• Kampus
  • Metode Baru Pengobatan TB Berdasarkan Obat Lama

Metode Baru Pengobatan TB Berdasarkan Obat Lama

Penderita TBC di dunia diperkirakan mencapai 845.000 orang, setara dengan 11 kematian per jam. Indonesia selalu masuk ke dalam 5 besar dunia penyakit TBC.

Rovina Ruslami, peneliti pengobatan TBC dari Fakultas Kedokteran Unpad. Hasil penelitian Roviana berpotensi mengubah panduan pengobatan TBC di dunia. (Foto: Dadan Triawan/Humas Unpad)*

Penulis Iman Herdiana1 Oktober 2022


BandungBergerak.idIndonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki beban berat Tuberkulosis (TBC atau TB). Diperkiraan jumlah penderitanya mencapai 845.000 orang dan angka kematian setara dengan 11 kematian per jam (berdasarkan WHO Global TB Report tahun 2020).

Dikutip dari laman Universitas Indonesia (UI), Sabtu (1/10/2022), data tersebut tentu membawa dampak cukup serius bagi penderita TBC, juga keluarga dan orang di sekitarnya. Laman Unpad merilis, penelitian mengenai pengobatan TB, khususnya farmakologi, pada populasi Indonesia masih jarang dilakukan.

Padahal Indonesia termasuk negara dengan jumlah orang yang sakit TB-nya tinggi. Indonesia selalu masuk ke dalam 5 besar dunia, saat ini merupakan negara ke-3 dengan beban TB terbesar sesudah India dan Cina.

TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis, penularannya dapat melalui percikan ludah atau dahak yang dikeluarkan ketika penderita TBC batuk atau bersin. Sampai saat ini, TBC masih membutuhkan penanganan serius yang perlu dilakukan bersama guna mengendalikan penyebarannya.

Suatu penelitian terhadap TBC dilakukan Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad, Rovina Ruslami. Ia meneliti pengobatan terhadap penyakit yang menyerang paru ini sejak 20 tahun lalu. Hasil risetnya dimulai saat menempuh studi doktoral di Radboud University Medical Center, Nijmegen, Belanda.

Rovina mengeksplorasi upaya optimalisasi pengobatan TB  dengan menggunakan rifampisin dosis tinggi. Obat-obat TB sudah ada sejak 1960-70-an, pengobatannya juga sudah ada sejak 1985. Tetapi (risetnya) hampir tidak ada pembaruan, padahal pengobatan TB masih memiliki masalah.

“Pengobatan TB itu kompleks, lama, banyak obat yang harus diminum pasien, dan masih saja ada yang tidak sembuh atau bahkan meninggal akibat TB, sehingga perlu dipikirkan upaya untuk optimalisasi pengobatan TB, misalnya pengobatannya tidak usah lama-lama, lebih singkat, dengan obat yang sama potennya, tapi sekaligus juga aman buat pasien,” ujar Rovina Ruslami, dikutip dari laman Unpad, Sabtu (1/10/2022). 

Alih-alih mencari obat baru, Rovina mencoba memaksimalkan penggunaan salah satu obat TB yang sudah ada sejak 50 tahun lalu, yang bernama rifampisin, yang merupakan obat utama dalam pengobatan TB. Pasalnya, penelitian mengenai pencarian obat baru memerlukan waktu belasan tahun dan dana yang tidak sedikit. Sementara, kebutuhan akan optimalisasi pengobatan TB tidak bisa menunggu lama.

Dengan memahami sifat-sifat rifampisin sebagai obat TB, penggunaannya dapat dioptimalkan (melalui modifikasi pemberian: dosis atau cara pemberian). Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa dengan meningkatkan dosis rifampisin 1/3 dari dosis biasa, mampu meningkatkan kadar obat dalam tubuh pasien sampai 3x, dengan profil keamanan yang sama dengan dosis yang biasa.

Rovina pada 2009 juga meneliti TB Meningitis atau TB yang menyerang selaput pembungkus otak. Penelitian TB Meningitis masih sangat minim. Padahal penyakit ini sangat mematikan dan jika pasien selamat akan hidup dengan kecacatan.

