• Cerita
  • Potret Eksplotasi ABK dalam Film Before You Eat

Potret Eksplotasi ABK dalam Film Before You Eat

Film dokumenter yang memotret eksploitasi ABK migran yang bekerja di kapal asing. Gambaran praktek perbudakan modern.

Diskusi dan nonton bareng film dokumenter Before You Eat di salah satu kafe, di jalan Lodaya, Kota Bandung pada Kamis (24/11/2022) sore. Pemutaran film ini difasilitasi oleh AJI Bandung dan LBH Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau26 November 2022


BandungBergerak.id—Potongan gambar satu jenazah dilarung dengan balutan plastik warna merah melekat pada badan yang kaku, dengan kaki sedikit tertekuk pada salah satu adegan film dokumenter Before You Eat. Lalu pada adegan gambar berikutnya terjawab, itu adalah salah satu jenazah anak buah kapal (ABK) bernama Wendi. Setelah sakit dan tak diberi akses pengobatan di atas kapal ia pun meninggal dunia. Pelarungan jenazahnya di laut tak mendapat persetujuan dari keluarga. Sang ibu, masih mengharapkan agar jasad sang anak dapat dipulangkan.

Itu hanya salah satu potret cerita pilu dari film tersebut. Film garapan Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) itu banyak memotret cerita pilu perbudakan modern yang terjadi di atas kapal. Para ABK dieksploitasi, tak mendapatkan makanan yang layak di atas kapal, bahkan minum dari air sulingan. Tak hanya itu, upah mereka pun tak kunjung dibayar.

Film itu diputar dalam kegiatan Diskusi dan Nonton Film Before You Eat “Praktik Perbudakan Modern dan Pelanggaran HAM ABK Perikanan Indonesia, Pemerintah Bisa Apa?” yang dilangsungkan di salah satu kafe, di jalan Lodaya, Kota Bandung pada Kamis (24/11/2022) sore. Pemutaran film ini difasilitasi oleh AJI Bandung dan LBH Bandung.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengungkapkan bahwa film ini lahir atas rasa frustrasi terhadap banyaknya kasus eksploitasi ABK yang terus terjadi. Sejak kasus pertama yang mencuat pada 2013, lalu pada 2014 hingga kini kasusnya terus meningkat. Kasus eksploitasi  di lingkungan perairan laut terjadi tak hanya pada hewan, namun juga pada manusia di atas kapal.

“Kita melihat hiu terbunuh, namun pada saat yang sama itu ada orang-orang yang tereksploitasi,” ungkap Afdillah pada BandungBergerak.id.

Tingginya jumlah kasus, berbanding terbalik dengan perhatian pemerintah dan masyarakat. Afdillah menceritakan pernah ada kasus pelarungan jenazah di laut yang ramai diperbincangkan di negara Korea kemudian viral di Indonesia. Namun hanya dua minggu dibicarakan di Indonesia, setelah itu isunya tenggelam. Pemerintah tak melakukan banyak hal pada kasus itu.

Afdillah mengungkapkan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa perbudakan terhadap ABK yang bekerja di kapal asing ini nyata adanya. Dan memiliki dampak sosial yang luar biasa, berdampak pada keluarga, pada istri dan anak yang ditinggalkan, dan orang tua. Banyak kasus, ABK yang bekerja dengan upah tak dibayarkan, tak dikirim ke keluarga di rumah.

Baca Juga: https://bandungbergerak.id/article/detail/14713/catatan-perhelatan-photo-exhibition-ruang-juang
https://bandungbergerak.id/article/detail/14682/kabar-dari-redaksi-dari-gambir-ke-chiang-mai
Berjalan Kaki Menceritakan Kuliner Legendaris di Kota Bandung

Eksploitasi Terus Meningkat dan Lemahnya Regulasi

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat dari data aduan awak kapal migran tahun 2014 sampai 2021 terdapat 634 ABK menjadi korban eksploitasi. Kasus terbanyak terjadi pada tahun 2021 sekitar 181 kasus. Sementara pada tahun yang sama tercatat ada 45 awak kapal migran yang meninggal dunia. Sebanyak 47 persennya berasal dari Jawa Tengah.

SBMI juga mencatat dua provinsi tertinggi penyaluran awak kapal migran. Pertama dari Jawa Tengah, dan yang kedua dari Jawa Barat.

“Nah yang di Jabar ini anehnya lagi, itu tidak hanya nelayan. Tapi juga orang-orang pegunungan yang jauh dari laut  yang direkrut menjadi awak kapal,” ungkap Bobi Anawar Maarif, Sekjen SBMI saat ditemui di lokasi.

“Sehingga tidak heran, ketika misal Mas Afdil pernah investigasi bareng sama wartawan masuk ke perusahaan-perusahaan itu ada yang ngak bisa berenang, memprihatinkan.”

Bobi mengatakan, eksploitasi yang terus terjadi ini disebabkan karena lemahnya penegakan regulasi. Peraturannya tertuang dalam UU nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pada pasal 64 dijelaskan tegas bahwa ABK yang bekerja di luar negeri itu bagian dari pekerja migran. Seharusnya regulasi sudah berlaku efektif setelah 5 tahun berjalan sejak aturan perundangan itu disahkan pada 2017.

