• Liputan Khusus
  • Bandung (Mendaku) Ramah Anak, tapi Pernikahan Anak Masih Marak

Bandung (Mendaku) Ramah Anak, tapi Pernikahan Anak Masih Marak

Pernikahan usia anak bukan hanya soal melanggar aturan. Ada banyak imbas buruk yang harus dipikul keluarga baru. Kota Bandung masih sangat bermasalah dengan isu ini.

Lina (bukan nama sebenarnya), yang terpaksa melakoni pernikahan usia anak, menggendong anaknya di depan rumah berukuran 2X3 meter yang sudah ditinggali sejak tahun 2019. (Foto: Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri12 Desember 2022


BandungBergerak.id - Lina Marliani (bukan nama sebenarnya) lahir sebagai anak perempuan dari dua bersaudara yang dibesarkan oleh sosok ibu sebagai orang tua tunggal.  Tumbuh besar tanpa peran Ayah, membuat dirinya kehilangan arah.

Ruang kosong dalam diri Lina sedikit terisi oleh kehadiran laki-laki yang menjalin kasih dengannya.  Ia merasakan kenyamanan dengan pria yang dikenalnya sejak duduk di bangku sekolah. Namun ruang nyaman tersebut menjelma persoalan pelik, manakala Lina harus menanggung kehamilan tidak diinginkan (KTD) dari hubungan yang dijalaninya selama dua tahun.

Nahas, di usia 17 tahun Lina harus kehilangan masa mudanya dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih lanjut. Ketakutan akan pertanyaan maupun tuduhan dari pihak sekolah dan rekan-rekannya, memaksa Lina keluar dari sekolah menengah atas (SMA) yang ditempuhnya kurang dari satu tahun. Terlebih ia mengaku tidak memiliki kawan akrab untuk bercerita tentang persoalan yang dirasakan. Pada akhirnya semua dipendam dan dikubur sendiri.

“Teman-teman dan pihak sekolah tidak ada yang tahu. Waktu itu (saya) keluar (sekolah) karena sebetulnya peraturan sekolah itu nggak dikeluarin. Jadinya Lina mengundurkan diri saja,” ungkapnya dengan guratan senyum pahit seakan berusaha menutupi kesedihan yang mendera, Kamis (01/12/2022).

Pada awal kehamilannya di tahun 2019, Ibu menjadi orang pertama yang ia percayakan untuk mendengar ceritanya. Sekaligus menjadi orang pertama yang merasa sangat kecewa dengan tindakannya, demikian pula dengan saudara laki-lakinya. Lingkaran pertama keluarganya saat itu belum menerima kenyataan suram yang dialami Lina. Rumah yang selama ini menjadi tempat untuk pulang, tidak bisa diharapkan lagi. Alhasil dengan berat hati ia melarikan diri ke rumah orang tua kekasihnya.

Babak baru hidupnya menjerumuskan dia pada beban pikiran yang sangat berat, tapi di satu sisi ia sadar kesehatan mentalnya mulai terganggu. Lina mulai mencari pertolongan kepada pihak yang dapat mengurai keresahannya.

“Karena sempet stres, hancur aja,” tuturnya dengan air mata yang jatuh lantaran sudah tidak tertahan lagi.

Kondisi mental Lina semakin tertekan seiring dengan bertambah besar janin di perut. Sementara itu, dia tidak bisa langsung menikah lantaran terhalang syarat usia pernikahan minimal 19 tahun.

Dengan kondisi mental terpuruk, Lina menyambangi Kelompok Kerja Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (Pokja PKK) di dekat tempat tinggal ibunya untuk mencari pertolongan. Perempuan berambut pendek itu disarankan bertemu dengan psikolog di puskesmas daerahnya. Lina secara rutin menjalani sesi konseling, yang bisa diakses secara gratis, sekitar dua hingga tiga kali dalam sebulan.

Tekanan psikis yang mendera Lina memicu persalinan prematur. Lina melahirkan bayinya di usia kandungan yang baru menginjak tujuh bulan. “Stres iya, apalagi yang pertama hamil tujuh bulan, tapi alhamdulillah anaknya sehat,” tuturnya.

Pascapersalinan, Lina memutuskan menikah secara agama demi mendapat pengakuan dan perlindungan dari lingkungan sosialnya. 

