Catatan Perhelatan Photo Exhibition Ruang Juang
Berbincang tentang dunia fotografi, isu perempuan, dan harapan. Perayaan harlah Photo’s Speak ke-11.
Penulis Tofan Aditya26 November 2022
BandungBergerak.id — Hari yang cerah setelah beberapa hari Bandung diguyur hujan. Cuaca yang menyemangati hari terakhir Photo Exhibition Ruang Juang yang juga menjadi rangkaian perayaan harlah Photospeak ke-11 bertempat di Aula B, Student Center Lt. 1, UIN Sunan Gunung Djati.
Pameran foto yang melibatkan 17 peserta yang memajang karyanya di aula tersebut sudah berlangsung lima hari. Sudah 302 orang mencantumkan nama mengisi buku tamu bagi pengunjung yang memasuki ruang tempat foto-foto dipajang. Di hari terakhir itu, panitia yang berjaga masih saja sigap menjawab pertanyaan pengunjung pada foto yang dipajang di sana.
Semua foto yang dipajang di sana memiliki nafas yang sama yakni perjuangan. Ada beragam isu yang diangkat. Mulai dari single parent, Borderline Personality Disorder (BPD), pengasuhan anak, sampai mahasiswa salah jurusan. Tentu, foto-foto tersebut tidak hadir dari ruang hampa, ada alasan dibalik pemilihannya.
“Karena banyak stigma masyarakat yang memukul rata orang lain, tanpa melihat apa sih perjuangan yang sudah dilaluinya, apa sih latar belakangnya. Nah kita mau mengubah stigma tersebut sedikit demi sedikit,” ucap Zaki, ketua pelaksana kegiatan pada BandungBergerak.id.
Tak hanya pameran foto, Acara Photo’s Speak tersebut juga menampilkan gelar wicara dengan bahasan “Kesetaraan dan Suara Perempuan Lewat Fotografi”. Fotografer Virliya Putricantika dan Raudhatul Jumala menjadi pembicara untuk membagikan pengalamannya sebagai perempuan yang memilih profesi yang terhitung tidak biasa tersebut. Aisy Ratutri Dedi memandu bincang-bincang tersebut yang digelar hybrid mulai pukul 14.25 WIB.
Baca Juga: Berjalan Kaki Menceritakan Kuliner Legendaris di Kota Bandung
Cerebral Palsy Menguatkan Keluarga Istimewa
Merakit Toleransi Melalui Tur ke Kelenteng Satya Budhi
Fotografi dan Perempuan
“Fotografi bukan bidang yang dikhususkan untuk laki-laki!” tegas Virliya Putricantika ketika membicarakan fotografi yang kerap dikaitkan dengan pekerjaan laki-laki.
Pendapat tersebut tentu bukan tanpa alasan. Naomi Rosenblum, dalam “The History of Women Photographers”, berkata bahwa dalam sejarahnya, perempuan memang mengalami peminggiran dalam bidang fotografi. Alasannya teknis,dulu pekerjaan fotografi tak hanya berkaitan dengan otak, tapi juga otot. Pada awalnya, alat-alat untuk melakukan fotografi begitu besar dan berat, bahkan mencapai puluhan kilogram. Tapi, itu dulu.
Ketika ditanyai perihal suka duka menjadi fotografer perempuan, Virliya bercerita bahwa dia sekali waktu pernah mengalami pelecehan ketika bertugas, seperti catcalling dan mendapatkan pandangan yang tak senonoh. Fotografer BandungBergerak.id ini juga bercerita bahwa kerap kali berada di posisi tidak nyaman ketika berkumpul bersama fotografer lainnya, yang mayoritas adalah laki-laki.
“Kita perempuan, yang masih sedikit, harus mengikuti becandaan yang tidak memahami kita sebagai perempuan,” tutur perempuan yang pernah terlibat dalam Permata Photojournalism Grant (PPG) ini.
Meski fotografer perempuan mulai menjamur, namun tetap saja, laki-laki masih dominan di dalamnya. Dampaknya, perempuan masih dipandang sebelah mata. Padahal banyak fotografer perempuan yang sudah memiliki segudang prestasi di luar sana. Salah satunya Adek Berry yang telah menerbitkan buku berjudul “Mata Lensa”.
“Coba sebutin satu fotografer yang temen-temen tau, fotografer perempuan? Padahal ada Mbak Adek, Mbak Adek itu fotografer untuk media AFP (Agence France-Presse), itu internasional. Beliau motret di peristiwa perang di sana, di Afganishtan,” terang Virly.
Selain dipandang sebelah mata, minornya perempuan menekuni pekerjaan fotografer juga berdampak terhadap foto-foto yang dihasilkan. Menurut Virly, setiap fotografer memiliki value-nya sendiri, perspektifnya sendiri, termasuk fotografer perempuan.
“Ya, perempuan berdaya, jadi perempuan harus menyuarakan itu. Kalau laki-laki terus-terusan menjadi fotografer dan tidak memberikan ruang bagi fotografer perempuan di profesi fotografer jurnalistik ini, ya terus siapa yang mau menyuarakan keadilan untuk perempuan-perempuan?” kata Virliya, yang juga merupakan kurator Photo Exhibition Ruang Juang.
“Semua dari kita memiliki memiliki hak yang sama. Tapi, kenyataannya, dunia fotografi masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan itu mendapat stigma hanya menjadi aktor yang hanya terlihat dalam kamera. Bukan orang yang ada di baliknya,” pungkas Jumala dari layar aplikasi Zoom.
Harapan di Harlah Photo’s Speak ke-11
Jarum jam hampir menunjuk tepat di angka empat. Sudah sore, matahari mulai tertutupi awan dan angin berhembus kencang. Selepas gelar wicara, kegiatan tak buru-buru ditutup. Masih ada prosesi tiup lilin dan potong kue yang tentu menjadi bagian yang terpisahkan dari sebuah perayaan harlah, begitu pun di harlah Photo’ Speak. Berbagai doa mengalir dari tiap-tiap anggota Photo’s Speak.
“Semoga di usia yang ke sebelas tahun ini, Photos Speak bisa lebih berprestasi lagi. Tetap menjadi tempat dan rumah yang nyaman bagi siapa pun yang ingin belajar fotografi, khususnya fotografi jurnalistik,” Harap Choirul Nurahman selaku Kepala Suku Photo’s Speak.
Perayaan harlah itu menjadi penutup Photo Exhibition Ruang Juang. Raut bahagia nampak dari wajah keluarga besar Photo’s Speak setelah proses persiapan yang mencapai 4 bulan.
Sebelas tahun perjalanan yang dilalui Photo’s Speak tentu bukan waktu yang sebentar. Selama keberjalanannya, banyak prestasi didapatkan, tentu karena proses belajar bersama di Photo’s Speak. Meski telah berjalan panjang, organisasi ini tidak pernah kehabisan napas. Ya, persis seperti tema yang diusung, “11 Tahun Berkarya, 11 Tahun Tetap Ada”.