NGULIK BANDUNG: Riwayat Situ Cileunca, Jurang yang Kini Menjadi Tujuan Wisata Ternama
Situ Cileunca sejak awal memang danau buatan. Dibangun oleh bangsa Indonesia, lalu diperluas oleh Belanda, situ ini sekarang menjadi tujuan wisata andalan.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
30 September 2021
BandungBergerak.id - “Gids Voor Bandung”, buku yang diterbitkan Hotel Homann tahun 1908, berisi rekomendasi tempat wisata yang wajib dikunjungi jika ingin menjelajah Bandung kala itu. Pangalengan menjadi salah satu tempat yang direkomendasikan. Namun buku itu hanya menyebutkan Kawah Gunung Wayang sebagai satu-satunya rekomendasi berwisata di Pangalengan.
Saat itu nyaris tidak ada yang tahu Situ Cileunca, danau asri dengan airnya yang selalu tenang. Lokasinya berada persis di pinggir satu-satunya jalan menuju perkebunan Pasir Malang di Pangalengan. Cukup dengan berjalan kaki kurang dari satu jam, pemandangan unik danau tersebut langsung menyergap mata.
“Danau Tjileuntja yang memanjang. Kolam, di mana ketinggian di sekitarnya terpantul, membuat kesan yang aneh. Ratusan batang pohon menonjol setengah meter di atas air dan menunjukkan bahwa seseorang berhadapan dengan hutan yang tenggelam atau jurang yang dibendung,” tulis De Preanger Bode, 18 November 1912.
Situ Cileunca kala itu digambarkan mirip hutan yang tenggelam. Situ Cileunca memang bukan danau yang terbentuk alami, melainkan buatan manusia.
Menggenangi Jurang dan Lembah
De Preanger Bode tanggal 18 November 1912 mencatat salah satu cerita mengenai pembuatan danau itu. Alkisah Wedana Banjaran kala itu harus melewati jurang dan lembah yang curam saat melakukan inspeksi di Pangalengan. Hingga satu waktu dia terpikir untuk menggenangi jurang dan lembah itu dengan air sungai sampai tenggelam sehingga kelak cukup dengan berperahu saja untuk menyeberanginya.
Penduduk setempat lalu diperintahkan untuk membelokkan aliran enam anak sungai menuju jurang dan lembah tersebut. Selanjutnya bagian ujung jurang itu dibendung. Lama-kelamaan jurang dan lembah itu sebagiannya tergenang air, menyisakan pucuk-pucuk ratusan pohon yang menyembul dari permukaan air. Pepohonan itu masih terus tumbuh di dalam danau. Pembuatan danau diperkirakan berlangsung pada tahun 1857.
“Di jalan utama menuju Perusahaan Pasir Malang, Pengalengan, adalah Sitoe Tjileuntja yang terkenal, sebuah danau dari beberapa bangunan di area dan memanjang di sepanjang jalan. Dulunya adalah jurang, tetapi sekitar 60 tahun yang lalu sebuah wedana dari wilayah itu membanjirinya. Pucuk-pucuk pohon masih menjulang di atas permukaan air, dari mana orang bisa menebak keberadaan mereka sebelumnya,” tulis De Preanger Bode, 15 Mei 1917.
Demi Keselamatan
Kala itu Situ Cileunca tidak sebesar sekarang. Koran Bataviaasch Nieuwsblad, tanggal 8 Januari 1918 mencatat luasnya hanya 30 konstruksi, atau setara 210 ribu meter persegi atau 21 hektare (bandingkan saat ini yang luasnya menembus 1.400 hektare). Pemerintah Hindia Belanda kala itu khawatir dengan konstruksi bendungan Situ Cileunca yang dibuat tanpa rencana konstruksi yang matang.
Pengamatan hidrometer pada danau buatan tersebut dilakukan pemerintah Hindia Belanda saat memeriksa kemungkinan membangun kereta dari Pangalengan ke Cisondari. Kesimpulannya, bendungan yang sehari-hari juga dipergunakan warga untuk lalu-lalang itu harus diperkuat demi keselamatan (De Preanger Bode, 12-2-1916).
Keinginan memperkuat bendungan Situ Cileunca juga datang dari Bupati Bandung saat itu, R.A.A. Martanegara. Bupati yang dikenal dengan banyak sumbangsihnya dalam meningkatkan taraf hidup warganya kala itu mengusulkan agar selain membongkar dan memperkuat bendungan, dilakukan juga pembedahan isinya. Pepohonan yang masih tumbuh dari dalam danau itu harus dibersihkan agar bisa leluasa dilalui kapal. Dengan cara itu warga bisa sekaligus mendapat mata pencarian baru, yakni menangkapi ikan-ikan yang akan sengaja ditebar di dalam danau itu (De Preanger Bode, 15-5-1917).
Dalam pikiran bupati, biayanya murah. Cukup membongkar bendungan dan membiarkan airnya mengalir, lalu mengerahkan warga untuk menebangi ratusan pohon yang ada di dalam danau. Warga pun tertarik.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (2)
NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (1)
NGULIK BANDUNG: Obat Gosok Kuda dan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919
Rencana tersebut dibahas serius oleh bupati dan perwakilan Departemen Irigasi. Bupati Bandung R.A.A. Martanegara bersama Kepala Irigasi Preanger Mr. Van Houten mengunjungi Situ Cileunca (Bataviaasch Nieuwsblad, 21-5-1917).
