Petani Kopi Gagal Panen karena Terdampak Perubahan Iklim

Krisis iklim akibat pemanasan global berdampak semakin nyata. Bukan hanya petani kopi, para petani pangan secara umum kini dalam ancaman serius gagal panen.

Pameran foto Chasing The Shadow yang digelar Greenpeace Indonesia di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Sabtu (22/10/2022). Pameran ini hasil dari perjalanan sepeda ke lokasi-lokasi terdampak pemanasan global, mulai dari Marunda-Jakarta, Muara Gembong-Bekasi, dan berakhir di Bandung. (Foto Repro: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 Oktober 2022


BandungBergerak.idJangan salahkan petani kopi kalau suatu waktu rasa kopi menjadi kurang enak. Atau bahkan harga kopi melambung tinggi karena jumlahnya yang sangat terbatas seperti minyak bumi. 

Pertanian kopi kini menjadi salah satu sektor yang terdampak langsung oleh perubahan iklim akibat pemanasan global. Hujan yang terus-terusan mengguyur membuat bunga-bunga kopi rontok dan tidak menghasilkan buah. Peristiwa ini dialami salah seorang petani kopi, Farida Dwi. 

Inisiator Lady Farmer Coffee Roastery dari komunitas di Banjarnegara, Jawa Tengah, itu sudah empat tahun belakangang ini tidak mengalami panen raya kopi arabika karena musim yang tidak lagi bersahabat. 

Hujan ekstrem kerap mengguyur Banjarnegara. Dan ini tidak baik bagi perkebunan kopi. 

Farida awalnya asing dengan isu perubahan iklim. Apalagi ia mengelola lahan pertanian kopi secara turun-temurun. Tetapi belakangan rupanya perubahan iklim nyata adanya. Panen kopinya terus menurut setiap tahunnya. 

“Awalnya ga percaya sama krisis iklim. Hasil panen yang sedikit kami kira karena kurangnya perawatan,” kata Farida, pada acara “Media Briefing dan Diskusi Krisis Iklim di Meja Makanmu” – bagian dari Chasing The Shadow yang digelar Greenpeace di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Sabtu (22/10/2022).

Farida merasakan hasil panen kopinya mulai menurun sejak 2019. Perawatan dan pemupukan terus dilakukan. Pada 2020, hasil panen kopi kembali menurun. Ia sampai melakukan pemupukan sebanyak 4 kali, tetapi hasil panen 2021 dan 2022 kembali terjun. 

Penyebabnya tidak lain karena curah hujan di Banjarnegara tiap tahunnya semakin tinggi. Aktivis Greenpeace kemudian memberitahu Farida krisis iklim berdampak buruk pada pertanian kopi. 

“Krisis iklim memang nyata. Penurunan produksi tahun 2021 semakin menurun. Dan tahun ini kalau gagal panen ya memang gagal panen. Harga kopi lagi mahal sekarang karena stoknya tidak tersedia,” kata Farida.

Menurut Farida, hujan yang terus-menerus membuat hasil panennya menyusut sampai 60 persen. Kualitas buah kopi pun menurun.

Sebelum 2019, Farida biasa mendapatkan hasil kopi dari panen raya antara 20 ton hingga 25 ton. Tahun ini bisa panen 1 ton saja sudah Alhamdulillah, itu pun setelah disortir hasilnya hanya 50 persen saja buah kopi yang layak. Sisanya, 50 persen lagi, rusak atau tidak layak. 

“Panen raya biasanya Juni Juli. Sekarang sama sekali tidak ada panen raya,” keluh Farida.

Krisis Iklim, Krisis Pangan 

Kopi yang dewasa ini menjadi ikon bagi pergaulan generasi muda perkotaan, sudah mengalami langsung dampak dari krisis iklim. Laporan Stockholm Environment Institute mencatat, kopi arabica berpotensi mengalami penurunan produktivitas hingga 45 persen akibat suhu yang kian menghangat. 

“Kalau rasa kopi dalam cangkirmu sudah berbeda, jangan salahkan petani, hujan, dan alam semesta. Salahkan diri kita sendiri di kehidupan sebelumnya. Manusia itu akan menuai apa yang ditanam,” ujar Farida. 

