasi dua pertiga pulau Jawa, dari Surabaya menuju Batavia pada tahun 1908. Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 22 April 1908 menceritakan paruh pertama perjalanan tersebut. Mobil yang digunakan merek Reo keluaran terbaru tahun 1908. Perbekalan yang dibawa termasuk bensin serta ban cadangan cukup untuk 4 hari yang menempuh jarak ratusan kilometer.

Harian Deli courant tanggal 5 Mei 1908 menceritakan perjalanan tersebut dimulai tanggal 23 April 1908 sore dari Surabaya dengan menghabiskan waktu 33 jam dengan 15 jam beristirahat. Perjalanan ini melewati Rembang, Semarang, Cirebon, Kadipaten, Bandung, serta Karawang. Tur ini terkesan melelahkan karena melewati jalan-jalan yang rusak.

“Sungguh mengherankan, tulis reporter itu, bagaimana jalan-jalan yang paling dekat dengan ibu kota juga paling tidak terawat. Antara Demak dan Semarang dia, singkatnya, menjijikkan, sehingga 20 kilometer adalah kecepatan terbesar yang berani kami kendarai. Juga di Krawang, jalan lagi-lagi lebih buruk. Mengemudi dengan cepat, bahkan di jalan yang paling datar, tidak mungkin; lubang dan lubang yang tak terhitung jumlahnya benar-benar mencegah itu. Di Krawang para penghuninya begitu terguncang sehingga mereka—bukan mobilnya—harus beristirahat,” tulis Deli courant tanggal 5 Mei 1908.

Berkendara dengan mobil seperti bertualang di zaman itu. Namun untuk memiliki mobil harus berpikir dalam-dalam. Koran De Preanger-bode tanggal 20 Mei 1908 menceritakan kerepotan yang harus dilalui pemilik mobil untuk berkendara. Sedikitnya ada dua kerepotan: mahalnya biaya dan dibutuhkan keahlian untuk mengendarainya.

Biaya, tentu saja terkait dengan harga mobilnya. Tapi bukan itu saja, pemilik mobil harus siap merogoh kocek untuk membeli bensin, oli, minyak, serta membayar teknisi untuk merawatnya. Dalam kondisi tertentu perawatan mobil harus dilakukan oleh teknisi mesin, terutama dalam kasus kerusakan mobil yang parah. 

Pemilik kendaraan juga harus belajar secara khusus untuk mengemudikan mobil. Tidak hanya itu, dia juga wajib mempelajari pengetahuan tentang pengaturan mesin. Minimal dengan rajin memeriksa jumlah bensin, ketersediaan oli, hingga memastikan pompa sirkulasi air pendingin agar mesin bekerja dengan baik. Ini semua untuk memastikan tidak ada masalah saat berkendara.

Semua kerepotan tersebut tidak membuat jera. Mobil malah makin mempesona.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: BBM di Zaman Kolonial (1)
NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (1)
NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (2)

Perjalanan dari Java Motor Club ke kota tepi laut Wendit. Foto sekitar tahun 1912 (Koleks KITLV 507137, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Perjalanan dari Java Motor Club ke kota tepi laut Wendit. Foto sekitar tahun 1912 (Koleks KITLV 507137, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Depo Bensin untuk Klub Mobil

Kehadiran depo bensin, SPBU ala zaman kolonial, terkait erat dengan kehadiran klub mobil. Klub mobil yang menjamur di banyak kota-kota besar menjadi ajang melobi pemerintah Hindia Belanda untuk mengendurkan aturan yang ketat demi menjalankan hobi berkendara.

Koran De nieuwe vorstenlanden tanggal 13 Januari 1911 menceritakan keberhasilan Java Motor Club, klub mobil yang terhitung paling banyak anggotanya yang berpusat di Surabaya, kota yang paling maju untuk urusan berkendara.  Java Motor Club awalnya berdiri dengan nama Surabaya Autoclub, kemudian melebarkan sayap di banyak kota besar di Hindia Belanda.

Di koran tersebut disebutkan sebaran anggota klub mobil itu. Yakni di Surabaya-Madura (178 anggota), Besuki (43 anggota), Pasuruan (47 anggota), Kediri-Madiun (37 anggota), Semarang-Rembang (27 anggota), Solo (44 anggota), Djokjakarta-Kedoe- Banjoemas (64 anggota), Pekalongan (55 anggota), Cheribon (9 anggota), serta Preanger-Batavia-Banten (85 anggota).

Koran De nieuwe vorstenlanden memberitakan mengenai perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Java Motor Club yang sudah mendapat persetujuan pemerintah Hindia Belanda. Isu utama yang jadi perhatian luas anggota klub adalah soal desentralisasi, yakni keleluasaan cabang organisasi yang berdiri di setiap kota untuk mengatur dirinya sendiri.

Kesepakatan yang diambil kemudian dengan membangun desentralisasi pembagian kerja lewat pendirian departemen-departemen yang mengatur urusan sehari-hari di setiap bidang kegiatan. Masing-masing departemen berhak merancang peraturan domestik masing-masing.

