PTUN Bandung Membatalkan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A Cirebon, Walhi Jabar: Aktivitas Konstruksi Harus Dihentikan
PTUN Bandung membatalkan izin lingkungan kegiatan pembangunan PLTU Tanjung Jati A Kabupaten Cirebon. Menjadi preseden baik untuk mengurangi pencemaran lingkungan.
Penulis Iman Herdiana14 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung membatalkan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A Cirebon dalam sidang putusan Kamis (13/10/2022). Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat sebagai bagian dari Tim Advokasi Keadilan Iklim yang melakukan gugatan terhadap izin lingkungan PLTU, menyatakan bahwa putusan pengadilan ini seharusnya menghentikan aktivitas pembangunan PLTU di lokasi.
“Langkah selanjutnya kami akan melakukan pemantauan di lapangan. Untuk memastikan tidak ada aktivitas yang terkait konstrukti di lokasi tapak bakal PLTU Tanjung Jati A. Selain itu mendorong PLN dan ESDM untuk mencoret rencana PLTU Tanjung Jati A dari RUPTL,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong, saat dikonfirmasi BandungBergerak.id, Jumat (14/10/2022).
Dalam sidang di PTUN Bandung, majelis hakim mengabulkan gugatan dari Tim Advokasi Keadilan Iklim seluruhnya dan menyatakan bahwa izin lingkungan kegiatan pembangunan PLTU Tanjung Jati A Kapasitas 2x660 MW dan fasilitas penunjangnya di Desa Pengarengan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon oleh PT Tanjung Jati Power Company tertanggal 28 Oktober 2016 dibatalkan.
Tim Advokasi Keadilan Iklim menyatakan putusan ini merupakan kemenangan rakyat dan lingkungan hidup dalam melawan pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan, khususnya pembangunan yang mengancam krisis iklim.
Kemenangan ini sekaligus menjadi preseden baik untuk upaya-upaya selanjutnya dalam mendorong komitmen negara untuk serius memperhatikan perlindungan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim.
“Dengan adanya putusan ini, pemerintah harus lebih serius dalam mencegah perubahan iklim terutama akibat dari pembangunan PLTU. Pensiun dini PLTU harus segera dilakukan dan pelarangan pembangunan PLTU secara menyeluruh tanpa kecuali. Dalam gambaran besar, ancaman perubahan iklim dapat berkurang, lingkungan dapat pulih dari perubahan iklim, sehingga anak dan cucu kita tetap menikmati lingkungan di masa mendatang,” kata Meiki W Paendong.
Keputusan ini seharusnya menyadarkan pemerintah agar tidak ada lagi pembangunan PLTU dan energi fosil lain di Jawa Barat. Selain juga menutup segera PLTU yang sudah beroperasi demi keselamatan, keadilan iklim, lingkungan, rakyat, dan keberlanjutan layanan alam.
Menurut Meiki, seharusnya pemerintah mulai beralih ke energi bersih terbarukan yang ramah lingkungan dan rendah karbon.
Muit Pelu, Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Keadilan Iklim menyatakan putusan ini menjadi preseden mengenai perubahan iklim akibat pembangunan PLTU Tanjung Jati A. Keputusan ini juga menjadi bukti bahwa tindakan pemerintah yang memberikan izin lingkungan PLTU dengan tidak mempertimbangkan perubahan iklim merupakan perbuatan yang melawan hukum oleh penguasa.
“Operasional PLTU merupakan salah satu kontributor terbesar pelepasan emisi gas rumah kaca, namun pemerintah maupun pelaku usaha sering kali tidak memperhitungkan dampak ini dalam perizinan. Hal inilah yang kemudian Hakim anggap sebagai pertentangan dengan aturan perundang-undangan. Sehingga penting untuk mengkaji dampak perubahan iklim dalam perizinan PLTU,” jelas Muit Pelu.
Muit menyatkaan, pemerintah Provinsi Jawa Barat seharusnya menerima putusan dan tidak mengajukan banding. Sebab provinsi Jawa Barat telah memiliki aturan yang mengatur pencegahan perubahan iklim, dan pemerintah harus membuktikan komitmen tersebut.
“Keputusan majelis hakim PTUN Bandung perihal gugatan izin PLTU Tanjung Jati A merupakan keputusan yang tepat karena sebagai generasi muda yang ada di Cirebon, kami menginginkan lingkungan hidup yang baik, lestari, dan terjaga dari segala aktivitas yang bisa merusak lingkungan. Sebagai wakil dari anak muda, kami ingin memastikan bahwa keadilan iklim harus dapat dirasakan bagi setiap makhluk hidup sebagai bentuk kedaulatan lingkungan untuk masa depan,” ujar Adhinda Maharani dari Koalisi Bersihkan Cirebon (Karbon), bagian dari Tim Advokasi Keadilan Iklim.
Baca Juga: PLTU Tanjung Jati A Cirebon, Bukti Pemerintah Tidak Serius dalam Mengurangi Emisi CO2
Sidang Gugatan Izin Lingkungan, Faisal Basri: Pembangunan PLTU Merugikan Negara
Sidang Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A, Lingkungan Tercemar dan Mata Pencaharian Petambak Garam Hilang
Merusak Lingkungan dan Memicu Pemanasan Global
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) telah menjadi penyumbang emisi karbon dioksida (zat pencemar lingkungan CO2) dari pembakaran batubara yang menjadi penyebab pemanasan global. Studi International Energy Agency (IEA) memaparkan, peningkatan emisi CO2 terbesar pada 2021, salah satunya terjadi di sektor kelistrikan yang didominasi dari sumber energi kotor batubara.
Jika dibiarkan, pencemaran lingkungan ini tentunya akan berdampak buruk pada kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia. Dalam menangani hal ini, pemerintah Indonesia menyebut telah melakukan berbagai kebijakan dan aksi iklim yang mengarah pada peningkatan emisi. Bahkan dalam Pakta Iklim Glasgow (COP 26), negara-negara anggota, termasuk Indonesia, menyatakan berkomitmen untuk berhenti membangun pembangkit batubara.
Namun pada kenyataannya, aksi dan target pemerintah Indonesia bertolak belakang dan dinilai masih kurang selaras dengan COP 26, bahkan terkesan tidak serius dalam menangani peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal ini salah satunya ditandai dengan ngototnya pemerintah yang masih memasukkan rencana PLTU batubara, salah satunya PLTU Tanjung Jati A, Cirebon.
Penerbitan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A yang diterbitkan pada tahun 2016, diketahui bertentangan dengan aturan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DPRD Jawa Barat, sebagaimana yang tercantum di dalam Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat nomor 1 tahun 2012.
Pembangunan dua PLTU sebelumnya, yaitu PLTU Cirebon 1 dan PLTU Cirebon 2 dianggap telah cukup memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Salah satu perwakilan warga Cirebon, Ninda (22) mengakui bahwa pembangunan PLTU telah memberikan dampak sosial dan lingkungan. Bukan hanya udara saja yang semakin memanas, kini sebanyak 237 tambak garam dan 222 buruh penambak garam berpotensi kehilangan mata pencahariannya, itu pun belum termasuk nelayan.
Sementara itu, hasil analisis Mark Chernaik, saksi ahli dari Environmental Law Alliance Worldwide (ELAW) mengatakan, PLTU Tanjung Jati A akan melepaskan emisi karbon sebesar 7 juta ton CO2 setiap tahunnya dan 220 juta ton CO2 selama 30 tahun. PLTU ini juga akan memberikan kerugian ekonomi sosial sebesar 6,7-22 triliun oleh karena pelepasan karbon.