Selain kopi, pangan secara umum juga sudah terdampak krisis iklim. BMKG telah memperingatkan bahwa meningkatnya jumlah bencana hidrometeorologi yang diperparah oleh krisis iklim, seperti banjir, kekeringan, curah hujan ekstrem, longsor, siklon tropis, dan kejadian ekstrem lainnya, akan semakin mengancam ketahanan pangan di berbagai wilayah Indonesia. 

Berbagai fenomena cuaca ekstrem ini akan mengganggu kegiatan pertanian dan perikanan, bahkan mengancam produktivitas hasil panen dan tangkap ikan. 

Berdasarkan penelitian dari Journal of Agricultural Meteorology, produktivitas tanaman padi Ciherang – salah satu jenis padi mayoritas yang ditanam di Indonesia – akan menurun hingga 30 persen dalam 20 tahun mendatang dibandingkan dengan panen 1998-2002.  

Dampak dari krisis iklim sudah banyak ditemukan di Indonesia, seperti yang berhasil dipotret oleh tim pesepeda bertajuk Chasing The Shadow yang diwakili pesepeda Rafii Fuji Berkah alias Acil.

Dengan sepeda, Acil memulai perjalanan di Marunda, Jakarta Utara, salah satu daerah yang memiliki PLTU batubara. Batubara merupakan salah satu sumber energi terkotor yang mencemari lingkungan, termasuk mengirimkan karbon ke angkasa dan merusak lapisan ozon sehingga terjadi pemanasan global. 

Pertama kali masuk ke daerah Marunda, Acil langsung menghirup udara yang menyesakkan dada karena bau batubara. Banyak warga yang menderita penyakit sesak.

Untuk menyaring udara agar tidak langsung masuk rumah, ada warga yang berinisiatif memasang jaring. Jaring ini sekarang sudah ditempeli debu hitam batubara. 

“Debu di jaring si rumah itu tebal banget. Kebayang ga sih. Itu yang terjadi di daerah kita,” cerita Acil. 

Acil juga menemukan anak-anak yang menderita penyakit mata. Si anak biasa mengucek matanya yang gatal karena polusi batubara sampai matanya rusak.

Dari Marunda, Acil melanjutkan perjalanan bersepedanya ke Muara Gembong, Bekasi. Di sini air laut sudah naik ke daratan. 

Warga Muara Gembong juga kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk memperoleh air bersih, mereka harus membelinya. Padahal dahulu leluhur mereka mendapatkan air bersih cuma-cuma dan mudah. 

“Saya jadi tahu mengapa Bekasi disebut planet lain,” katanya.

Bekasi dekat dengan Jakarta. Namun dampak krisis iklim sudah terjadi sejak 2008. Banyak daerah pantai dan hutan mangrove yang mengalami betonisasi. Tidak ada lagi vegetasi di pinggir pantai kecuali tembok-tembok.

“Pada akhirnya pembangunan yang terlalu egois menghasilkan tanah cepat turun. Pemerintah hadir atau tidak?” katanya.

Dulu Muara Gembong dikenal sebagai kampung nelayan dengan penghasilan cukup menggiurkan. Daerah ini sempat disebut kampung dolar karena hasil lautnya yang melimpah.

Namun hari ini, para nelayan kesulitan mendapatkan ikan. Laut lebih sering pasang dan tak lagi bersahabat pada nelayan.

Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, Hardian Eko Nurseto, pernah melakukan riset di Muara Gembong pada 2017. Kondisi waktu itu permukaan air laut sudah mulai naik ke daratan. Banyak fasilitas publik yang terendam air laut mulai dari masjid hingga sekolah. 

Dalam risetnya, Hardian Eko Nurseto mewawancarai tiga profesi yang hidup di Muara Gembong, yakni nelayan, pengepul kepiting, dan pedagang dodol. Nelayan dan pengepul kepiting jelas terdampak naiknya air laut ini. Mereka terus merugi karena hasil tangkapan terus menyusut.

Begitu juga pedagang dodol yang hidup dari hasil vegetasi laut. Si penjual dodol membuat dodol dari buah bidara. Sekarang pohon bidara di Bekasi banyak ditebang dan musnah.

