Data Pelepasan Emisi di Kota Bandung 2001-2020, Terbesar di Tahun 2004
Dalam kurun 2001-2020, total emisi yang terlepas di Kota Bandung mencapai 23,9 kiloton. Di periode yang sama, 44 hektare kawasan tutupan pohon lenyap.
Penulis Sarah Ashilah15 April 2022
BandungBergerak.id - Ada harga yang harus dibayar mahal oleh pertumbuhan pesat Kota Bandung sebagai pusat politik dan ekonomi di Jawa Barat. Pertambahan penduduk yang diikuti dengan peningkatan mobilitas mereka berimbas pada membesarnya ancaman bagi lingkungan. Salah satunya, kenaikan angka emisi yang mencemari udara.
Merujuk data Global Forest Watch, dalam kurun 2001-2020, sebanyak 1,20 kiloton emisi dilepaskan ke udara setiap tahunnya, sebagai konsekuensi dari hilanganya kawasan tutupan pohon secara besar-besaran. Diperkirakan, total emisi yang terlepas di Kota Bandung dalam periode tersebut mencapai 23,9 kiloton.
Ironisnya, dalam kurun waktu serupa, Kota Bandung kehilangan kawasan tutupan pohon seluas 44 hektare. Fungsi pohon sebagai pembersih udara di Kota Bandung pun semakin sedikit dan tidak mampu menyerap seluruh emisi atau gas buang yang timbul akibat aktivitas manusianya yang tinggi. Emisi pun terperangkap, dan menyebabkan Kota Bandung mengalami fenomena urban heat island.
Jika melihat tren perkembangannya, pelepasan emisi di Kota Bandung terlihat fluktuatif. Tahun 2004 menjadi tahun dengan tingkat pelepasan emisi terbesar, yakni 3,28 kiloton. Sementara itu, tahun 2017 menjadi tahun dengan tingkat pelepasan emisi paling kecil, yakni 113 ton.
Yusmiati Kusuma dalam artikel "Pengaruh Bahan Bakar pada Aktivitas Transportasi terhadap Pencemaran Udara" yang terbit di Jurnal Sigma-Mu Vol.5 No.1 – Maret 2013, menyebut bahwa pencemaran udara paling tinggi di lingkungan perkotaan, mencapai 60 persen, berasal dari sektor transportasi. Kendaraan bertanggung jawab melepaskan 25 persen emisi karbon dioksida (CO2), 90% karbon oksida (CO), dan 50 persen oksida nitrogen (NOx).
Menurut Yusmiati, kerja pengurangan emisi merupakan tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah. Masyarakat sebagai pengguna, sementara pemerintah memiliki otoritas untuk membuat regulasi.
"Sosialisasi dan kegiatan-kegiatan nonteknis perlu dilakukan, seperti kampanye car free day, bike to work, dan kecintaan untuk menggunakan angkutan massal," tulis staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung tersebut dalam kesimpulan artikelnya.