“Akhirnya nikah siri dan belum diresmikan. Nikah umur 18 tahun, waktu tahun 2020 nikahnya. Waktu itu dinikahkannya pakai wali hakim, nikahnya juga di rumah mertua, dan sekarang tinggal sama suami aja,” jelas Lina sambil menunjukkan ruangan rumahnya yang merupakan peninggalan dari mertuanya yang telah meninggal tahun 2021 lalu.

Lina dan suaminya, Aris (nama samaran), mulai membangun kehidupan rumah tangga dengan mengandalkan penghasilan Aris sebagai pekerja bangunan.  Lina mendapat uang belanja Rp 500 ribu setiap minggunya.  Penghasilan yang bisa dibilang minim itu membuat Lina kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Jadi 500 ribu itu sudah harus sama masak, jajan anak, terus beras juga sama anak yang kecil pempers, termasuk rokok terus segala macem,” jelas Lina, Senin (5/12/2022).

Terlintas di pikiran Lina untuk membantu perekonomian keluarganya. Terlebih lagi tanggung jawab mereka bertambah dengan lahirnya putri kedua selang satu tahun kemudian. Namun hal itu sulit dilakukan karena Lina harus mengurus kedua anaknya. “Saat ini belum bisa ninggalin anak-anak, kalau harus bekerja,” tandasnya.

Pernikahan yang belum tercatat di catatan sipil terus mengganggu pikirannya. Lina mengkhawatirkan hak kedua anaknya tidak bisa dipenuhi karena persoalan administrasi tersebut. Situasi itu memunculkan keinginan untuk segera meresmikan pernikahannya.  Namun keinginan itu terkendala biaya.

Berdasarkan informasi dari Kelompok Kerja (Pokja) Babakan Caringin, Sukajadi, diperlukan sejumlah biaya, apabila ingin mendapatkan legalisasi pernikahan.

“Harus ada uang dulu satu juta ceunah kalau mau nikah resmi, kata pihak yang di sini, nantinya langsung dapat buku nikah, jadi tahu selesai,” katanya dengan ekspresi wajah yang meragukan adanya ketentuan tersebut.

Baginya, nominal uang di atas terlalu besar, apabila hanya digunakan untuk membuat buku nikah. Lina dan suami lebih mengutamakan kebutuhan pokok anak-anaknya. Sampai saat ini keinginan tersebut masih tertunda, walaupun ia sadar keputusannya akan berdampak pada kehidupan keluarganya di masa yang akan datang.

“Lebih baik beli buat kebutuhan anak, walaupun pasti bakalan ngaruh ke pembuatan akta kelahiran anak. Jadi kalau periksa kesehatan, seperti ke posyandu, biasanya dibantu oleh tim pokja di sini, atau saya lagi sakit suka kebantu juga,” tuturnya.

Sementara itu, niat memproses pernikahan secara resmi masih mengusik pikirannya. Apalagi dengan tawaran prosesnya bisa berlangsung cepat, sekitar 3-5 hari. Meski demikian, biaya masih menjadi kendala. Karena dengan pemasukan uang 500 ribu dari suaminya, setidaknya dalam satu minggu jika ia bisa menyisihkan 50 ribu, maka dibutuhkan waktu lima bulan agar uang satu juta terkumpul. Dengan konsekuensi sebagian kebutuhan primer dan sekundernya harus ditekan terlebih dahulu. 

“Banyak yang bilang, (yang nikahnya) udah resmi, katanya teh dari KUA cuma ngasih ke Pak Lebe (penghulu) nya aja, nggak sampai satu juta,” katanya. Ia berharap biayanya dapat diturunkan, bahkan lebih baik jika digratiskan.

Lina menyesal tidak mengetahui prosedur dispensasi pernikahan anak yang dapat langsung diproses di Pengadilan Agama Kota Bandung. Jika saja tahu lebih awal,  ia akan melewati proses itu dan pernikahannya bakal legal sejak tiga tahun lalu.

Tidak mudah bagi Lina menyisihkan uang demi legalisasi pernikahannya.  Namun di satu sisi, ia menyadari, tanpa dokumen perkawinan yang resmi, semua urusan administrasi kewarganegaraan akan mengalami hambatan, terutama untuk keperluan pendidikan dan kesehatan anak-anaknya kelak.

Tim Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sukajadi, Enok Nengsih mendorong Lina segera meresmikan status perkawinannya.