Hasil penelitiannya menyatakan bahwa penambahan dosis rifampisin sebanyak sepertiga dari dosis biasa dan diberikan secara injeksi ternyata dapat meningkatkan kesempatan pasien TB meningitis untuk sembuh sebanyak 50 persen dibandingkan pasien yang mendapatkan pengobatan dengan rifampisin dengan dosis biasa/standar.

Dengan kata lain, tingkat kematian pasien yang mendapatkan obat dosis tinggi secara injeksi setengah lebih rendah dibandingkan pasien dengan dosis biasa, sedangkan profil keamanan tidak berbeda dengan dosis biasa.

Metode injeksi dipilih agar kadar obat dapat lebih efektif masuk ke dalam tubuh. Prof. Rovina menjelaskan, pasien TB Meningitis mengalami sakit berat dan sering susah menelan obat. Penyerapan tubuh juga biasanya terganggu. Kondisi ini menyebabkan kadar obat dalam darah menjadi lebih rendah. Metode injeksi berupa menyuntikkan obat ke dalam pembuluh darah akan membuat obat masuk seluruhnya ke dalam tubuh sehingga kadarnya diharapkan akan lebih tinggi dan efeknya lebih baik pula.

Hasil penelitian Rovina kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi “Lancet Infectious Disease” pada 2013. Publikasi ilmiah ini berhasil membuka cakrawala baru dalam pengobatan berbagai bentuk TB, baik TB paru, TB meningitis, ataupun infeksi laten TB. Bahkan, hasil riset tim peneliti ini juga menjadi acuan bagi penelitian lainnya yang dilakukan di berbagai negara. 

“Saat ini, tidak ada satu pun dari penelitian (pengobatan TB) di dunia yang tidak menggunakan rifampisin dosis tinggi, dalam upaya optimalisasi pengobatan TB,” ujarnya.

Peneliti di berbagai negara telah menggunakan hasil riset Prof. Rovina dan tim sebagai dasar untuk melakukan riset lanjutan. Hal ini untuk menjawab apakah pemberian rifampisin dosis tinggi dapat mengoptimalkan pengobatan TB, tidak hanya TB Meningitis pada orang dewasa di Indonesia, tapi buat TB lainnya, pada pasien anak-anak juga, dan untuk seluruh pasien TB di dunia (global).

Berpeluang Mengubah Panduan WHO

Saat ini, rifampisin dosis tinggi untuk TB Meningitis sedang menjalani tahap pengujian terakhir, yang dilakukan dalam uji klinik fase 3, yang melibatkan beberapa institusi dan pasien dari berbagai negara/benua (Afrika Selatan, Uganda dan Indonesia) dengan melibatkan sekitar 500 pasien TB Meningitis dewasa. Uji klinis ini sudah berlangsung selama 2 tahun, dan diharapkan dapat selesai dalam 2-3 tahun ke depan.

“Riset kami dilakukan pada pasien TB meningitis dewasa, hanya pada pasien dari Indonesia dan kebanyakan orang Sunda. Apa yang ditemukan pada pasien dari Indonesia bisa jadi berbeda jika dilakukan terhadap pasien dari ras lain, atau pada anak-anak, misalnya. Tubuh kita ada gen yang berbeda dengan orang lainnya. Hal ini menjadi alasan orang di luar sana untuk mencobakan rifampisin dosis tinggi ke populasinya,” jelas Rovina Ruslami.

Jika hasil riset ini berhasil memperlihatkan manfaat yang jelas, harapannya adalah perbaikan panduan pengobatan TB Meningitis WHO yang akan menjadikan dasar pengobatan TB Meningitis di seluruh dunia. Tujuan melakukan riset selain untuk ilmu itu sendiri, adalah juga untuk kemaslahatan, untuk pasien (memperbaiki luaran pengobatan).

Kendati belum resmi ditetapkan dalam panduan WHO, hasil riset Rovina dan tim telah diaplikasikan dengan hati-hati untuk pengobatan TB Meningitis oleh para klinis yang mengobati pasien TB Meningitis (di Indonesia maupun di negara-negara lain) sambil menunggu hasil uji klinik yang lebih besar.

