Peran Pecinta Alam dalam Mengurangi Pemanasan Global
Pada 2050 diperkirakan 300 juta orang di dunia akan terpapar banjir berulang sebagai dampak dari kenaikan muka air laut akibat dari perubahan iklim.
Penulis Iman Herdiana8 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Perubahan iklim menimbulkan ancaman serius pada kehidupan manusia. Bahkan pada 2050 diperkirakan 300 juta orang di dunia akan terpapar banjir berulang sebagai dampak dari kenaikan muka air laut akibat dari perubahan iklim.
Indonesia sebagai negara yang dikaruniai kekayaan alam berupa laut dan hutan, punya peran besar dalam mengurangi pemanasan global yang memicu perubahan iklim. Salah satu peran penting bisa dilakukan dalam kegiatan pecinta alam, yakni dengan melakukan pendakian netral karbon.
Pada dasarnya, prinsip pendakian netral karbon adalah pendakian yang dilakukan dengan menghitung, mengganti, dan mengurangi emisi karbon selama pendakian.
“Netral karbon adalah upaya kita untuk menghadirkan wadah serapan atas emisi karbon yang sudah kita hasilkan. Senyawa CO2 berlebih di bumi menyebabkan bumi menjadi panas kemudian terjadilah yang biasa kita kenal dengan climate change. Dalam menangani emisi karbon berlebih inilah, kemudian kita mengenal istilah netral karbon,” ujar Dinni Septianingrum, pendiri organisasi peduli lingkungan #SeaSoldier, dalam diskusi panel “Pendakian Netral Karbon: Wujud Kepedulian Alam dan Pariwisata Pasca-Pandemi” di Sekretariat Ikatan Alumni UI, Kampus UI Salemba, Sabtu lalu, dikutip dari laman UI (8/10/2022).
Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber selain Dinni Septianingrum, yakni Andi Pananrang, Community Officer #SayaPilihBumi; Bogar Baskoro selaku Strategic Partnerships Lead Jejak.in; dan Raditya Anggoro, Ketua Pelaksana Baka-Raya Project sekaligus merupakan calon anggota Mapala UI.
Pendakian netral karbon dalam penerapannya meliputi tiga hal, yaitu menghitung, mengganti, dan mengurangi emisi.
“Menghitung karbon merupakan pondasi awal untuk menghadapi pemanasan global. Kita dapat mulai menerapkannya dari kegiatan sehari-hari. Lalu, yang paling penting adalah harus timbul dulu kesadaran diri dari masing-masing bahwa hampir setiap kegiatan yang kita lakukan menghasilkan emisi karbon,” kata Bogar Baskoro.
Sementara itu, penerapan netral karbon tidak hanya dilakukan dalam pendakian, tetapi juga pada kegiatan di alam lainnya seperti yang dikatakan Radit.
“Netral karbon juga bisa diterapkan pada jenis kegiatan di alam lainnya, seperti arung jeram. Hal ini bisa dilakukan sedari perencanaan perjalanan dengan memperhatikan komponen-komponen penghasil emisi karbon yang kemungkinan akan muncul selama berkegiatan,” ujar Raditya Anggoro.
Diskusi panel ini merupakan bagian dari rangkaian Baka-Raya Project, yaitu kegiatan yang diadakan Badan Khusus Pelantikan (BKP) Mapala UI 2022 bagi para calon anggota Mapala UI dan sebagai salah satu bentuk kampanye pariwisata dan pendakian netral karbon.
Sebelumnya, Mapala UI telah berkontribusi memajukan daerah dengan melakukan kampanye pendakian netral karbon; pembukaan jalur baru untuk pendakian Gunung Bukit Raya; serta inisiasi proyek sosial Pojok Literasi di Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya (TNBBBR), Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, pada Agustus lalu.
“Dengan mengusung tema pendakian netral karbon, diharapkan (calon anggota Mapala UI) bisa turut melestarikan lingkungan hidup di tengah krisis iklim global. Semoga gerakan ini bisa memotivasi masyarakat luas untuk lebih peduli lagi terhadap lingkungan alam,” ujar Magkma, Ketua Mapala UI.
Baca Juga: Metode Baru Pengobatan TB Berdasarkan Obat Lama
Melihat yang tak Terlihat, Pencemaran Udara di Bandung Mengkhawatirkan
Geliat Pencegahan Korupsi di Unpar dan IPB
Ancaman Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global semakin nyata. Bencana banjir di mana-mana, air laut mulai naik dan menelan daratan.
Hal itu mengemuka dari Lokakarya Analisis Dampak Iklim dan Metode Penentuan Prioritas Adaptasi di Banjarmasin yang dilakukan tim dari Universitas Indonesia (UI), Institute for Sustainable Futures, University of Technology Sydney (UTS-ISF), bersama Universitas Muhammadiyah Banjarmasin (UMB).