“Pertama memang harus ada minat dari keluarga dulu, kan kadang-kadang ada yang terlalu nyaman, ujungnya didiamkan saja, dan akhirnya gak punya KK (Kartu Keluarga) maupun Akta Kelahiran, baru sadar setelah anak mau masuk SD (Sekolah Dasar) atau TK (Taman Kanak-Kanak), harus ada Akta,” jelas Enok, saat ditemui di rumah Lina, Kamis (01/12/2022).

Cerita Arhan

Selain Lina, pernikahan usia anak juga dialami oleh Arhan Febrian (nama samaran), siswa kelas 1 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di jurusan Tata Boga. Persoalan keluarga memicu keinginan hidup mandiri dengan jalan menikah.

Tiga tahun Arhan (18) dan perempuan bernama Dara (17) menjalin kasih, hingga akhirnya lanjut ke jenjang pernikahan. Jalan yang ditempuh tidak mulus begitu saja. Arhan dan Dara mendapatkan penolakan dari orang tua masing-masing, yang berimbas pada sulitnya mendapatkan restu.

Umumnya menikah muda disebabkan oleh Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), tapi pada Arhan dan Dara lain cerita. Mereka nekad berhubungan seksual agar terjadi kehamilan supaya mendapat izin menikah. Pasangan kekasih itu siap menerima kemarahan dari orang tua, asal tujuan membangun biduk rumah tangga tercapai. 

“Bodohnya mengambil dengan jalan yang salah, kebanyakan kalau yang mau menikah di masa muda itu hamil di luar nikah tanpa disengaja. Kalau Arhan itu disengaja karena sudah bersekongkol dengan Dara. Kita pun kepikiran ke situ karena ingin menikah dan ke jenjang serius," ujar Arhan saat dihubungi pesan singkat, Selasa (01/10/2022).

Dalam kondisi terdesak, Arhan dan Dara menjalani pernikahan secara agama, sembari mengumpulkan biaya untuk resepsi pernikahan. Selang satu tahun kemudian, pasangan suami istri berusia anak itu meresmikan pernikahannya melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dengan membayar sebesar Rp 2,5 juta. Biaya itu, menurut Arhan, untuk mendapatkan buku nikah melalui proses singkat dan melewatkan prosedur peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah.

"Nggak diambil ribet sih, karena kita menyogok pakai uang itu, dengan peraturan yang salah. Sebenernya nggak boleh, cuman karena pengin cepet keluar,” tandasnya dengan rasa penyesalan.

Arhan terpaksa mengambil pilihan tersebut.  Sebab jika mengikuti peraturan dari pihak Pengadilan Agama, dia harus mengulang kembali prosesi ijab kabul sebagai upaya mendapatkan buku nikah. Asumsi negatif dari lingkungan sosial juga mendorongnya untuk segera meresmikan pernikahan.

Kondisi rumah Lina dan keluarga kecilnya, dengan ruang secukupnya untuk tempat beristirahat dan memasak. (Foto: Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)
Kondisi rumah Lina dan keluarga kecilnya, dengan ruang secukupnya untuk tempat beristirahat dan memasak. (Foto: Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)

Perkawinan Usia Anak Masalah Bersama

Bandung sebagai kawasan urban nyatanya masih menghadapi persoalan pernikahan anak. Kisah Lina dan Arhan hanya salah dua dari banyaknya kasus pernikahan anak di Tanah Pasundan. Persentase pernikahan anak di bawah 16 tahun di Kota Bandung sebanyak  8,90 persen dan usia 17-18 tahun 12,49 persen pada 2018, menjadi 8,89 persen dan 15,67 persen di 2019, lalu menjadi 8,81 persen dan 16,03 persen di 2020.

Merujuk data di atas, peningkatan angka pernikahan anak terjadi dari usia 17-18 tahun selama tiga tahun berturut-turut. Sementara kategori usia di bawah 16 tahun mengalami penurunan. “Perubahan konstitusi perihal pernikahan anak mempengaruhi dinamika praktik tersebut,” ungkap Wakil Ketua Pengadilan Agama (PA) Kota Bandung Sugiri Permana, Selasa (29/11/2022).

Undang-Undang (UU) No. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan direvisi menjadi UU No. 16 tahun 2019 yang mencantumkan perubahan batas minimum usia pernikahan bagi perempuan dari semula 16 tahun menjadi 19 tahun.

Akan tetapi, revisi peraturan perkawinan ternyata berdampak signifikan pada kenaikan pengajuan dispensasi pernikahan anak. "Kenaikannya ada yang dua sampai tiga kali lipat karena tadinya 16 tahun sudah bisa, sekarang tidak bisa, kalau di Pengadilan Agama Bandung (kenaikan) terbilang masih wajar," kilah Sugiri.

Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Arcamanik Toto Suprianto menyatakan, faktor budaya, agama, ekonomi, dan pendidikan seseorang berpengaruh kuat pada terjadinya perkawinan usia anak. Menghindari perzinahan, perjodohan, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) atau hamil di luar nikah kerap dijadikan alasan mengajukan dispensasi pernikahan. 

Di samping itu, Toto menilai, banyak orang tua khawatir dengan fenomena pergaulan bebas sehingga mendaftarkan anaknya untuk dinikahkan ke KUA.

"Jadi masih ada yang khawatir ngapa-ngapain, jadinya dinikahin. Ya wayahna, kami akan tolak dulu.  Ya silahkan jika ingin mengajukan dispensasi bisa ke pengadilan," jelasnya saat disambangi langsung di kantor KUA Cisaranten Kulon pada Selasa (29/11/2022).

Hamil di luar nikah kerap menjadi pemicu terjadinya pernikahan usia anak. Toto menganggap diperlukan  upaya preventif guna mengatasi hal tersebut. Menurutnya, jika dibiarkan terus menerus, maka praktik dispensasi pernikahan akan terus menjamur.

Data menunjukkan bahwa jumlah pernikahan anak di Kota Bandung masih relatif besar sehignga bisa berimbas ke beragam segi hidup keluarga baru yang terbentuk. (Olah data: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Data menunjukkan bahwa jumlah pernikahan anak di Kota Bandung masih relatif besar sehignga bisa berimbas ke beragam segi hidup keluarga baru yang terbentuk. (Olah data: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Relawan dan Dokter Klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Bandung Siti Hanifah membenarkan pernyataan Toto. Siti juga membeberkan fenomena dispensasi perkawinan yang seringkali diajukan oleh kelompok masyarakat pra-sejahtera.

“Paling sering disuruh aja sama orang tua harus nikah, lalu orang tua yang tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi, atau pacarnya jarak jauh, jadi harus nikah dulu dan ikut suami ke luar kota,” ungkap Siti  menjelaskan latar belakang mereka yang menikah di usia anak, pada Sabtu, (19/11/2022). 

Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pendidikan 12 tahun, imbuh Siti, sebenarnya merupakan langkah awal pencegahan pernikahan anak. Namun penetapan biaya sekolah gratis yang  hanya diperuntukkan selama 9 tahun di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja, tidak serta merta mampu mencegah perkawinan usia anak.

“Karena tetap saja, tanggung jawab orang tua setelah anaknya lulus SMP terus berlanjut. Mereka diharuskan membayar biaya sumbangan dana pendidikan  anaknya ketika menginjak Sekolah Menengah Atas (SMA). Belum lagi uang transportasi, jajan, dan lain sebagainya turut menambah biaya,” ujar Siti seraya menambahkan banyak orang tua yang berpandangan dengan menikahkan anaknya, berarti meringankan tanggungan keluarga.

Mengacu data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pengajuan dispensasi pernikahan anak tertinggi, salah satunya terjadi di PA Kota Bandung.

“Sangat disayangkan juga di tahun 2022 ini terjadi sampai bulan ini (November), sepertinya ada peningkatan yang lumayan,” terang Kepala Bidang Peningkatan kualitas Keluarga Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat, Iin Indasari, Rabu (28/11/2022).

Secara rinci jumlah dispensasi kawin di kota Bandung pada tahun 2020 sebanyak 381, kemudian 338 di 2021 dan pada triwulan 3 atau September 2022 sudah mencapai 203 kasus.

“Ini bukan permasalahan yang sederhana, karena dapat menimbulkan efek domino yang sangat luar biasa,” tegasnya.

Pemerintah sebetulnya telah menargetkan penurunan angka kasus perkawinan usia anak.  Dalam  Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024,  kasus perkawinan usia anak yang semula mencapai 11,21 persen di 2018,  ditargetkan turun menjadi 8,74 persen di akhir 2024.

Secara detail dispensasi kawin yang tercatat di Pengadilan Agama (PA) Kota Bandung sebanyak 48 di 2017 dan 61 di 2018. Kemudian mengalami peningkatan menjadi 115 di 2019 dan 219 di 2020. Walau demikian tahun 2021 sempat mengalami penurunan di angka 193.  Pada 2022, angka dispensasi kawin di PA Kota Bandung hingga September tercatat sebanyak 125.