Kepastian yang paling ditunggu adalah persetujuan pemerintah Hindia Belanda untuk melonggarkan aturan penggunaan bensin. Aturan yang ada membuat pemilik kendaraan kesulitan menyimpan bensin dalam jumlah besar. Gara-gara aturan tersebut misalnya pemilik kendaraan dengan tangki penyimpanan yang besar tidak bisa mengisi penuh tangki bensinnya.

Ketatnya pengaturan penggunaan bensin membuat harganya menjadi mahal karena terkerek biaya pengirimannya. Bensin hanya boleh dikirimkan dalam jumlah terbatas, sehingga untuk mendapatkannya dalam jumlah besar harus mengirimnya berkali-kali. Koran De nieuwe vorstenlanden memberitakan pemberian kelonggaran penggunaan bensin khusus pada klub motor.

Klub motor kemudian diperbolehkan membuat kontrak dengan penyalur bensin untuk menjualnya secara eceran khusus pada anggotanya. Kelonggaran tersebut membuat cabang Java Motor Club di masing-masing daerah kemudian mendirikan depo bensin untuk memasok bensin bagi anggotanya.

Kelonggaran aturan mengenai penyediaan bensin malah memunculkan perpecahan. Koran De Preanger-bode tanggal 26 Januari 1911 memberitakan anggota klub motor cabang Preanger sedari awal sudah tidak puas dengan kesepakatan desentralisasi lewat departemen yang mengurus masing-masing bidang kegiatan. Anggota klub cabang Preanger menginginkan keleluasaan mengatur organisasi  berbasis wilayah. Sebagian malah menginginkan untuk memisahkan diri.

Pertemuan anggota klub di Bandung memandang desentralisasi dengan pembagian kerja tersebut membuat organisasi menjadi tidak fleksibel. Seluruh urusan akhirnya harus diputuskan oleh kantor pusat di Surabaya. Salah satu yang dipermasalahkan mengenai depo bensin. Jual beli bensin dengan menggunakan kupon yang diterbitkan klub dinilai menyulitkan. Anggota klub di Bandung menginginkan agar diperbolehkan untuk membeli bensin dengan uang tunai.

Situasi kemudian memanas. Yang dipersoalkan makin melebar. Mulai dari pemilihan pengurus harian di masing-masing departemen yang mayoritas diisi oleh anggota klub di Surabaya, pembagian porsi iuran anggota untuk kantor cabang, hingga kontrak pemasok bensin (De Preanger bode, 7 Februari 1911). 

Persoalan utama tidak berkisar dari keberadaan depo bensin yang dikelola klub. Pada praktiknya anggota klub walaupun membeli bensin dengan kupon nominalnya lebih murah, tapi dengan kutipan iuran anggota yang wajib dibayarkan akhirnya nominal yang dibayarkan sama saja dengan pemilik mobil yang bukan anggota klub yang sama-sama membeli bensin di depo bensin.

“Depo mengirimkan dan tidak pernah menguntungkan anggota Preanger. Mereka membayar bensin mereka, misalnya, sama seperti orang luar mana pun, dengan perbedaan bahwa biaya pengumpulan juga menjadi tanggungan anggota,” tulis De Preanger bode, 7 Februari 1911.

Koran De Preanger-bode tanggal 2 Maret 1911 memberitakan pemisahan diri klub mobil cabang Preanger dan mendirikan klub baru dengan nama Nederlandsch-Indische Automobiel yang berdiri di Batavia, Bandung, dan sekitarnya. Gritters Doublet terpilih sebagai ketua; W. F. Modderman, sekretaris-bendahara; Dr. K. van der Veen, A. R. W. Kerkhoven, R. A. Kerkhoven, F. J. H. Soesman J. van Blommestein, K Wijbrands dan L. M. J. van Sluyters sebagai komisaris.

Klub baru tersebut mengumumkan pendirian depo bensin dengan pemasok Jiiddel dengan harga pembelian di bawah harga bensin Java Motor Club. Pengaturan sementara dilakukan oleh West-Java Handelsmaatschappijen dan West-Java Trading sehingga pembelian bensin bisa dilakukan secepatnya khusus bagi anggota klub dengan harga lebih murah. Tentu saja pembelian bensin bisa dilakukan dengan tunai.

Kehadiran depo bensin yang terafiliasi dengan klub mobil sepertinya menjadi cikal bakal keberadaan SPBU di zaman Hindia Belanda. Tempat khusus penjualan bensin bagi pemilik mobil kala itu. Harga bensin mendapat pengawasan yang ketat. Klub mobil bisa meminta pemasok bensin untuk menghentikan pengiriman bensin jika depo ketahuan menjual bensin dengan harga lebih tinggi. Koran De Preanger-bode tanggal 18 Agustus 1914 memberitakan satu depo bensin di Soekabumi dipaksa tutup gara-gara ketahuan menjual bensin dengan harga lebih tinggi dari yang disepakati klub motor dan pemasok bensin.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//