“Lokakarya ini mengangkat isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap sanitasi. Pada tahun 2050, diperkirakan lebih dari 300 juta orang di dunia akan terpapar banjir berulang sebagai dampak dari kenaikan muka air laut akibat dari perubahan iklim. Banjir tersebut akan berdampak terhadap akses layanan sanitasi. Lokakarya ini bertujuan untuk mengimplementasikan kerangka kerja (framework) yang telah dikembangkan oleh tim pengabdi untuk identifikasi risiko akibat kenaikan muka air laut serta rencana adaptasi yang efektif untuk sektor sanitasi,” kata Cindy Rianti Priadi, Ketua Program Studi (Prodi) Teknik Lingkungan FTUI.
Kegiatan ini merupakan bentuk pengabdian masyarakat (pengmas) dari para periset asal Fakultas Teknik UI (FTUI) yang dipimpin Cindy Rianti Priadi, dan UTS-ISF di bawah pimpinan Jeremy Kohlitz (UTS-ISF), serta Tim UMB. Panitia acara mengundang para pengambil keputusan di pemerintahan daerah Banjarmasin, seperti dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) –dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Perumda PAL setempat.
Jeremy Kohlitz menyampaikan topik tentang “Perubahan Iklim, Kenaikan Permukaan Laut, dan Sanitasi”.
“Beberapa contoh dampak kenaikan permukaan laut terhadap sanitasi adalah masuknya air laut/air banjir ke tanki septik, toilet yang tidak bisa disentor (flush), serta masuknya puing-puing akibat banjir ke dalam tanki septik. Tantangan masyarakat adalah bagaimana membangun ketahanan dalam menghadapi perubahan iklim dan sanitasi. Ketahanan diartikan sebagai kapasitas dari sistem untuk terus berfungsi meskipun terpapar bahaya iklim,” kata Kohlitz.
“Sementara dari sisi masyarakat, adaptasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi banjir, yaitu perubahan perilaku, perubahan fisik/lingkungan dan migrasi,” ujar anggota tim pengmas dari UMB, Fitri Wulandari.
Pada hari pertama lokakarya (26-28 Juli 2022) di Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan para peserta melakukan identifikasi rantai layanan sanitasi di Kota Banjarmasin dengan menggunakan shit flow diagram (SFD). Peserta kemudian mendiskusikan alur rantai layanan sanitasi di Banjarmasin yang masih belum aman dan juga mengidentifikasi komponen apa saja yang perlu diperhatikan. Peserta lalu memetakan hotspot zona risiko tinggi terhadap sanitasi di Banjarmasin.
FGD hari kedua dibuka dengan pemaparan dampak perubahan iklim terhadap sistem sanitasi. Dr. Cindy memimpin peserta untuk menganalisis status dari sistem sanitasi yang terkena bencana banjir, dampak dari sistem sanitasi yang terkena banjir terhadap kesehatan, kenyamanan, dan kerugian finansial, serta sebab dan akar masalah dari sistem sanitasi yang terdampak banjir.
Tim kemudian menyampaikan materi terkait dengan beberapa desain teknologi sanitasi dan bagaimana penglolaannya agar teknologi sanitasi dapat tahan terhadap bahaya, terutama bahaya banjir. Peserta kemudian diminta untuk mengevaluasi tingkat ketahanan teknologi sanitasi yang sudah diterapkan di Banjarmasin terhadap perubahan iklim.
Jeremy juga memaparkan 52 opsi adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim. Peserta kemudian diminta untuk memilih beberapa opsi adaptasi yang efektif dan sesuai dengan kondisi Kota Banjarmasin.
Dari hasil pengerucutan jumlah opsi adaptasi ini, di hari ketiga, Cindy memimpin peserta untuk mengidentifikasi rencana aksi yang konkrit guna mencapai opsi adaptasi yang telah ditentukan.
Asisten Walikota Kota Banjarmasin, Doyo Pudjadi sangat mengapresiasi hal yang dilakukan UI dan para mitranya.
“Semoga dengan adanya kegiatan ini, para perangkat daerah di Kota Banjarmasin dapat memahami bahaya iklim terhadap sanitasi. Peserta juga diharapkan dapat bersungguh-sungguh mengimplementasikan rencana aksi yang telah dibuat pada lokakarya ini sehingga sanitasi kota kita menjadi lebih baik kedepannya,” kata Doyo.
Sementara itu, Dekan FTUI, Heri Hermansyah, mengatakan program studi Teknik Lingkungan FTUI telah menjalin kemitraan dengan universitas mitra baik dari dalam maupun luar negeri yang mendukung agenda pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan kebersihan di seluruh negeri.
Kemitraan ini mencakup penelitian tentang sanitasi perkotaan yang tahan perubahan iklim dan kualitas air minum. Kedua studi tersebut telah menghasilkan bukti yang jelas untuk advokasi dan rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti, yang sangat dihargai oleh Pemerintah Indonesia.
“Semoga opsi adaptasi yang dihasilkan dari lokakarya ini dapat segera diimplementasikan di kota Banjarmasin dan menjadi percontohan kota-kota lain di Indonesia,” katanya.