• Pembangunan Berkelanjutan
  • Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Indonesia Memerlukan Pendanaan Berkelanjutan

Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Indonesia Memerlukan Pendanaan Berkelanjutan

Riset Climate Change Center ITB memperlihatkan ada kemungkinan sinergi mitigasi adaptasi di Indonesia membuka peluang terhadap pendanaan internasional.

Awan mendung terlihat di atas Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Jalan Dipati Ukur, Bandung, 2022. (Foto Ilustrasi: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 Oktober 2022


BandungBergerak.idPerubahan iklim memengaruhi sektor energi di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. Namun upaya mitigasi perubahan iklim saat ini belum cukup untuk mengendalikan keadaan dan dampak yang terjadi. Perlu upaya adaptasi yang lebih optimal. 

Di sisi lain, Kepala Climate Change Center Institut Teknologi Bandung (ITB) Djoko Santoso, mengatakan kebutuhan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ini belum seimbang dengan alokasi pendanaan yang ada.

“Pendanaan dalam isu ini di Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan tingkat global,” ungkap Djoko Santoso dalam diskusi “The Synergy of Climate Change Adaptation-Mitigation in Indonesia to Leverage Sustainable Climate Finance di Gedung CRCS ITB, Jalan Ganesha, Bandung, Jumat (21/10/2022), dalam siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Senin (24/10/2022). 

Belum Adanya Sinergi

Riset yang dilakukan oleh Climate Change Center ITB memperlihatkan ada kemungkinan sinergi mitigasi adaptasi di Indonesia untuk membuka peluang terhadap pendanaan internasional. Hal tersebut berdasarkan studi kasus terhadap sektor berbasis lokal (program kampung iklim-PROKLIM), sektor berbasis lahan (MoEF), dan sektor energi (PT PLN).

“Sinergi dalam konteks perubahan iklim adalah adaptasi dan mitigasi. Ini merupakan kegiatan yang direncakanan dan dilaksanakan di lokasi dan pengaturan yang sama, sehingga efek gabungannya diharapkan bisa lebih besar ketimbang jika mitigasi dan adaptasi diterapkan secara terpisah. Hal ini berhubungan dengan tingkat efektif dan efisiensi,” tutur Dadang Hilman dari SNAPFI Team Climate Change Center ITB.

Dadang menambahkan, sebuah sinergi akan berdampak positif apabila saling menguatkan misalnya melalui pembangkit listrik tenaga angin dan reforestasi. Sebaliknya aksi yang saling melemahkan akan membuat sinergi negatif seperti overgrazing, deforestasi, dan kemacetan lalu lintas. Sinergi akan meminimalkan peluang konflik dan justru memberikan interaksi timbal balik secara ekologis.

“Secara umum di Indonesia, sinergi belum secara eksplisit dinyatakan dalam instrumen regulasi, namun dalam praktiknya sudah ada namun hanya dapat dipahami sebagai peluang adaptasi dalam proyek mitigasi dan berlaku sebaliknya. Isu sinergi dalam perubahan iklim ini sudah ada sejak lama, namun belum mendapatkan perhatian memadai dan semoga akan menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan,” tambahnya.

Dadang mengungkapkan, jika dilihat per kasus, misalnya di PROKLIM, tidak ditemukan sinergi yang terencana by design. Belum ada kebijakan secara khusus yang mengarusutamakan rancangan isu sinergi melalui program, sehingga belum memperoleh manfaat meskipun ada peluang dan potensinya.

Terkait hal tersebut, Dadang memberikan rekomendasi agar ada kebijakan eksplisit yang medorong semua komponen menjadi prospektif serta mendorong aktor lain untuk mengaplikasikan sinergi mitigasi adaptasi dalam proposal. Ia pun meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyediakan insentif dalam bentuk kajian mengenai aktifitas yang menjalankan pelaksanaan sinergi untuk memberikan peluang lebih besar

“Selain itu, sektor mitigasi yang potensial untuk sinergi bisa diajukan sebagai sektor tambahan dalam adaptasi untuk implementasi. Kami juga mendorong implementasi sinergi dalam perubahan sosial melalui integrasi PROKLIM. Sektor energi berbasis lahan pun perlu memulai upaya sinergi termasuk mempertimbangkan adaptasi risiko perubahan iklim melalui proyek yang berbasis lahan,” papar Dadang.

Hal tersebut ditanggapi oleh Analis Kebijakan Direkrotat Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Arif Wibowo. Menurutnya, sinergi mitigasi adaptasi secara praktik sudah dilakukan di level komunitas dan masyarakat.

“Ada potensi dari kebijakan tentang bagaimana menyepakati lingkup dari sisi sektor lain untuk menjadi peluang bagi Indonesia untuk membangun upaya joint mitigation adaptation, misalnya dari sektor kesehatan dimana Kementerian Kesehatan saat ini sudah mengikuti pola yang ada,” tutur Arif.