Wakil Ketua PA Kota Bandung, Sugiri menjelaskan, telah terjadi 125 pengajuan dispensasi kawin di 2022.  Namun menurutnya, angka tersebut tidak terlalu tinggi.  Jika dihitung, rata-rata per bulan hanya 1-3 per kecamatan atau 11 orang yang mengajukan dispensasi perkawinan.

Ketika diminta pendapat mengenai upaya dalam melakukan pencegahan pernikahan anak, Sugiri menegaskan, pengadilan hanya melaksanakan Undang-Undang yang berlaku. Secara konkrit, tugas tersebut juga menjadi tanggung jawab pemangku kepentingan lain, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Kementerian Agama (Kemenag).

“Ada instansi lain yang memang mempunyai konsen untuk mensosialisasikan  tersebut,” tambahnya. Intinya seluruh pemangku kebijakan perlu bekerjasama untuk mengimplementasikan UU Pernikahan Anak.

Peraturan tentang pernikahan anak seringkali berkaitan dengan alasan mendesak yang melatar belakangi kejadian, seperti KTD. Hal tersebut juga dijadikan sebagai landasan bagi hakim menetapkan hasil akhir yang diterima oleh pihak pengaju dispensasi.

“Ketika hakim menilai, oh ini wajar untuk diberikan dispensasi, ya kita akan berikan, tapi ketika hakim itu punya pertimbangan tersendiri, ya hakim nggak bakal memberikan izin,” jelas Sugiri.

Lina, bukan nama sebenarnya, harus berjuang sekuat tenaga membesarkan anak bersama sang suami sejak dari usia belia. (Foto: Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)
Lina, bukan nama sebenarnya, harus berjuang sekuat tenaga membesarkan anak bersama sang suami sejak dari usia belia. (Foto: Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)

Isu Patriarki di Pernikahan Usia Anak

Jika melihat data pernikahan di bawah 19 tahun pada salah satu kecamatan kota Bandung, yakni di KUA Arcamanik dari tahun 2019-2022 (September), tercatat secara resmi 35 perempuan dan 18 laki-laki yang mengajukan dispensasi pernikahan anak ke pihak pengadilan. Belum lagi kasus yang tidak tercantum di catatan sipil karena pernikahan siri. Seperti yang dilakukan Arhan, dan kemudian dialami Lina.

Kepala KUA Arcamanik, Toto membeberkan, jumlah pengaju pernikahan anak perempuan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.  Revisi batasan usia menikah minimal 19 tahun,  menyebabkan banyak perempuan mengajukan dispensasi. Namun dia menganggap situasi tersebut adalah hal yang normal.

Selain itu Toto menganggap jika keinginan menikah itu cenderung lebih dulu datang dari perempuan.

“Dan yang menuntut nikah, perempuan biasanya, laki-laki mah kan nggak, makanya tercatatnya di sini yang tercatatnya perempuannya, karena masalahnya ada di perempuannya,” ulasnya.

Berdasarkan temuan di lapangan, Toto jarang sekali menerima pengajuan pernikahan dari laki-laki. Perempuan kerap menyegerakan pernikahan, karena mengaku telah berhubungan badan, hingga terjadinya KTD.

Relawan PKBI, Hanifah Kartikasari mengatakan, sistem patriarki merupakan salah satu faktor yang turut melanggengkan praktik pernikahan anak. Sosok laki-laki dianggap memiliki otoritas terhadap anak-anak, perempuan, dan harta benda.

“Sebuah studi menunjukkan mayoritas perempuan di Indonesia yang menikah di usia 18 tahun, sebagian besar mengakui bahwa mereka menikah karena keinginan orang tuanya,” ujar Hanifah, Selasa (06/12/2022).

Sebagai bagian dari pergerakan menghapuskan ketimpangan terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, Hanifah mengatakan, PKBI turut terlibat aktif dalam proses perubahan aturan hukum mengenai pernikahan anak yang disahkan pada tahun 2019. 

Hanifah menambahkan, perubahan konstitusi ketentuan usia perempuan dalam perkawinan anak, tentu menimbang adanya unsur diskriminatif di dalamnya terhadap perempuan. Sebelum direvisi, laki-laki diperbolehkan menikah usia 19 tahun, sedangkan perempuan berumur 16 tahun. Ini berarti, perempuan memiliki peluang lebih tinggi putus sekolah dan berkeluarga di usia yang notabenenya masih anak-anak, dibandingkan dengan laki-laki.

