Gung Kayon: Memantas Diri pada Alam dengan Panel Surya
Memanfaatkan alam untuk mendapatkan energi. Perlu memahami alam.
Penulis Sherani Soraya Putri8 Desember 2022
BandungBergerak.id—Gung Kayon, pria yang bernama asli I Gusti Ngurah Agung Putradhyana, asal Desa Geluntung, Marga, Bali, menggagas komunitas bernama Kayon. Ketertarikannya pada isu-isu lingkungan membuatnya mendirikan komunitas yang lebih mirip perkumpulan tersebut pada Februari 1999.
“Dalam bahasa Bali, pikiran itu disebut Kayon. Jadi simbol pikiran itu disebut belantara hutan,” ujar Gung Kayon, Minggu, 6 November 2022.
Komunitas Kayon bermaksud mengintegrasikan kepedulian pada lingkungan hidup dan budaya. Sederhananya untuk menyampaikan bahasa lingkungan dalam konteks-konteks budaya lokal agar mudah dipahami masyarakat.
Gung Kayon meyakini manusia sudah seharusnya menyesuaikan atau memantas diri pada alam karena manusia bagian dari alam. Penting bagi manusia mempelajari cara kerja alam.
Kerusakan alam saat ini adalah produk dari kerja manusia yang terburu-buru sehingga dampaknyalah yang dirasakan kini. Alat ciptaan manusia yang harapannya bisa menjadi solusi terus memunculkan ide-ide baru yang selanjutnya berujung pada pemanfaatan secara berlebih.
Ia memberi contoh batu bara. Jumlahnya memang melimpah. Sekian ratus tahun pemakaiannya dianggap tidak ada masalah hingga pada saat penggunaannya menjadi terlalu berlebih mengakibatkan kenaikan suhu pada permukaan bumi. Namun jika manusia tidak menemukan manfaat batu bara, peradaban manusia belum tentu sampai pada titik di saat ini.
Sekarang ramai-ramai menyerukan agar beralih pada energi listrik. Padahal dulu, mobil juga menggunakan motor listrik. Namun penemuan minyak bumi yang membuat pemanfaatan teknologinya menjadi lebih murah menggeser penggunaan motor listrik. Penggunaan minyak menghasilkan polutan, dan kemudian menjadi masalah saat penggunaannya berlebihan.
“Dan sekarang persoalannya adalah kita menganggap itu beneran serius atau nggak?”
Baca Juga: Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Indonesia Memerlukan Pendanaan Berkelanjutan
Walhi Jabar: Selamatkan Lingkungan dan Rakyat, bukan Proyek Kereta Cepat
Panel Surya Sebagai Tradisi Lama
Sosok Gung Kayon dikenal luas karena penggunaan panel surya dalam kehidupan sehari-hari. Teknologi yang sudah ada sejak tahun 1980an yang bekerja mengubah cahaya matahari menjadi listrik.
“Saya belajar tenaga surya itu di Bandung, saya berburu alat-alat tahun 90-an, awal-awal begitu, saya SMP SMA itu bacaannya majalah elektron, yang punya anak-anak ITB (Institut Teknologi Bandung),” ujar Gung Kayon menceritakan pengalamannya.
Dengan menengok ke belakang seperti bagaimana budaya lama memuja matahari, jika dibaca dalam situasi saat ini semua energi yang kita gunakan berasal dari matahari.
“Cuman jalannya macem-macem, ada yang diserap tumbuhan dulu, kemudian tumbuhannya mati, setelah kian ribu tahun, dia jadi batu bara. Ada yang jadi binatang dulu, plankton, turunannya minyak bumi,” ujarnya.
Pemanfaatan Renewable Energy atau energi baru terbarukan (EBT) itu, di mana-mana besar, karena rumusnya jika dari awal telah diketahui jenis materinya, nantinya akan diketahui energinya itu apa. “Karena energi di dalam materi itu kekal, udah rumus energi itu, dia tidak bisa diciptakan, tidak bisa dimusnahkan,” jelasnya.
Oleh karena itu pengetahuan mengkonversi dan mengendalikan menjadi hal yang penting. Karena semua hal itu sebetulnya basisnya kontrol. Tapi Gung Kayon mengaminkan bahwa kata kontrol itu tidak enak didengar. Banyak orang yang lebih tertarik dengan kata-kata melimpah.
“Karena contohnya energi listrik yang melimpah itu, kalau nggak di kontrol ya akan meledak,” katanya.
Listrik dalam bentuk komersial baru beberapa ratus tahun ini saja, ketika dianggap manfaatnya besar, di satu sisi salah dalam segi pengelolaan, akhirnya kekacauannya juga besar.
Gung Kayon tidak bermaksud skeptis, tapi memang perlu ditekankan pengetahuan untuk memanfaatkan energi tersebut berdasarkan batasan-batasan yang perlu ditingkatkan.
Penting mengajak orang bahwa apapun aktivitasnya pasti melibatkan materi dan energi. “Jika mau, orang bisa bertanggung jawab terhadap kebutuhan energinya masing-masing,” tambahnya.
Pada ujungnya energi dalam bahasa Inggris itu adalah power atau kekuasaan. “Jika dia menjadi bisnis, maka akan menjadi bisnis yang powerfull, orang-orang yang megang power-nya juga menjadi powerfull, dan itu akhirnya akan menjadikan ketimpangan kepentingan,” katanya.