Menguras isi danau memang pernah dilakukan di Danau Telogo Pasir, di Sarangan tahun 1893. Di sana, danau dibedah, di dibangun pintu air agar air bisa terus mengalir sehingga cocok untuk budi daya ikan. Namun untuk Situ Cileunca, biayanya menjadi sangat mahal karena isi perut danau itu harus dibersihkan terlebih dahulu dari sisa pepohonan yang tenggelam di dalamnya.
Rencana itu sempat memantik protes yang datang dari pemilik pabrik penggilingan singkong di Pangalengan. Pemiliknya sengaja membangun pabriknya di sana agar bisa memanfaatkan air yang dialirkan dari Situ Cileunca untuk memutar mesin penggilingan singkong (Bataviaasch Nieuwsblad, 8-1-1918). Pemilik pabrik lalu ditawari solusi untuk menggunakan air yang disalurkan lewat pipa dari sumber air di perkebunan kina Wanasari. Sepintas sudah tak ada lagi masalah, tapi rencana menguras Situ Cileunca tetap maju mundur tanpa kepastian.
Dalam kurun waktu yang sama, pemerintah Hindia Belanda sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur listrik. Berbeda dengan Eropa yang mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap dari pembakaran batu bara, Hindia Belanda memilih mengolah air untuk memutar turbin pembangkit listrik. Tahun 1918, Bandoengsche Electriciteits Maatschappij menuntaskan kesepakatan dengan pemerintah kota Bandung untuk menambah pasokan listrik bagi kota tersebut.
Kala itu layanan listrik dikerjakan oleh perusahaan swasta. Bandoengsche Electriciteits Maatschappij, perusahaan listrik ini berdiri tahun 1913, ditunjuk untuk menyediakan listrik bagi kota Bandung. Belakangan, pada tahun 1922, perusahaan ini diambil alih oleh Gemeenschappelijk Electrisch Bedrif Bandoeng en Omstreken/GEBEO.
Bak gayung bersambut, rencana membedah Situ Cileunca disiapkan tak tanggung-tanggung. Danau buatan itu akan diperbesar kapasitasnya sebagai persiapan untuk menjadi penjaga pasokan air bagi PLTA Tjisaroewa (berada di tepian jalur Sungai Cisarua) yang akan dibangun di Pangalengan. PLTA Tjisaroewa yang mengandalkan aliran sungai Cisaura dan Cisangkuy untuk menggerakkan mesih pembangkit listriknya, akan menjadi pembangkit baru yang menambah pasokan listrik lebih banyak bagi Kota Bandung.
Perluasan Situ dan Pembangunan Pembangkin Listrik
Pada tahun 1919 dimulai pembangunan bendungan Situ Cileunca yang lebih besar, serta persiapan konstruksi PLTA Tjisaroewa dikerjakan berbarengan oleh Dinas Tenaga Air dan Listrik Belanda (De Preanger Bode, 7-10-1919). Pekerjaan dimulai dari persiapan lahan untuk akses jalan dan pipa penyaluran air menuju pembangkit, hingga persiapan mengeringkan Situ Cileunca untuk membersihkan isinya dari sisa pepohonan hutan purba agar danau tersebut bisa dikembangkan menjadi lokasi budi daya dan penangkapan ikan.
Perluasan Situ Cileunca dilakukan dengan membangun badan bendungan lebih tinggi. Bendungan yang ada ditambah ketinggiannya hingga 15 meter sehingga volume air yang ditampung bendungan makin banyak (De Preanger-bode, 28-6-1921).
Dalam pengerjaannya, dibangun menara air yang berfungsi sekaligus menjadi saluran pembuangan air agar ketinggian danau tetap terjaga. Menara air ini tersambung dengan pipa yang menyelusup di bawah bendungan, yang tersambung dengan saluran air yang memasok pembangkit listrik.
Tahun 1922, pembangunan pembangkit listrik yang dipasok Sungai Cisarua di Pangalengan rampung, selanjutnya dinamakan PLTA Plengan. Listrik yang dihasilkan sekaligus dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan konstruksi pembangunan pembangkit kedua di Pangalengan yakni PLTA Lamadjan atau Lamajan, pembangkit listrik yang memanfaatkan aliran Sungai Cisangkuy. Letak pembangkit listrik kedua di Pangalengan ini paling dekat dengan Situ Cileunca.
PTLA Lamajan mulai beroperasi tahun 1924 dengan tugas perdananya memasok kebutuhan listrik Stasiun Radio Malabar.
Sementara itu, pembangunan bendung baru Situ Cileunca malah tersendat-sendat. Koran De Preanger-bode tanggal 1 Oktober 1923 mengabarkan pembangunan Bendungan Poelo, bendungan utama Situ Cileunca menemui banyak kesulitan. Di antaranya pengerjaan konstruksi yang harus mengahadapi kondisi tanah yang tidak bersahabat, curah hujan tinggi, serta minimnya pekerja.
Tahun 1924, pembangunan Bendung Poelo, bendungan baru Situ Cileunca rampung. Pengisian danau mulai dilakukan. Koran De Indische Courant tanggal 28 Januari 1924 menuturkan air akan perlahan akan mengisi Situ Cileunca mengikuti musim hujan.
“Pada bulan Maret danau buatan di dataran tinggi Pengalengan, yang sekarang masih berupa jurang yang subur, akan digenangi air; itu akan disebut Sitoe Tjileuntja,” tulis De Indische courant (28 Januari 1924).
Bertahun-tahun kemudian, tidak ada yang tidak tahu tentang kesohoran Situ Cileunca di Pangalengan. Di danau buatan itu, pengunjung berwisata, berenang, atau bermain perahu.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman