• Cerita
  • Cerebral Palsy Menguatkan Keluarga Istimewa

Cerebral Palsy Menguatkan Keluarga Istimewa

Komunitas Keluarga Cerebral Palsy Bandung Raya yang bertransformasi menjadi Yayasan Anak Bunda Istimewa, setia menemani anak-anak penyandang cerebral palsy.

Alvin (21), penyandang cerebral palsy, mengikuti fisioterapi di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). Terapi ini diperuntukkan bagi 70 penerima manfaat dan anak-anak lainnya yang mengikuti terapi secara mandiri. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Virliya Putricantika12 November 2022


BandungBergerak.id - Kucing dengan corak putih abu-abu itu menghalangi pintu masuk Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). Di tengah ruangan seluas 12 meter persegi berlangsung fisioterapi bagi 12 anak yang mengidap cerebral palsy atau penyakit lumpuh otak. 

Para orangtua yang mengantar sekaligus menemani anak-anaknya yang diterapi, asyik bertukar cerita dengan penuh canda tawa. Memiliki anak dengan cerebral palsy memerlukan ketegaran luar biasa.

Alvin (21), salah seorang anak yang rutin mengikuti terapi di Yayasan Anak Bunda Istimewa, datang bersama ibunda, Yuse (54). Alvin memiliki cerita istimewa di masa kecilnya. Tiga hari setelah dilahirkan, Alvin harus menjalani operasi di pangkal paha karena tingginya bilirubin yang didiagnosa dapat menyerang otak.

Perjalanan yang dilalui Alvin sama tak mudahnya dengan yang dialami Yuse, sang ibu. Yuse ditinggal suami lima tahun lalu pada 2017, satu tahun kemudian ia terkena stroke. Meski berat, Yuse tetap berupaya untuk bertahan dan berusaha untuk anak-anaknya, tak terkecuali bagi anak istimewanya, Alvin.

Yuse tetap setia menemani kegiatan fisioterapi anak tercintanya itu. Bahkan Yuse berharap Alvin bisa sekolah tinggi dan bekerja seperti kakaknya.

Ghina (15) penyandang cerebral palsy melakukan fisioterapi di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Ghina (15) penyandang cerebral palsy melakukan fisioterapi di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

“Dulu ketika lihat kakaknya kuliah ditanya mau kuliah, dia (Alvin) mau kuliah. Tapi setelah kakaknya sudah kerja, jadi ikutan pengin kerja, ditanya pengin kerja apa, pengin di laptop karena lihat kakaknya sering kerja di laptop,” cerita Yuse yang sambil berkumpul di ruangan bersama dengan orangtua yang hadir di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Bandung, Rabu (9/11/2022).

Anak ketiga dari empat bersaudara ini telah menyelesaikan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sejak dua tahun lalu. Saat ini Alvin melakukan aktivitasnya di rumah ditemani sang ibu, bermain gawai dan melatih fisiknya dengan aktivitas yang sederhana di rumahnya di daerah Cileunyi.

Pandemi Covid-19 dua tahun lalu yang berdampak pada pembatasan aktivitas masyarakat turut dirasakan oleh Alvin. Tidak ada kegiatan yang bisa dia lakukan menyebabkannya mengalami kejang yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan penyandang cerebral palsy.

“Salah satu PR setelah dari lulus SLB itu biasanya anak-anak engga ada kegiatan. Mungkin yang harus kita pikirkan bersama,” tambah Rika Yulianti Windriani, ketua Yayasan Anak Bunda Istimewa.

Alvin menunjukan progres yang baik setelah mengikuti terapi alternatif dan menjadi salah satu penerima manfaat dari Yayasan Anak Bunda Istimewa. Sebelumnya ia sempat diserang kejang selama tiga tahun ke belakang.

Dalam artikel “Tim ITB-Unpad Ciptakan Alat Simulasi Hippotherapy bagi Anak Cerebral Palsy”, kasus lumpuh otak ini didefinisikan sebagai penyakit yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh.

Cerebral palsy disebabkan oleh gangguan perkembangan otak, biasanya terjadi saat anak masih di dalam kandungan. Anak yang menderita cerebral palsy perlu rutin melakukan terapi. 

Wida (kiri) dan Yuse (kanan) bertukar cerita bersama ibu-ibu lainnya di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Wida (kiri) dan Yuse (kanan) bertukar cerita bersama ibu-ibu lainnya di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Saling Menguatkan

Wida atau akrab dipanggil Ambu menjadi salah satu relawan untuk anak-anak istimewa yang mengidap cerebral palsy. Bukan tanpa alasan, dua tahun lalu anak semata wayangnya yang juga mengidap cerebral palsy harus meninggal pada usia 11 tahun 9 bulan.

“Kerasa mungkin sama ibu-ibu yang lain, yang punya anak CP (cerebral palsy), perjuangan untuk merawat anak CP itu tidak mudah, dengan penolakannya di masyarakat pun cukup berat dan jadi beban untuk menguatkan mental,” cerita Wida sambil menahan air matanya.