Gung Kayon mewanti-wanti agar jauh lebih hati-hati dalam menggunakan energi panel surya. Cahaya sebagai energi yang melimpah bukanlah sesuatu hal yang dapat dimiliki secara terus menerus. Karena begitu tidak tahu batasnya, maka tinggal menunggu waktu saja untuk merasakan dampak besar dari pemanfaatan secara berlebih.
Fokus Investasi Jangka Panjang
Membangun pembangkit energi tidak ada yang murah. Butuh biaya mahal di awal dengan kapasitas yang setara. Tapi memanfaatkannya bisa dimulai dalam skala kecil dulu.
“Pembangkit punya karakter masing-masing,” ujar Gung Kayon.
Begitu juga dengan panel surya. Terdapat banyak pilihan dari segi pendekatan penerapan panel surya. Salah satunya dengan pendekatan konsumsi listrik per-kapita.
Misal saja kita gunakan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai konsumsi listrik Kuartal III tahun 2021 yakni 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita.
Apabila akan menghitung konsumsi setiap kebutuhan energi per-hari setiap orang di Indonesia, maka 1.109 kWh itu tinggal dibagi 365. Kalau mau pakai tenaga surya dibagi dengan potensi lokasi. Kalau di Bali hasilnya dapat dibagi 4, sedangkan di Bandung kisarannya sekitar 3-3,5 karena lokasinya di dataran tinggi. Jumlah akhiran adalah hitungan kasar konsumsi energi yang digunakan oleh satu orang, berdasarkan rata-rata harian.
Kalau dilihat dari segi bahan-bahan untuk panel surya, sebenarnya itu tidak terlalu sulit juga. Dengan menggunakan baterai ataupun non baterai, panel surya tidak hanya dapat dipakai di siang hari, juga di malam menyesuaikan dengan kebutuhan.
Pandangan yang memberatkan dalam pemanfaatan energi baru terbarukan pada aspek kalkulasi modal. Namun menurut Gung Kayon hal tersebut harus diubah perspektifnya.
“Karena kita selalu menganggap listrik itu sebagai bagian dari biaya, bukan alat untuk menghasilkan uang,” katanya.
Ia selalu menekankan kepada orang-orang yang tertarik untuk memasang Panel Surya di rumah maupun di kantor untuk menyelesaikan urusan arsitekturnya dulu.
Orang yang tinggal di Eropa memiliki kebutuhan energi yang tinggi dikarenakan kondisi musim di sana yang berubah-ubah. Sedangkan di Indonesia memiliki kebutuhan energi yang berbeda karena berada di kawasan tropis.
Pemanfaatan energi listrik menggunakan panel surya mahal pada penyimpanannya. Tapi bisa saja digunakan langsung pada siang hari dengan memanfaatkan sinar matahari secara langsung.
Membersihkan Dosa-Dosa Negara Polutan
Gung Kayon termasuk yang mempertanyakan tujuan keterlibatan Indonesia dalam kesepakatan Paris Agreement. “Dalam rangka membersihkan dosa-dosanya negara polutan itu, atau gimana? Kalau memang begitu ya sekalian aja, mereka yang harus membiayai kita” ujarnya.
Misalkan ketika di tahun 2025 sudah harus mencapai target sekian persen, pasti akan melibatkan biaya. Seharusnya ada kalkulasi biaya dari pihak Indonesia dan negara-negara penyumbang emisi terbanyak, karena sebenarnya mereka yang jauh lebih bertanggung jawab.
“Di satu sisi, ga usah lah kita bermanis-manis menunjukkan, kita sudah melakukan gini dengan sumber daya sendiri, bukan salah, bagus. Cuman kita juga gak bisa dipermasalahkan,” ujarnya.
Kalau memang ingin targetnya tercapai, seharusnya negara-negara maju itu membantu untuk membiayai pengelolaannya.
“Kita kadang nggak mau agak keras di negosiasi, G20 ini juga kesempatan untuk membahas hal itu, namun kita kelihatan sekali harus nampak manis, ya dimanfaatin mental tuan rumah harus begitu.”
Ia juga menganggap bahwa pertemuan yang dilakukan pemerintah antar negara, membahas berbagai isu, termasuk lingkungan hidup, hanya upacara saja. Namun setidaknya ruang dialognya masih dipertahankan. “Kita menganggap ini persoalan serius nggak, kalau nggak serius, tidak dilakukan, berarti dampaknya jelas, tinggal tunggu waktu,” ujarnya.
“Kecilin dulu aja skalanya, jadi 25% listrik kita harus bersih, sedikit-sedikit saja, karena 100% itu kan 4 meter persegi, jadi masang panel 1 meter persegi pun sudah merupakan prestasi,” ungkapnya.
Jadi kalau mau mencapai 25% itu dengan tidak menekankan pada ruang lingkup yang besar, tapi memusatkan pada tanggung jawab perorangan. Pada akhirnya juga akan menjadi pemanfaatan Panel Surya yang berskala besar.
“Setiap orang secara mental harus sadar itu bagian dari partisipasinya dia, kalau saya sudah menuhin 4 meter saya, saya sudah berpartisipasi,” sarannya.
Pembadanan atau internalisasi terhadap alam adalah hal yang penting. Selama ini manusia sering berpikir bahwa alam itu sensitif, padahal sebetulnya kita yang rentan, terlebih dengan perubahan ekstrem di alam. Karena itu, manusia perlu untuk mencocokkan diri dengan alam.