Hanifah juga mengungkapkan, selain mengalami putus sekolah, perempuan terancam mengalami masalah pada kesehatan reproduksinya, potensi terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan mengalami gangguan mental. Kondisi tersebut  biasanya menjadi sebab terjadinya perceraian.

Berdasarkan studi kasus di dua klinik PKBI, yakni Klinik Teratai dan Klinik Mawar, perempuan dengan kondisi KTD menjadi pihak yang datang duluan ke klinik, dengan proporsi sekitar 30% atau 5-15 kasus per-bulan dari seluruh kunjungan.

Dokter Klink PKBI, Siti Hanifah menyebutkan, hal itu disebabkan banyak perempuan dalam kondisi KTD tidak berani datang langsung berkonsultasi tentang kehamilannya ke pihak kesehatan.

“Berkenaan dengan izin yang dipersulit, karena banyak dari mereka dilatarbelakangi kasus kekerasan dalam pacaran maupun perkosaaan. Biasanya, jalan tengah yang dipilih, jika pasangannya bertanggung jawab, adalah dengan menikah dibandingkan cek ke tim medis,” ungkapnya.

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 2 menyebutkan, anak harus mendapatkan perlindungan hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ditambah ketetapan CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) pada 24 Juli 1984 yang diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Saat sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Ruang Sidang Mahkamah Agung, 2014 silam, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Perempuan dan Ketua Komnas Perempuan 2010-2014 Yuniyanti Chuzaifah mengungkapkan, perkawinan anak telah melanggar HAM. Beberapa hak yang dilanggar diantaranya hak tumbuh kembang, hak pendidikan, hak atas sumber penghidupan, hak bebas dari kekerasan, dan hak dalam bidang sosial-politik.

Menurut Yuniyanti, saat hak seseorang mengampu pendidikan terhenti, maka hak mendapatkan kehidupan yang layak juga akan terhambat. Apalagi jika melihat banyak dari perempuan yang menikah di usia anak, sumber penghidupannya akan mengandalkan nafkah dari suami. Karena putus sekolah menyebabkan ia tidak siap menghadapi persaingan pasar kerja.

Baca Juga: ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #1: Bermain (Lagi) di atas Puing Anyer Dalam
ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #2: Di bawah Lindungan Masjid Al Islam Tamansari

Efek Domino Perkawinan Usia Anak

Salah satu pertimbangan dari revisi UU Perkawinan Anak adalah aspek organ reproduksi manusia yang dapat berfungsi dengan baik di atas usia 19 tahun. Sebagai Dokter Klinik PKBI, Siti menjelaskan, jika masih di bawah usia tersebut, walaupun mereka sudah memiliki sperma dan sel telur yang mengindikasikan aktif secara seksual, tapi hormonnya belum stabil dan matang. Hal itu mempengaruhi kestabilan emosi pada diri mereka.

Oleh karena itu Siti mengatakan, sangat penting bagi pasangan muda dalam mengatasi persoalan harus berpijak pada komitmen kedua belah pihak. Jika tidak demikian, bisa akhirnya berujung pada perpisahan.

Situasi tersebut dialami oleh Arhan yang mengalami perceraian dengan Dara, satu tahun setelah menikah. “Sebenarnya menikah itu harusnya yang benar-benar niat, khusyu dan siap mental, dari menikah itu harusnya merasakan dulu pahitnya bukan manisnya,” terang Arhan dengan suara yang meyakinkan.

Arhan mengakui, keinginan menikah tidak bersumber dari tekad yang bulat.  Namun didorong gambaran pernikahan yang terlihat menyenangkan sehingga membuatnya tergoda.

Sayangnya kenyataan berkata lain. Tantangan dalam menjalani kehidupan pernikahan jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Alhasil biduk keluarganya tidak bisa dipertahankan lagi. Padahal, ia memiliki tanggung jawab membesarkan buah hatinya yang baru berusia tiga tahun. 

“Apalagi yang udah punya anak itu, korbannya anak, tolong obrolin baik-baik jangan pernah pake emosi, harus ngeliatnya ke anak, jangan pernah lihat ke sisi lain, masalahnya seberat gimana pun,” saran Arhan ditujukan bagi mereka yang menjalani rumah tangga di usia muda.