Undang-undang tersebut mengatur secara jelas perusahaan yang merekrut ABK migran harus mengantungi Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) yang dikeluarkan Kementrian Ketenagakerjaan. Prakteknya  Kementrian Perhubungan masih menerbitkan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK). Pangkal sebabnya tidak ada PP turunan yang mengaturnya dengan jelas hingga kini. Hal ini yang membuat perusahaan-perusahaan nakal yang tak terdaftar secara legal melakukan aksinya.

Baru pada Juni 2022 terbit regulasi yang mengatur yakni PP nomor 22 tahun 2022 yang mengatur perlindungan awak kapal niaga migran dan perlindungan awak kapal perikanan migran. PP ini diharapkan dapat menertibkan perusahaan-perusahaan nakal yang tak terdaftar secara legal yang banyak melakukan eksploitasi terhadap awak kapal migran.

Selain itu, praktek percaloan masih tumbuh subur karena minimnya informasi yang disediakan pemerintah.

“Praktek percaloan ini yang mengakibatkan teman-teman ini banyak terbuai dengan iming-iming. Karena bagi calo ini kan bisnis yang menguntungkan. Hanya bermodal informasi, terus kemudian dapat duit dari situ. Dan perputaran uangnya juga cukup besar. Itu yang terjadi,” ungkap Bobi.

“Kalau ada sistem informasi yang bisa diakses langsung, itu saya yakin praktek perekrutannya akan lebih baik dari pada sistem percaloan.”

Para pembicara dalam diskusi setelah nonton bareng film dokumenter Before You Eat di salah satu kafe, di jalan Lodaya, Kota Bandung pada Kamis (24/11/2022) sore. Pemutaran film ini difasilitasi oleh AJI Bandung dan LBH Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Para pembicara dalam diskusi setelah nonton bareng film dokumenter Before You Eat di salah satu kafe, di jalan Lodaya, Kota Bandung pada Kamis (24/11/2022) sore. Pemutaran film ini difasilitasi oleh AJI Bandung dan LBH Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Dampak Sosial pada Perempuan

Sementara itu, Afdillah juga menjelaskan, sistem pengupahan ABK yang direkrut menggunakan sistem pengupahan delegasi pertiga bulan sekali. Upah delegasi yang dimaksud membuat upah yang diterima tak langsung dikirimkan ke rekening pribadi ABK atau keluarganya, namun masuk ke perusahaan, selanjutnya perusahaan mengirimkan upah itu pada keluarga. Namun, banyak kasus ditemukan perusahaan tidak mengirimkan upah tersebut pada keluarga ABK.

“Kita bisa bayangkan, ketika dia berangkat dalam tiga bulan itu istrinya bertahan hidup dengan apa,” ungkap Afdillah.

Tak hanya itu, banyak kasus  ABK yang berangkat pertama kali kemudian terjerat hutang, karena harus membayar biaya surat-surat, paspor, sertifikat, serta buku pelaut. Akibatnya dalam 6 bulan upah ABK bisa tidak dibayarkan. Jika sudah seperti itu, anak dan istri yang ditinggal tak menerima kiriman uang  yang menyulitkannya membeli sekedar isi dapur untuk bertahan hidup. Jika sang istri mengetahui perusahaan tempat suaminya bekerja maka akan didatangi dan meminta bon hutang.

“Ada lagi kasus begini, biasanya kalau istrinya tahu suami itu direkrut oleh perusahaan A, dia minta utang itu, datangi perusahaan minta bon dulu. Dikasih biasa sama perusahaan, itu kalau ABK-nya orang Tegal, perusahaannya di Tegal. Tapi kalau ABK-nya orang Lampung, perusahaannya di Tegal ke mana istrinya akan mengadu.”

Tak jarang keluarga ABK yang ditinggal terpaksa menumpang pada keluarga besarnya untuk bertahan. Jika sang suami lama tak memberi kabar dan mengirimkan uang, kebanyakan istri yang ditinggalkan menikah lagi agar bisa bertahan hidup.

Afdillah berharap kehadiran film dokumenter Before You Eat tersebut membuka mata masyarakat bahwa praktek perbudakan pada ABK migran masih terjadi, dan tentunya mendapat respon dari pemerintah. Karena pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap masyarakatnya. Caranya dengan membuat tata kelola yang baik. Mulai dari regulasi, kemudian instrumen-instrumen penataannya. Harus ada sumber daya yang dikerahkan, ada anggaran. Juga pengawasannya.

Jika melihat beragam kasus yang terjadi, hal ini juga disebabkan buruknya tata kelola yang disediakan oleh pemerintah.

“Kalau ini kan kayak pasar bebas aja. Tapi ini pekerjaan yang butuh pengawasan ketat, butuh orang-orang yang punya skil mumpuni dan juga butuh perlindungan dari pemerintah yang memang bertanggung jawab.”

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//