• Kampus
  • Covid-19 Diprediksi Menjadi Penyakit Endemik seperti Malaria

Covid-19 Diprediksi Menjadi Penyakit Endemik seperti Malaria

Agar Covid-19 tak menjadi endemik, diperlukan disiplin yang ketat menggunakan protokol kesehatan. Orang yang sudah divaksin pun perlu tetap memakai prokes.

Vaksinasi Covid-19 untuk guru di Bandung, Rabu (14/4/2021). Di balik program vaksinasi Covid-19, ada petugas medis yang membutuhkan bantuan dari relawan. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana24 Mei 2021


BandungBergerak.idPandemi Covid-19 di dunia memasuki tahun kedua. Hingga kini, belum ada tanda-tanda berakirnya pagebluk yang dimulai di Kota Wuhan, China, akhir 2019. Meski sudah ada beberapa negara yang berhasil meminimalkan kasus baru, namun di sebagian negara lain masih terjadi lonjakan signifikan.

Pakar statistika Universitas Gadjah Mada (UGM), Dedi Rosadi, mengatakan apabila Covid-19 tidak bisa dikendalikan maka akan sulit mengharapkan pandemi berakhir dalam waktu dekat. Bahkan Covid-19 potensial menjadi endemik global atau endemik di wilayah tertentu. Dalam istilah epidemologi penyakit menular, penyakit endemik muncul dan selalu ada di wilayah tertentu, namun dalam jumlah rendah. Contoh penyakit endemi adalah malaria di Papua.

Guru Besar ilmu statistika tersebut menuturkan, dari data statistik pengendalian kasus baru di tingkat global, ternyata metode pengendalian non-obat terbukti efektif dalam meminimalkan munculnya kasus baru Covid-19.

Beberapa negara yang berhasil menekan kasus baru tersebut adalah China, Australia dan Selandia Baru. Namun begitu, pengendalian lewat vaksin dan obat secara global tetap saja terus digalakan di tengah belum disiplinnya masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan.

Di sisi lain, dunia juga menghadapi kenyataan masih terbatasnya jumlah vaksin dan obat, serta adanya mutasi virus. “Sampai saat ini memang secara global fokus masih di pengendalian non-obat,” kata Dedi Rosadi, dikutip dari laman resmi UGM, Sabtu (22/5/2021).

Kata Rosadi, efektivitas pengendalian non-obat yang terdiri dari memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan lain-lain, memang beragam. Pengendalian non-obat terbukti efektif untuk di beberapa negara, namun belum tentu efektif di negara lain karena berbagai faktor seperti ketegasan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat dalam menjaga kesehatan.

Baca Juga: Vaksinasi Covid-19 Bandung Raya: SPSI Jabar Apresiasi Vaksin Gotong Royong Selama Tak Dibebankan kepada Buruh
Sekolah Tatap Muka di Bandung di Tengah Kekhawatiran Penularan Covid-19

Di samping itu, serangan pagebluk terus bergelombang. Di beberapa negara terjadi gelombang kedua dan ketiga, di negara lainnya bahkan terjadi multi-gelombang. Menurutnya, Indonesia masih berada di gelombang pertama bersama Maroko, Paraguay, Uruguay, dan lain-lain.

Jika pendekatan non-obat diterapkan secara global, Rosadi yakin penularan Covid-19 bisa mencegah untuk menjadi endemi. “Saya yakin ini akan sangat sulit sehingga endemik wilayah atau global sangat mungkin akan terjadi. Tapi kalau ini (protokol kesehatan) bisa dilakukan efektif secara global, kejadian endemik tidak akan terjadi,” katanya.

Tantangannya saat ini bagaimana agar pengendalian non-obat bisa selaras dengan vaksinasi dan pengobatan. Hanya saja, vaksin yang ada saat ini masih memerlukan pengujian efektivitasnya. Sedangkan teknik pengobatan pun masih terus dimutakhirkan. Terlebih saat ini muncul virus corona varian baru yang juga harus menjadi perhatian.

"Apabila non-obat, vaksinasi dan pengobatan bisa berjalan efektif dalam waktu dekat, masih sangat mungkin endemik bisa dihindarkan dan pandemi bisa berakhir dalam waktu dekat," katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//