• Ruang Terbuka Hijau
  • Sidang Gugatan Izin Lingkungan, Faisal Basri: Pembangunan PLTU Merugikan Negara

Sidang Gugatan Izin Lingkungan, Faisal Basri: Pembangunan PLTU Merugikan Negara

Selain menimbulkan ancaman serius berupa pemanasan global akibat pembakaran batu bara, PLTU Tanjung Jati A Cirebon juga berpotensi merugikan keuangan negara.

Ekonom senior Faisal Basri menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A oleh Walhi melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, di PTUN Bandung, Kamis (8/18/2022). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*

Penulis Reza Khoerul Iman19 Agustus 2022


BandungBergerak.id – Ekonom senior Faisal Basri menyatakan ada potensi kerugian keuangan negara atas pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon. Keterangan ini ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan gugatan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A oleh Wahana Lingkungan Hidup melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jalan Diponegoro No.34, Bandung, Kamis (8/18/2022).

Selain Faisal Basri, saksi ahli lainnya yang diajukan penggugat adalah Andri Gunawan Wibisana selaku pakar hukum lingkungan yang menjelaskan terkait potensi ancaman perubahan iklim atas pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon.

Kedua saksi ahli tersebut didatangkan atas dasar potensi besar yang mengancam perubahan iklim dan kerugian ekonomi negara yang dapat disebabkan pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon di Desa Pengarengan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Ancaman Kerugian Ekonomi Negara

Dari sudut potensi kerugian negara, Faisal Basri menyatakan bahwa saat ini negara sedang mengalami kelebihan pasokan listrik sebanyak 100 persen. Sementara di sisi lain, PLN sudah menjadi pembeli wajib dari produksi listrik yang dihasilkan pembangkit [PLTU]. Seandainya listrik tak tersalurkan atau terserap ke konsumen, maka PLN akan mengalami kerugian.

Apabila PLN sudah mengalami kerugian, maka negara harus memberikan suntikan modal kepada PLN. Di sinilah keuangan negara akan dirugikan.

“Kalau semua dibangun, berarti kelebihan [listrik]-nya sudah luar biasa besar dan PLN harus beli. Sementara PLN akan rugi, kalau rugi negara harus memberikan suntikan modal. Kan PLN-nya gak akan dibiarkan bangkrut oleh pemerintah. Tekanan-tekanan pada PLN ini semakin berat, apalagi kalau pembangkit-pembangkit yang sedang atau akan dibangun ini jadi dan harus disalurkan kepada PLN,” ucap Faisal Basri.

“Dengan adanya kelebihan pasokan listrik, lemahnya penyerapan listrik oleh konsumen, ditambah kewajiban pembelian listrik oleh PLN yang dihasilkan pembangkit, kerugian PLN merupakan suatu hal yang mustahil dihindari bila negara tetap ingin melanjutkan pembangunan dan operasional pembangkit-pembangkit,” tambah Faisal Basri.

Karena itu, Faisal Basri mendorong agar rencana pembangunan PLTU dihentikan. Bahkan untuk pembangkit yang belum dibangun, ia menegaskan lebih baik tidak meneruskan pembangunannya.

Menurut Faisal, PLN merupakan BUMN. Sehingga kerugian yang dialami BUMN juga kerugian negara. Pemegang saham BUMN adalah negara, maka BUMN akan memberikan dividen kepada negara, jika potensi kerugian terjadi maka jumlah dividen akan berkurang atau bahkan akan hilang.

“Lebih lanjut jika kerugian PLN sebagai BUMN, negara akan melakukan langkah-langkah penyelamatan dengan memberikan penanaman modal dalam negeri (PMN),” paparnya.

Selain itu, Faisal Basri menjelaskan bahwa kerugian dari adanya pembangunan PLTU batu bara akan muncul dari emisi dan menggunakan energi kotor. Hal ini menjadi ongkos yang harus ditanggung lingkungan dan masyarakat. 

Baca Juga: Sidang Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A, Lingkungan Tercemar dan Mata Pencaharian Petambak Garam Hilang
Judicial Review UU Minerba, Mahkamah Konstitusi Seharusnya Berpihak kepada Rakyat
Kode Merah Dampak Pemanasan Global di Indonesia dan Dunia

Meningkatkan Pemanasan Global

Dari sudut pandang perubahan iklim, saksi ahli Andri Gunawan Wibisana menyebut bahwa batu bara sebagai pembangkit listrik PLTU selalu dianggap menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar dalam menyumbang pemanasan global. Hal tersebut mesti mendapat perhatian lebih karena pemanasan global akan memicu perubahan iklim yang menimbulkan permasalahan serius dan erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Ada sebuah tulisan yang menelusuri efek gas rumah kaca ke setiap perusahaan, di antaranya salah satu sektor yang mendapat perhatian sebagai penyumbang emisi terbesar adalah batubara. Contohnya negeri Cina yang memiliki emisi gas rumah kaca terbesar karena disebabkan salah satunya oleh batubara. Oleh karenanya pemerintah di sana tidak akan lagi memberikan suntikan dana kepada perusahaan yang bergerak di batubara,” ucap Andri.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut menyebutkan bahwa sangat penting dalam pembangunan PLTU dilakukan pengkajian Analisis Masalah Dampak Lingkungan (Amdal) secara mendalam. Sering kali pembangunan-pembangunan tidak dikaji terlebih dahulu Amdalnya, atau Amdalnya sama sekali tidak berkualitas.

Artinya, persoalan tersebut termasuk ke dalam persoalan yang begitu serius sehingga mesti dilakukan pengkajian terlebih dahulu sebelum dilakukannya pembangunan. Andri menyebut persoalan ini sangat serius karena dapat menghasilkan ratusan juta ton CO, sementara riset menyebutkan sebanyak 4.000-5.000 ton CO itu kira-kira dapat menghilangkan satu nyawa manusia. Selain itu, Andri menegaskan bahwa siapa, di mana, dan apa saja yang dapat terdampak masih belum dapat diprediksi.

“Sebenarnya perkara perubahan iklim yang terkait dengan Amdal itu perlu dilihat di luar konteks formalitas hukum. Nah, persoalannya adalah apakah Amdalnya berkualitas atau tidak? Dalam artian, apakah Amdalnya memuat evaluasi holistik atau tidak? Tampaknya yang melakukan kajian Amdal masih melihat yang patokannya pencemaran udara, padahal ada persoalan yang makin serius yaitu persoalan perubahan iklim,” tutur Andri

Oleh karenanya, Andri menyebut bahwa peran asas kehati-hatian dalam kasus pembangunan ini menjadi sangat penting, yaitu perlu dilakukannya pencegahan agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup akibat pencemaran.

Indonesia sendiri mengakui atas hak lingkungan yang baik dan bersih. Oleh karena adanya hak tersebut, kemudian muncul yang namanya asas tanggung jawab negara, yaitu negara wajib untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.

Persidangan akan dilanjutkan kembali di dua pekan berikutnya, yaitu pada tanggal 1 September 2022 pagi, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari tergugat, di PTUN, Jl. Diponegoro No.34, Kota Bandung.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//