Arif mengungkapkan, dari sisi modalitas, secara detail target sudah tertuang dalam roadmap NDC dengan gambaran visi 2050. Sementara dari sisi regulasi sudah punya mandat melalui RPPLH. Mitigasi dalam KLHK tidak secara eksplisit dalam lingkungan, namun indikator kerentanan termasuk ke dalam kebijakan KLHK.

“Tantangannya ada pada masalah ownership dan komitmen yang tidak akan berjalan tanpa leadership. Literasi juga penting bagi pengambil keputusan. Apalagi saat ini jumlah pakar sudah banyak sekali, sehingga perlu dukungan dari level tertinggi mengenai operasionalnya tentang bagaimana integrasi antara kebijakan dengan program. Tantangan di konteks mainstream adalah memperkuat perencanaan keuangan,” kata Arif.

Mitigasi dan Adaptasi

Dalam diskusi tersebut, Vice President for Climate Change and Safeguard PT PLN Kamia Handayani melihat saat ini sudah banyak perhatian ke mitigasi, padahal faktor risiko fisik dari perubahan iklim adalah salah satu yang juga harus jadi perhatian, seperti pemodelan sistem ketenagalistrikan yang mempertimbangan aspek tahan atas dampak perubahan iklim. 

“Harus ada perhatian yang seimbang karena perubahan iklim tidak hanya mitigasi, tetapi juga adaptasi. Dalam konteks sektor energi, sektor listrik rentan terhadap perubahan iklim. Di Amerika Serikat, cuaca ekstrem memegang peranan sebesar 44 persen terhadap blackout, sedangkan di Eropa 37 persen. Dampak perubahan iklim ke pasokan listrik cukup besar. Indonesia juga sangat rentan karena beberapa hal seperti kapasitas, kemampuan adaptasi, dan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim,” paparnya.

Kamia menambahkan, dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap supply chain. Seperti hujan deras, angin kencang, ombak laut itnggi, gelombang panas, kekeringan, kilat dan petir, udara hangat, air yang menghangat, dan tinggi muka air laut. 

“Salah satunya menyebabkan proses pengantaran batubara ke pembangkit menjadi terkendala. Selain itu, kapasistas pembangkit diturunkan karena terhalang hujan. Saat banjir pun otomatis akan dimatikan listriknya. Perlu kuantifikasi mengenai apa saja dampaknya. Misalnya peningkatan temperatur air laut karena akan membutuhkan cooling water di PLTU. Semakin tinggi temperatrur, semakin rendah efisensi,” ujar Kamia

Ia mengungkapkan, Indonesia adalah negara yang pertumbuhan penggunaan listriknya di level 1,3 MW/jam/kapita/tahun karena masih ada daerah yang belum kena listrik. Masih jauh dari negara maju yang sebesar 3 MW/jam/kapita/tahun. Di sisi lain, Indonesia juga ingin melakukan mitigasi. 

“Untuk itu kami menawarkan tiga skenario yang bisa dilakukan, yakni  tidak ada upaya apapun, melakukan mitigasi saja dengan membuat sisem kelistrikan ke depan yang dapat memenuhi target Penjanjian Paris, atau melakukan  mitigasi dan adaptasi dengan sub skenario RCP 4,5 dan RCP 8,5,” saran Kamia.

Berdasarkan hasil kajiannya bersama tim di Universiteit Twente Belanda, tiga skenario tersebut memiliki masing-masing dampak tersendiri. Misalnya jika  tidak ada upaya apapun, sumber pasokan bahan baku listrik pada tahun 2050 akan mirip kondisi sebelumnya, yakni sekitar 60-70 persen dari batubara, gas sekitar 20 persen, sisanya energi terbarukan. Sementara jika memilih mitigasi saja maka sumber pasokan pada tahun 2050 batu bara tinggal 47 persen, gas 20 persen, sisanya energi terbarukan. Apabila memilih mitigasi dan adaptasi akan lebih banyak permintaan yang perlu dipasok, sehingga kadar emisi akan menjadi lebih naik.

Kamia menambahkan, naiknya temperatur di Indonesia berkorelasi dengan permintaan listrik, misalnya untuk pendingin udara (AC)  atau kipas angin. Secara pembiayaan total, skenario tanpa mitigasi akan lebih murah, sedangkan dengan adaptasi lebih mahal karena ada ekstra kapasitas untuk kompensasi gas yang tetiba hilang.  

“PLN mengikuti arahan prioritas dari Kementerian LHK. Saat ini prioritas Indonesia adalah mitigasi dan adaptasi. Di PLN sendiri sudah ada regulasi internal dari direktur utama yang mencakup tentang bagaimana PLN melakukan kajian kerentanan dan memasukkan aspek perubahan iklim ke perencanaan kerja perusahaan. Apalagi sudah ada hitungan dampak energi yang tidak bisa disalurkan karena kerusakan infrastruktur, misalnya seperti saat badai Seroja,” tukasnya. 