Perlu waktu bagi Arhan mencerna perpisahan tersebut. Ia harus berpisah dengan anak kesayangan yang kini tinggal bersama mantan istrinya.  Seringkali rasa sedih datang, setiap kali mengantarkan kebutuhan anaknya. 

"Selalu alasan ke anak tuh, Papah berangkat dulu kerja ya, Kakak disini baik-baik, jangan pernah rewel, nakal, harus bisa ngertiin Papah juga, dengan posisi Papah kerja. Anak pun mengerti, tujuan seorang Papah itu untuk mencari nafkah untuk anak dan Ibunya” begitulah cara dirinya menenangkan anaknya dalam kesempatan temu yang singkat.

Sejauh ini, Arhan mengaku belum menemukan cara bagaimana menjelaskan perpisahan mereka kepada anaknya ketika sudah tumbuh dewasa nanti.  Ia juga tidak bisa membayangkan respon seperti apa yang akan diterimanya.

“Nggak tahu nanti sudah gede bakal gimana, bakal kecewa ke seorang Ayah atau seorang Ibu, itu kesalahan orang tua” ujarnya menahan tangis. 

Mengutip data Badan Peradilan Agama (Badilag), pada dasarnya usia pernikahan anak cenderung bertahan dalam tenggat waktu satu hingga dua tahun. Artinya berpotensi besar berujung pada perceraian. Maka jika terdapat 65.000 pasangan yang mengajukan dispensasi kawin, dan mereka memiliki satu sampai dua anak, 130.000 anak berpotensi mendapatkan pengasuhan yang tidak layak dari orang tuanya.

Potensi Kerentanan Generasi Selanjutnya

Isu lain dari pernikahan anak adalah kesehatan organ reproduksi dan jaminan keselamatan Ibu dan anak. Kehamilan yang terjadi pada usia anak-anak memiliki risiko tinggi. Menurut Siti, beberapa  perempuan masih menginginkan penampilan tubuh yang ideal, sehingga mengabaikan asupan gizi anak dalam kandungan, yang akhirnya mengakibatkan kekurangan gizi.

Lebih lanjut Siti menjelaskan, bentuk panggul yang belum berkembang baik dapat mempengaruhi perempuan ketika proses melahirkan, bahkan berpotensi keguguran. Bayi yang lahir cenderung lebih kecil karena persalinan prematur.  Akibatnya, anak tersebut memiliki kemungkinan menderita Anemia Defisiensi Besi atau Anemia Gizi Besi, yang menghambat perubahan kognitif, motorik, sensorik, dan sosial anak.

Lalu bagaimana dengan kondisi anak Lina?  Lina mengungkapkan, anaknya dalam kondisi baik.

“Alhamdulillah kondisi anak saat ini nggak mengalami stunting,” tuturnya.

Di lain pihak, Enok selaku bagian PKK Kelurahan Sukagalih, Sukajadi, mengkhawatirkan kondisi anak pertama Lina.  Dari pengamatannya, tinggi badan anak Lina terlihat lebih pendek dibanding teman seusianya. Jika benar  stunting, Enok menduga, kondisi  itu disebabkan malnutrisi dalam jangka waktu lama.  Jika dibiarkan, akan berdampak pada kecerdasan si anak. 

Enok seringkali melihat potret perempuan seperti Lina yang harus bersusah payah menanggung beban berat. Ia berharap, tidak ada lagi perempuan yang mengalami kasus seperti Lina di masa yang akan datang.

Saat ini, yang bisa dilakukan Enok adalah  berusaha membantu Lina  semampunya. Pun, ketika mengetahui ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan Lina ketika hendak meresmikan perkawinannya.  Informasi tersebut Enok konfirmasi langsung ke KUA Sukagalih dan ternyata bohong.

“Katanya nol biaya, kecuali biaya ongkos, dan itu ini kalau diurus sendiri,” tulis Enok saat dihubungi melalui pesan elektronik, Kamis (01/12/2022). 

Jika ditangani pihak setempat dengan tepat, seharusnya tahun 2020 pernikahan Lina bisa dilakukan di KUA melalui dispensasi dari Pengadilan Agama. 

Pengecualian Khusus dalam Situasi Terdesak

Merujuk pernyataan Sugiri, proses dispensasi pernikahan anak mulai dari pendaftaran hingga ke sidang tidak lebih dari 10 hari.  Namun itu belum termasuk proses sidang yang lamanya bergantung dari dinamika kasus itu sendiri. 