Baca Juga: Covid-19 Diprediksi Menjadi Penyakit Endemik seperti Malaria
Selain Covid-19, Ada Beberapa Penyakit yang Harus Diwaspadai selama Musim Hujan
DATA BICARA: Mewaspadai Hipertensi sebagai Penyakit Penyerta atau Komorbid Covid-19 Paling Mematikan

Aplikasi STOP TB untuk Perawat

Pengendalian TBC di masyarakat amat tergantung pada peran tenaga kesehatan. Perawat memiliki peran preventif, kuratif, dan promotif dalam menangani kasus TBC. Untuk penanganannya, perlu dideteksi sejak dini agar bisa segera dilakukan secara akurat. Perawat juga dapat menjadi edukator guna meningkatkan kemampuan kognitif masyarakat, sehingga mereka mampu meningkatkan derajat kesehatannya.

Terpicu dari latar belakang tersebut, mahasiswa Spesialis Keperawatan Komunitas Fakutas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI), Syamikar Baridwan Syamsir, menciptakan Aplikasi Web “Menu STOP TB”. Aplikasi ini dikembangkan sebagai upaya untuk mengendalikan penyebaran TBC di masyarakat melalui upaya pendidikan kesehatan berbasis teknologi, penemuan kasus TBC, pengobatan TBC secara tepat dan cepat, serta mempertahankan pengobatan sampai sembuh.

Fitur yang ada di dalamnya antara lain adalah Edukasi Kesehatan TB, Menu Screening TB, dan Hot Line Konsultasi TB. Aplikasi ini diharapkan dapat menjadi inovasi yang membantu peningkatan kualitas kesehatan di Indonesia.

Aplikasi STOP TB mulai diperkenalkan dan disosialisasikan kepada masyarakat melalui kegiatan pengabdian masyarakat (pengmas), seperti yang dilakukan oleh Tim Pengmas Departemen Keperawatan Komunitas FIK UI diketuai oleh Agus Setiawan (Dekan FIK UI), yang melibatkan beberapa mahasiswa spesialis komunitas dan magister keperawatan, pada pengmas berjudul “Peningkatan Kapasitas Kader melalui Pemanfaatan Teknologi Digital “Aplikasi Menu STOP TB” dalam Meningkatkan Penemuan Kasus Tuberkulosis di Puskesmas Pacar, Kab. Manggarai Barat, NTT”, dikutip dari laman UI

Kegiatan yang dilaksanakan pada pertengahan bulan lalu di Aula Puskesmas Pacar bertujuan untuk meningkatkan literasi teknologi dan melatih para kader untuk bisa melakukan pencegahan TBC dengan memanfaatkan teknologi.

Selain itu, ada sesi curah pendapat untuk mendengarkan tantangan yang dihadapi oleh kader kesehatan dan tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan program TBC di komunitas; edukasi mengenai konsep dasar TB serta pencegahan dan pengobatannya, stigma dan diskriminasi yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan program TB di komunitas; serta pentingnya investigasi kontak pada kasus TB.

Selanjutnya, Tim Pengabdi FIK UI juga mendemonstrasikan penggunaan Aplikasi Web TB berbasis web “Menu STOP TB” untuk membantu dan memudahkan kader dan tokoh masyarakat dalam mengidentifikasi masyarakat terduga TBC. Pemanfaatan teknologi dalam mencegah TB sangat dibutuhkan di era saat ini.

Desa Pacar dipilih sebagai tempat pengabdian karena Puskesmas Pacar merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Manggarai Barat yang sudah memiliki alat pemeriksaan tes cepat molekuler (tcm) yang dijadikan standar pemeriksaan diagnostic TBC.

Kegiatan ini melibatkan 30 peserta dari berbagai elemen atau tokoh kunci yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pacar, yakni kader kesehatan, tim penggerak PKK, kepala desa, dan tokoh masyarakat.

“Para peserta kegiatan pengmas sangat antusias mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh FIK UI. Harapannya, kegiatan ini tidak berakhir sampai disini tetapi akan terus berlanjut dan sinergitas antara FIK UI dan Kabupaten Manggarai Barat tetap terjaga. Edukasi dan pelatihan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan meningkatkan pemahaman dan keterampilan kader dan tokoh masyarakat secara kognitif dan psikomotor untuk mengoptimalisasi pencegahan penularan TBC dan juga meningkatkan angka penemuan kasus  di Desa Pacar,” ujar Agus Setiawan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//