Baca Juga: Peran Pecinta Alam dalam Mengurangi Pemanasan Global
IPB University Dorong Negara Berperan dalam Penurunan Suhu Bumi
Banjir Bandung Selatan di Tengah Ketidaknormalan Musim

Kawasan permukiman Gedebage, Bandung, mengalami banjir cileuncang, 4 Oktober 2022. Kawasan terendah di Cekungan Bandung ini kerap tergenang banjir akibat buruknya drainase dan alih fungsi lahan basah jadi kawasan permukiman. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kawasan permukiman Gedebage, Bandung, mengalami banjir cileuncang, 4 Oktober 2022. Kawasan terendah di Cekungan Bandung ini kerap tergenang banjir akibat buruknya drainase dan alih fungsi lahan basah jadi kawasan permukiman. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Potensi Pendanaan

Associate Policy Analiyst Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan proporsi dominasi isu mitigasi dalam target komitmen nasional untuk pengurangan emisi dan perubahan iklim masih kental jika dibandingkan isu adaptasi. Menurutnya, dari konteks kondisi dan situasi di Indonesia, isu adaptasi dipandang lebih sesuai dibandingkan mitigasi yang cangkupannya lebih global. 

“Perspektif mengenai adaptasi di Indonesia memerlukan dorongan dan sosialisasi mendalam khususnya ke lembaga-lembaga pendanaan yang hingga saat ini masih terdominasi oleh isu mitigasi. Indikator isu mitigasi yang jelas dan telah terstandarisasi secara global membuat lahan komersialiasi menjadi lebih terbuka dibanding isu adaptasi yang berkonteks lokal dan berskala kecil sehingga isu mitigasi agak kurang diprioritaskan,” papar Joko. 

Ia menambahkan, Green Climate Fund (GCF) sebagai salah satu institusi pendanaan internasional terbesar di dunia juga masih dikuasai oleh isu-isu mitigasi. Ketimpangan antara mitigasi dan adaptasi ini tersebut disebabkan belum familiarnya GCF sebagai lembaga pendanaan, tentang isu adaptasi. Rendahnya pemahaman ini dapat menjadi beban sekaligus peluang.

“Akan ada peluang terutama pada slot isu adaptasi yang masih banyak yang artinya proposal adaptasi harusnya lebih mudah diterima oleh GCF dibandingkan proposal mitigasi yang mungkin sudah penuh,” jelasnya.  

Joko berpendapat, solusi mengatasi ketimpangan ini adalah dengan memperbanyak isu cross-cutting yang merupakan hasil penggabungan antara isu mitigasi dan adaptasi. Menurutnya, Kementerian Keuangan juga terus mendorong pengawinan dua isu ini demi mengurangi ambuguitas dan meningkatkan efektivitas program. 

“Namun jika dilihat di lapangan, Indonesia dinilai belum dapat memaksimalkan penyerapan dana untuk perubahan iklim, baik mitigasi maupun adaptasi, terlebih cross-cutting. Ini karena sebenarnya GCF ini sangat fleksibel pembiayaannya dan bisa dipakai untuk kepentingan apapun, selain karena GCF itu sangat suka pada proposal yang bisa memunculkan potensi bisnis berkenjutan dan promote country ownership,” ungkap Joko.  

Director of Fund Collection and Development Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Endah Tri Kurniawati berpendapat jika merujuk pada porsi pendanaan untuk ranah perubahan iklim yang tidak lebih dari 21,3 persen dari APBN, terdapat celah besar dalam pendanaan. Selama ini, ujar Endah, strategi yang dilakukan BPDLH adalah melibatkan dana dari perusahaan swasta untuk menutupi kekurangan pendanaan dari APBN yang terbatas. 

“BPDLH juga tengah mendorong pembingkaian cangkupan dan batasan pendanaan melalui dukungan pencapaian hasil dari peningkatan ketahanan iklim. Ini diwujudkan dalam bentuk program cross-cutting yang mencangkup isu adaptasi dan mitigasi, baik yang berkaitan dengan manajemen ekosistem, energi terbarukan maupun adaptasi perubahan iklim,” jelas Endah.

Sementara itu terkait hal pendanaan dalam sinergi di ranah global, peneliti dari Universitas Cape Town Samantha Keen pun mengaku cukup kesulitan mendapatkan bantuan pembiayaan untuk penelitiannya. Menurutnya, isu adaptasi yang diusulkan tidak mendapatkan banyak perhatian karena skala penelitian yang lebih kecil dibandingkan isu mitigasi. 

“Rendahnya peluang pendanaan karena penyedia dana kurang mempromosikan program mereka. Isu adaptasi berbasis lokal juga membuat banyak penyedia dana, termasuk GCF, enggan untuk menginvestasikan dana mereka. Saya fokus meneliti pemanfaatan biogas untuk penyediaan listrik dan pengembangan sekolah dan ini cukup meragukan bagi GCF karena mereka cenderung menginginkan proyek yang memiliki skala luas sehingga promosi yang mereka lakukan dapat lebih masif,” kata Samantha

Peneliti yang sedang menjalankan penelitian di Afrika Selatan tersebut berharap akan lebih banyak perubahan dalam pendanaan, sehingga bisa mencangkup lebih banyak proyek.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//