PLTU Tanjung Jati A Cirebon, Bukti Pemerintah Tidak Serius dalam Mengurangi Emisi CO2
Pembangunan PLTU Tanjung Jati A bertentangan dengan konferensi iklim di Glasgow (COP 26) di mana Indonesia berkomitmen tidak membangun pembangkit batubara.
Penulis Reza Khoerul Iman15 September 2022
BandungBergerak.id - Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan sektor energi lainnya telah menjadi penyumbang emisi karbon dioksida (zat pencemar lingkungan CO2) terbesar di Indonesia. Studi International Energy Agency (IEA) memaparkan, peningkatan emisi CO2 terbesar pada 2021, salah satunya terjadi di sektor kelistrikan yang didominasi dari sumber energi kotor batubara.
Hal tersebut apabila tidak segera diatasi, tentunya akan berdampak buruk pada kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia. Dalam menangani hal ini, pemerintah Indonesia menyebut telah melakukan berbagai kebijakan dan aksi iklim yang mengarah pada peningkatan emisi. Bahkan dalam Pakta Iklim Glasgow (COP 26), negara-negara anggota, termasuk Indonesia, menyatakan berkomitmen untuk berhenti membangun pembangkit batubara.
Namun pada kenyataannya, aksi dan target pemerintah Indonesia bertolak belakang dan dinilai masih kurang selaras dengan COP 26, bahkan terkesan tidak serius dalam menangani peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal ini salah satunya ditandai dengan ngototnya pemerintah yang masih memasukkan rencana PLTU batubara, salah satunya PLTU Tanjung Jati A, Cirebon.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Meiki W Paendong, menilai dengan belum dicabutnya izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A berarti pemerintah masih belum memiliki niat serius dalam mengurangi emisi CO2.
"Kami sangat mendesak dan mendorong bahwasanya proyek pembangunan PLTU Tanjung Jati A di Kabupaten Cirebon ini harus dibatalkan. Ya, salah satunya dengan cara mencabut izin lingkungan proyek tersebut karena dengan belum dicabutnya izin lingkungan tersebut, artinya sama saja pemerintah masih belum memiliki niat serius dalam mengurangi emisi," tutur Meiki, dalam konferensi pers yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat terkait mengapa PLTU Tanjung Jati A harus dibatalkan, Kamis (15/9/2022).
Penerbitan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A yang diterbitkan pada tahun 2016, diketahui bertentangan dengan aturan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DPRD Jawa Barat, sebagaimana yang tercantum di dalam Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat nomor 1 tahun 2012.
Kuasa hukum penggugat, Muit Pelu, menjelaskan bahwa dengan tidak melaksanakan kewajiban yang ada dalam Perda Jawa Barat nomor 1 tahun 2012, maka jelas bahwa penerbitan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A bertentangan dengan aturan yang telah dibuat.
Hal ini dikuatkan juga dengan fakta persidangan gugatan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A, di PTUN Bandung, Rabu (14/9/2022), bahwa Pemprov Jawa Barat tidak mempertimbangkan dampak pelepasan emisi karbon serta acaman iklim. Pemprov Jabar mengakui belum ada regulasi yang mengatur emisi gas rumah kaca.
Padahal pembakaran batubara di pembangkit listrik jelas-jelas berdampak langsung pada lingkungan, polusi bagi kesehatan warga hingga emisi gas rumah kacanya yang berkontribusi pada pemanasan global penyebab iklim ekstrim dan bencana.
“Karena tidak adanya aturan mengenai AMDAL harus mempertimbangkan perubahan iklim dan tidak ada baku mutu mengenai karbon, maka dalam penerbitan Izin Lingkungan tidak perlu mempertimbangkan perubahan iklim,” keterangan Ester Simon, saksi ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam sidang.
Meiki menjelaskan, kalaupun tidak ada regulasi yang mengatur gas rumah kaca, ia yakin adanya teori penyusunan AMDAL secara holistik yang memasukkan semua dampak yang akan terjadi secara ilmiah oleh operasional suatu kegiatan.
Dengan adanya semua fakta kerusakan lingkungan dan kondisi iklim yang mengkhawatirkan, Meiki menegaskan bahwa AMDAL kegiatan PLTU tidak layak karena akan berkontribusi buruk pada perubahan iklim.
