Ngabaraga, Melihat Kontrasnya Kehidupan di Braga
Kawasan Braga tidak hanya menyimpan bangunan “vintage” khas Eropa dan ingar pertokoan. Ada perkampungan padat di gang-gang sempit di belakangnya.
Penulis Dzoulfiqar Gani28 November 2022
BandungBergerak.id—Peserta Ngabaraga sudah berkumpul di kawasan Jalan Braga pada Sabtu yang cerah. Farida Oda, perempuan muda yang menjadi pegiat Penggerak Pemberdayaan Masyarakat Kampung Braga yang menjadi pemandu kami. Dia menjelaskan Ngabaraga sendiri di ambil dari kata baraga yang memiliki arti bergaya. Baraga juga menjadi asal kata untuk penyebutan kawasan Braga yang pada zaman penjajahan Belanda adalah pusat fashion di Kota Bandung.
Teh Oda, panggilan Farida Oda, kemudian mengajak kami menuju Kampung Braga melalui Gang Ependi. Nama gang tersebut konon diambil dari nama tokoh yang cukup tersohor bagi penduduk kawasan Braga. Untuk memasuki kawasan kampung tersebut kami menyeberangi Jembatan Cikapundung yang konon sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda.
Putra, salah satu peserta yang berasal dari Sulawesi Tenggara menyukai perjalanan tersebut. “Saya orang yang senang jalan, jalan kaki lebih tepatnya terutama menyusuri gang-gang gitu. Jadi pas saya jalan ke sini lebih berasa kaya ‘oh ini Braga yang saya cari’,” ujarnya.
Fauzi, peserta lainnya, mengungkapkan keheranannya atas kondisi masyarakat Kampung Braga. Dia tak habis pikir melihat kontrasnya pemandangan yang dilihatnya di sepanjang perjalanan menyusuri Kampung Braga dengan kawasan Jalan Braga.
Kehidupan masyarakat Kampung Braga jauh dari kesan mewah. Rumah-rumah yang ada di dalam gang dalam kawasan perkampungan berbanding terbalik dengan bangunan yang berderet megah di sepanjang Jalan Braga yang banyak dihiasi arsitektur vintage Eropa.
Farida, akrab disapa Teh Oda, memandu kami sambil menjelaskan setiap sudut di Kampung Braga yang menyimpan banyak kisah menarik. Sepanjang perjalanan kami mendiskusikan perihal kondisi sosial masyarakat Kampung Braga yang tampak kontras dengan Jalan Braga yang menjadi ikon kawasan tersebut.
Dijelaskan Teh Oda, masyarakat Kampung Braga tengah dihantui kecemasan. Warga Kampung Braga yang tinggal di sepanjang bantara Sungai Cikapundung was-was dengan ancaman penggusuran dari wacana proyek pengusaha yang hendak membangun hotel mewah di kawasan Braga.
Letih dan penat seakan tak terasa. Kami terus mengikuti langkah Teh Oda yang mengajak kami menyusuri sejumlah tempat bersejarah berikut kisah-kisah di baliknya. Sinar matahari yang terasa mulai menyengat tak membuat semangat kami luruh.
Baca Juga: Potret Eksplotasi ABK dalam Film Before You Eat
Catatan Perhelatan Photo Exhibition Ruang Juang
Peristiwa Peledakan Bendungan Cikapundung
Tak terasa perjalanan kami sudah mencapai kawasan Banceuy. Teh Oda kemudian bercerita perihal sulitnya masyarakat Kampung Braga di masa Kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu situasi Kota Bandung masih diselimuti oleh instabilitas sosial yang menyebabkan masyarakat resah.
Teh Oda menuturkan, di tengah situasi tersebut terjadi peristiwa yang memilukan. Sekelompok orang memancing keributan di tengah masyarakat dengan meledakkan bendungan yang ada di Cikapundung. Akibatnya bendungan hancur. Air bah merangsek menyebabkan rumah-rumah penduduk dilanda banjir yang cukup besar di kala itu.
Tidak ada satu pun yang mengira akan adanya peristiwa tersebut. Masyarakat yang tengah melakukan kegiatannya seperti hari-hari sebelumnya tiba-tiba menghadapi bencana yang menenggelamkan pemukiman warga di kawasan tersebut.
Banyak korban jiwa berjatuhan. Teh Oda menceritakan, truk-truk besar lalu-lalang hilir mudik hanya untuk mengangkut jenazah korban banjir yang jumlahnya sangat banyak.
Kehidupan masyarakat Kampung Braga kala itu sudah sulit. Peristiwa tersebut membuat kehidupan warga makin bertambah sulit.
“Saking sulitnya kondisi di masa itu, masyarakat yang selamat dari peristiwa tersebut terpaksa melucuti pakaian dari para jenazah untuk kemudian dipakai kembali. Saking sulitnya masyarakat Kampung Braga di masa itu,” ujar Teh Oda.
Peristiwa pahit tersebut masih membekas bagi tetua masyarakat Kampung Braga. Bahkan hingga saat ini mereka enggan menceritakan memori kelam tersebut.
“Ketika saya menanyakan kejadian ini ke para sesepuh di Kampung Braga pun mereka cuma kayak ‘duh ga tau neng saya mah ga sanggup ceritanya’,” ujar Teh Oda.
Di penghujung perjalanan Ngabaraga tersebut, Teh Oda mengajak kami naik ke dalam gedung pertokoan di kawasan bantaran Sungai Cikapundung. Ia menunjukkan pemandangan kontrasnya kehidupan masyarakat Kampung Braga di tengah gedung-gedung tinggi yang mengelilinginya.
Perjalanan ini membuka mata kami tentang realita kesenjangan sosial yang dialami oleh masyarakat Kampung Braga.