Sidang Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A, Lingkungan Tercemar dan Mata Pencaharian Petambak Garam Hilang
PLTU Tanjung Jati A menuai banyak masalah berupa pencemaran ratusan juta ton gas CO2 hingga hilangnya tambak garam pencaharian warga.
Penulis Iman Herdiana12 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Keberadaan PLTU Tanjung Jati A atau Jawa 3 di Desa Pengarengan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berpotensi menuai banyak masalah lingkungan dan sosial. Dari sisi lingkungan, PLTU Tanjung Jati A akan menghasilkan ratusan juta ton gas CO2 yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim.
Di sisi sosial, beroperasinya PLTU Tanjung Jati A akan menggusur lahan tambak garam seluas 230 hektare yang merupakan mata pencaharian warga.
Daya rusak yang besar itu melatarbelakangi sidang gugatan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A yang diajukan Tim Advokasi Keadilan Iklim – di mana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ada di dalamnya – di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung yang saat ini masuk agenda sidang kedua atau saksi, Kamis (11/8/2022).
Saksi yang dihadirkan penggugat adalah saksi fakta, Meiki Paendong dari Walhi Jawa Barat, dan aaksi ahli hukum administrasi negara, Riawan Tjandra, dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Persidangan diawali dengan pemeriksaan saksi fakta untuk merespons jawaban tergugat, yakni Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Pada sidang sebelumnya, DPMPTSP menyebut bahwa penggugat (Walhi) mengetahui objek gugatan karena hadir pada sidang Analisis Masalah Dampak Lingkungan (Amdal) PLTU Tanjung Jati A pada tahun 2016 lalu.
Keterangan DPMPTSP kemudian dibantah Muit, Kuasa Hukum Penggugat dari Tim Advokasi Keadilan Iklim. Muit menyatkaan, bahwa Walhi hanya mengetahui dan memperoleh objek sidang melalui permohonan informasi pada tanggal 22 Desember 2022.
Terkait dengan kehadiran Meiki sebagai perwakilan Walhi pada sidang Amdal PLTU Tanjung Jati A pada 2016, ia mengakui hadir dalam posisi untuk menyatakan penolakan. Kehadirannya di sidang Amdal ini tidak pernah mendapatkan atau mengetahui Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A.
Muit menerangkan, penyelenggaraan sidang Amdal tidak serta merta menghasilkan Penerbitan Izin Lingkungan, karena sidang Amdal menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
Jika sidang Amdal memutuskan ketidaklayakan lingkungan hidup, maka Izin Lingkungan tidak diterbitkan. Keterangan Muit kemudian dibernarkan Meiki.
“Kami pun menyatakan penolakan pembangunan PLTU Tanjung Jati A dalam sidang Amdal tersebut karena keberadaannya nanti akan menghilangkan mata pencaharian petambak garam. Bagaimana mungkin kami mendapatkan atau mengetahui objek gugatan dalam sidang Amdal, ketika pada saat tersebut belum ada penerbitan objek gugatan,” kata Meiki.
Baca Juga: Judicial Review UU Minerba, Mahkamah Konstitusi Seharusnya Berpihak kepada Rakyat
Kode Merah Dampak Pemanasan Global di Indonesia dan Dunia
Tim Advokasi: Mahkamah Konstitusi Seharusnya Mengabulkan Uji Materi UU Minerba
DPMPTSP Memiliki Kewenangan Mencabut Izin Lingkungan
Dalam sidang tersebut, DPMPTSP menjadi sorotan. Saksi ahli Riawan Tjandra mengutarakan bahwa Kepala DPMPTSP memiliki kewenangan untuk mencabut Izin Lingkungan yang diterbitkan meskipun kewenangan penerbitan dan pengawasan persetujuan lingkungan telah beralih ke pemerintah pusat.
“Berdasarkan keterangan ahli, jelas bahwa peralihan kewenangan penerbitan tidak serta merta menghilangkan kewenangan penjabat penerbit izin yang sudah ada. Tergugat punya kewenangan untuk mencabut bahkan membatalkan Izin Lingkungan namun justru mengabaikan kesempatan untuk menyelamatkan masa depan generasi mendatang dari potensi emisi PLTU Tanjung Jati A,” jelas Muit.
Sidang Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A sendiri didaftarkan oleh Tim Advokasi Keadilan Iklim di mana Walhi Jawa Barat ada di dalamnya, pada awal Juli 2022. Dalam gugatannya disebutkan bahwa PLTU Tanjung Jati A akan berkontribusi pada memburuknya perubahan iklim global.
Berdasarkan perhitungan, jika PLTU Tanjung Jati A dibangun, maka selama beroperasi ia akan mengeluarkan 16 juta metrik ton CO2 dalam setahun. Jika PLTU akan beroperasi selama 30 tahun sesuai dengan umur Izin Usaha, maka PLTU Tanjung Jati A akan mengeluarkan total 480 juta ton CO2.
Oleh karena itu, Walhi dan kuasa hukum berpendapat penerbitan Izin Lingkungan bertentangan dengan asas-asas di dalam UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dan UU Administrasi Pemerintahan.
Alasan kedua, pembangunan dan operasional PLTU batubara Tanjung Jati A berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara. Dengan kondisi kelistrikan jawa yang sudah kelebihan pasokan, tambahan produksi listrik dari PLTU batu bara Tanjung Jati A akan semakin menambah kelebihan pasokan listrik di Jawa.
Oleh karena itu, potensi tidak terserapnya listrik PLTU batubara Tanjung Jati A ke konsumen sangat tinggi. Padahal PLN terbebani untuk membayar listrik yang dihasilkan sesuai dengan kesepakatan Perjanjian Jual Beli.
Atas dasar hal tersebut, Walhi dan kuasa hukum memandang penerbitan Izin Lingkungan PLTU batubara Tanjung Jati A bertentangan dengan asas-asa di UU Pengelolaan dan Perlindungan LIngkungan Hidup.
PLTU batubara Tanjung Jati A rencananya memiliki kapasitas 2 x 660 MW. Pendirian PLTU akan menggusur lahan tambak garam seluas 230 hektare.
Pemrakarsa pembangkit ini adalah YTL Power dari Malaysia yang berkongsi dengan Bakrie Power. Sedangkan Izin lingkungan proyek PLTU Tanjung Jati A diterbitkan pada tahun 2016. Namun hingga kini proyek tersebut belum terbangun.