Peneliti yang akrab disapa Seto itu menekankan bahwa krisis iklim mempengaruhi budaya manusia. Banyak ritual-ritual kebudayaan yang menggunakan pangan sebagai bahan ritual. Jika pangannya tidak ada, ia bertanya-tanya akankah ritual tersebut tetap berlangsung?

Baca Juga: Menyoal Perubahan Iklim Melalui Film Dokumenter di Saat Hawa Bandung tidak Sejuk lagi
Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Penyebab Bandung semakin Hareudang

Pameran foto Chasing The Shadow yang digelar Greenpeace Indonesia di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Sabtu (22/10/2022). Pameran ini hasil dari perjalanan sepeda ke lokasi-lokasi terdampak pemanasan global, mulai dari Marunda-Jakarta, Muara Gembong-Bekasi, dan berakhir di Bandung. (Foto Repro: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)
Pameran foto Chasing The Shadow yang digelar Greenpeace Indonesia di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Sabtu (22/10/2022). Pameran ini hasil dari perjalanan sepeda ke lokasi-lokasi terdampak pemanasan global, mulai dari Marunda-Jakarta, Muara Gembong-Bekasi, dan berakhir di Bandung. (Foto Repro: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

PLTU Batubara

Hasil perjalanan bersepeda Chasing The Shadow kemudian dipamerkan dalam pameran foto di Selasar Sunaryo Art Space, akhir pekan kemarin. Foto banjir, naiknya air laut yang merendam masjid dan sekolah dasar, PLTU batubara, sampah plastik, menjadi beberapa temuan Acil dan timnya untuk menggugah pentingnya menekan pemanasan global, salah satunya dengan menghentikan operasi PLTU batubara.

Greenpeace Indonesia juga mendorong agar Indonesia melakukan aksi iklim nyata dan ambisius terutama pada sektor energi untuk mengurangi dampak krisis iklim. Panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan perubahan iklim dari seluruh dunia (IPCC) menegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80 persen PLTU batubara pada 2030, dan meninggalkan batubara secara total di tahun 2040, jika tidak ingin terjebak dalam krisis iklim.

Negara-negara di seluruh dunia harus segera meninggalkan energi fosil dan melakukan transisi energi untuk menekan laju perubahan iklim. Sayangnya, di saat tren global melakukan transisi energi secara masif, Indonesia masih tak bisa lepas dari ketergantungan terhadap batubara.

Transisi energi yang dilakukan juga masih setengah hati dengan tetap membangun 13,8 GW PLTU batubara baru, yang sebagian besar akan dibangun di Pulau Jawa, termasuk Jawa Barat.

Di sisi lain, keberadaan PLTU batubara juga menyumbang polusi udara tinggi dan banyak kerusakan lingkungan lainnya, khususnya bagi ekosistem pesisir pantai. Dominasi batubara menunjukkan bahwa relasi kekuasaan dan pebisnis telah berkelindan, serta menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang hanya menguntungkan sekelompok elite.

Adila Isfandiari, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, krisis iklim bukanlah proyeksi di masa depan karena sudah terjadi saat ini dan kita semua sudah merasakan dampaknya, bahkan telah mengancam sejumlah bahan pangan kita.

“Tidak ada satu pun wilayah di dunia yang bisa lolos dari ancaman krisis iklim, termasuk Indonesia. Pilihan-pilihan kita akan gaya hidup, jenis energi yang kita gunakan, dan juga sistem ekonomi telah membawa dampak kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Aksi individu penting untuk dilakukan. Namun, itu tidak cukup untuk mengatasi situasi krisis iklim saat ini. Diperlukan perubahan skala besar yang harus dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dibuat,” ucap Adila.

Indonesia memiliki potensi energi bersih dan terbarukan seperti surya, angin, dan air yang melimpah dan biayanya semakin bersaing dengan energi fosil.

“Pemerintah harus segera melakukan aksi iklim nyata dan serius. Tak ada alasan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak mempercepat transisi energi yang berkeadilan sebagai solusi untuk keluar dari krisis iklim,” tutupnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//