Kecemasan Warga Cirebon
Rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A dengan rencana kapasitas 2 x 660 MW yang diprakarsai oleh YTL Power dari Malaysia yang berkongsi dengan Bakrie Power, di Desa Pangarengan, Kabupaten Cirebon, kini semakin mengecam masyarakat.
Pembangunan dua PLTU sebelumnya, yaitu PLTU Cirebon 1 dan PLTU Cirebon 2 dianggap telah cukup memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Salah satu perwakilan warga Cirebon, Ninda (22) mengakui bahwa pembangunan PLTU telah memberikan dampak sosial dan lingkungan. Bukan hanya udara saja yang semakin memanas, kini sebanyak 237 tambak garam dan 222 buruh penambak garam berpotensi kehilangan mata pencahariannya, itu pun belum termasuk nelayan.
"Dengan adanya dua PLTU saat ini di Cirebon, sebenarnya kualitas lingkungan di sini sudah mengalami destruktif. Kita bisa merasakan bagaimana udara dan hawa kini kian memanas. Begitu pun rasanya apabila PLTU Tanjung Jati A benar-benar akan dibangun, maka akan semakin membuat sesak warga Cirebon," tutur Ninda.
Sebagai anak muda Cirebon, tentunya yang paling merasakan kecemasan terhadap dampak pembangunan PLTU adalah anak mudanya. Mereka yang masih memiliki jenjang hidup yang panjang, terancam kesejahteraannya akan terenggut oleh dampak pembangunan PLTU.
Sekarang saja sudah terdapat berbagai dampak yang mereka rasakan akibat pembangunan PLTU. Hawa kian memanas, banjir di mana-mana akibat ekspansi lahan PLTU yang semena-mena, hingga buruknya kualitas air yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit.
Sebagai perwakilan warga Cirebon, Ninda berharap segala dampak buruk dan potensi lain yang mengancam dapat segera diatasi.
Baca Juga: Sidang Gugatan Izin Lingkungan, Faisal Basri: Pembangunan PLTU Merugikan Negara
Sidang Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A, Lingkungan Tercemar dan Mata Pencaharian Petambak Garam Hilang
Data Pelepasan Emisi di Kota Bandung 2001-2020, Terbesar di Tahun 2004
Mengapa Pemerintah Ngotot?
Meiki W Paendong dan Muit Pelu sebenarnya tidak pernah mendengar alasan mengapa pemerintah ngotot dan merasa perlu membangun PLTU Tanjung Jati A di tengah kondisi melimpahnya pasokan energi.
Muit menyebutkan kemungkinannya secara umum hal ini berkaitan dengan perhitungan ekonomi. Oleh karenanya mengapa dalam proses pembuatan AMDAL mereka tidak menghitung pelepasan emisi yang dikeluarkan.
Mengenai hal ini, Meiki pun memiliki tanggapan yang sama, bahwa mereka yang membangun PLTU menganggap bahwa secara ekonomi batubara ini merupakan sumber energi yang murah. Namun, Meiki tidak beranggapan bahwa batubara itu murah, malah sebaliknya karena ada banyak sekali biaya yang mesti dikeluarkan untuk menganggung akibat dari pembangunan sumber energi batubara.
"Murah itu versi pemerintah, sementara kami dari lingkungan tidak beranggapan demikian. Meskipun murah, tapi faktor eksternal yang diakibatkan oleh PLTU ini juga mesti dihitung, seperti pencemaran lingkungan, penyakit yang disebarkan, hingga orang yang kehilangan mata pencahariannya pun sebenarnya harus diperhitungkan," ungkap Meiki.
Oleh karenanya, pembangunan PLTU Tanjung Jati A mengancam berbagai sektor kehidupan dan ancamannya merugikan berbagai pihak. Meiki berharap, dengan adanya fakta-faktanya tersebut hakim dapat mempertimbangkannya dengan baik.
Sementara itu, hasil analisis Mark Chernaik, saksi ahli dari Environmental Law Alliance Worldwide (ELAW) mengatakan, PLTU Tanjung Jati A akan melepaskan emisi karbon sebesar 7 juta ton CO2 setiap tahunnya dan 220 juta ton CO2 selama 30 tahun. PLTU ini juga akan memberikan kerugian ekonomi sosial sebesar 6,7-22 triliun oleh karena pelepasan karbon.