Bergabung dengan komunitas, membuat orangtua yang memiliki anak istimewanya justru menguatkan satu sama lain. Merasa memiliki saudara yang juga merasakan bagaiman merawat anak cerebral palsy membuat masing-masing dari mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi kondisi ini.

Hal yang sama juga dirasakan Fitri yang menemani anaknya, Ghina (15), ketika menjalankan sesi fisioterapinya di salah satu ruangan yang dilengkapi beberapa fasilitas peralatan untuk melatih fisik. Cerebral palsy yang dialami Ghina berawal ketika 40 hari pascadilahirkan, ia mengalami disentri amoeba (diare).

Lahir dalam keadaan prematur ketika usia kandungan baru memasuki tujuh bulan, membuat sang ibu memutuskan untuk membawa Ghina ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Satu bulan setelah mengalami diare kronik, pertama kalinya Ghina mengalami kejang sehari semalam tanpa henti.

“Koma satu bulan dulu, pas seminggu dirawat ketika koma itu pendarahan di otak, kata dokter ini harus dioperasi. Karena dulu keterbatasan biaya, Ghina dibawa pulang paksa dalam keadaan koma, dan ketika pulang dokter bilang kalau Ghina sudah ga ada gitu,” tutur Fitri yang sedikit menitikan air mata.

Namun manusia tak bisa mendahului takdir. Ghina tetap hidup, dokter yang sempat mengatakan bahwa bayi berusia tiga bulan itu sudah pergi ikut terharu melihat Fitri kembali datang untuk memeriksa kondisi anaknya.

Fitri merasa mendapat kesempatan kedua untuk merawat anaknya. Ia seakan diberi kepercayaan untuk mengurus anaknya hingga kini. Hal ini semakin menguatkan Fitri untuk tetap hadir dan menemani Ghina selamanya.

Baca Juga: Pemahaman-pemahaman Keliru tentang Para Penyandang Disabilitas
Kapan Penyandang Disabilitas Bisa Mudah Mengakses Pelayanan Administrasi Pemkot Bandung?
Komite Nasional Disabilitas Indonesia Meninjau Kondisi Darurat SLBN A Pajajaran

Aqila (5) penyandang cerebral palsy melakukan fisioterapi di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Aqila (5) penyandang cerebral palsy melakukan fisioterapi di Yayasan Anak Bunda Istimewa, Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Berawal dari Komunitas

Tahun 2016, mengawali cerita Rika Yulianti dalam upayanya mambangun Yayasan Anak Bunda Istimewa. Ia datang ke pengajian ibu-ibu dengan anak-anak cerebral palsy dan semakin hari semakin banyak yang mengikuti kegiatan ini. Di hari World Cerebral Palsy tercetuslah nama Komunitas Keluarga Cerebral Palsy Bandung Raya, tepatnya tanggal 6 Oktober 2018.

Anggota komunitas ini tersebar di lima wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sumedang. Komunitas menjadi penjaga dan pembangun ruang untuk para keluarga istimewa itu.

Banyaknya donasi yang diperuntukkan bagi anak dengan cerebral palsy mendorong Rika membentuk badan yang legal. Sampai akhirnya tahun 2020 berdirilah Yayasan Anak Bunda Istimewa dengan ketua Rika Yulianti.

Tidak hanya pemberian manfaat terapi yang diberikan, lebih dari itu yayasan juga melakukan penguatan mental orangtua, memberi dukungan dengan berbagi cerita dalam kegiatan setiap bulan di masing-masing wilayah.

Suasana ruang tengah Yayasan Anak Bunda Istimewa ketika bertukar cerita di Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Suasana ruang tengah Yayasan Anak Bunda Istimewa ketika bertukar cerita di Jalan Houkeri, Cisaranten, Bandung, Rabu (9/11/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

“Ada yang membina, ada yang bantu mengarahkan kegiatannya, ada yang bantu penguatan keluarganya, dosebutnya relawan istimewa. Jadi dari Yayasan saya menyiapkan relawan untuk bisa masuk ke setiap kelompok yang bekerja sama dengan ikatan da’i,” ungkap wanita dengan pakaian ungu yang menjadi ciri khas yayasan yang didirikannya sejak dua tahun lalu.

Program fisioterapi yang berjalan sejak Maret 2021 lalu telah memberikan terapi pada 70 anak penyandang cerebral palsy secara cuma-cuma. Mereka biasa melakukan terapi satu bulan sekali di minggu pertama.

Terapi tersebut diberikan sekaligus untuk memberikan dukungan kepada keluarga yang merawat anak cerebral palsy. Perlu diketahui, anak dengan cerebral palsy minimal memerlukan terapi seminggu sekali berturut-turut setiap bulannya. Bila dikalkulasikan dalam satu bulan, terapi tersebut memerlukan biaya 400 ribu rupiah.

“Harapan saya ke depannya semakin banyaknya orang-orang yang peduli itu bisa membuka titik-titi baru untuk memberikan terapi di tempat lain,” tambah Rika Yulianti di teras bangunan berwarna hijau itu.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//