Di dalam proses pengajuan dispensasi kawin,  hakim akan memberikan saran atau nasihat, agar pihak pengaju mempertimbangkan permohonannya.  Idealnya, menurut Sugiri,  pernikahan anak sebisa mungkin dicegah di meja pengadilan.

Beberapa persyaratan seperti, catatan kesehatan fisik dan psikis menjadi syarat pengantar yang sebaiknya dipenuhi pihak pengaju, terlebih jika situasinya belum mendesak seperti yang dihadapi oleh Lina.

“Kalau psikolog itu memang dapat untuk didampingi, tapi bukan suatu kewajiban,” ungkap Sugiri.

Kendati demikian, Undang-Undang mensyaratkan adanya rekomendasi psikolog.  Namun dalam implementasinya, PA Kota Bandung belum menyediakan layanan tersebut untuk mengakomodasi kebutuhan para pengaju, sebelum lanjut ke meja persidangan.  Selama ini, ungkap Sugiri, rekomendasi psikolog bisa diganti dengan rekomendasi tokoh agama yang dipilih si pengaju.

“Di beberapa tempat, psikolog ini bukan psikolog murni, artinya dia hanya pendampingan, misalkan dia dari ustadzah atau ustadz, jadi tidak harus seorang psikolog, karena konotasinya sudah lain jika seperti itu, tapi memungkinkan,” ujar Sugiri.

Pernyataan Sugiri tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin yang diberlakukan sejak 21 November 2019. Jelas dalam pemeriksaan di persidangan, hakim akan mengidentifikasi kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan anak untuk melangsungkan perkawinan dan membangun kehidupan rumah tangga.  Hakim akan mengidentifikasi pula apakah terdapat unsur paksaan psikis, fisik, seksual atau ekonomi terhadap anak dan/atau keluarga untuk kawin atau mengawinkan anak.

Keberlanjutan Penanganan sebagai Langkah Konkret

Perkawinan usia anak berdampak juga pada munculnya pekerja anak.  PKBI secara ajeg menolak pekerja anak di mana seharusnya anak-anak menimba ilmu, bukan menanggung beban kerja yang besar.  Walaupun tidak mengampu pendidikan resmi, Siti berpandangan, setidaknya masa muda mereka tidak dihabiskan untuk urusan kerja yang komersil, apalagi bersifat eksploitatif.

Akan tetapi, Siti menyadari tuntutan hidup para penyintas perkawinan usia anak seringkali mengharuskan dirinya bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup.

“Kita punya projek bareng ILO (International Labour Organization) di Cibaduyut, mereka kerja di tempat pembuatan sepatu, yang berbahaya juga, rata-rata mereka itu putus sekolah, memilih bekerja keluarganya, PKBI sangat menentang apapun itu alasannya,” katanya. Ia khawatir, jika dibiarkan akan menyumbang angka yang tinggi terhadap stunting, kematian ibu dan anak, serta kekerasan dalam rumah tangga.

Menyikapi masih tingginya angka perkawinan usia anak, DP3AKB Jabar berkomitmen mengatasi kasus tersebut secara inovatif, kolaboratif dan integratif, yang melibatkan multipihak. Seperti mengadakan kerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Perwakilan Provinsi Jabar, kesepakatan dengan Kantor Wilayah Kemenag (Kementerian Agama), dan Pengadilan Tinggi Agama.

“Bulan November, kami juga sudah memperkuat komitmen bersama dengan Kabupaten/ Kota, melakukan pencegahan perkawinan anak ini, bersama dengan komunitas yang bergerak di perempuan dan anak, kami juga ada Motekar (Motivator Ketahanan Keluarga), Keluarga Berencana, termasuk di Kota Bandung,” ulas  Iin mengenai program yang telah dicanangkan, berkaitan dengan mengurangi angka perkawinan anak.

Di tingkat lokal, pihak KUA Arcamanik memiliki pendekatan tersendiri, yakni dengan mengadakan sosialisasi ke orang tua, melalui Majelis Taklim Diniyah.  Dengan tingkat pendidikan yang tinggi di wilayahnya, maka bukan hal sulit untuk memberikan pemahaman agar peraturan tentang pernikahan anak ditaati. 

Sementara Toto menegaskan, pihaknya akan patuh pada Undang-Undang yang berlaku.

“Menurut saya nggak mungkin Kepala KUA, penghulu berani melangkahi Undang-Undang,” tandas Toto saat ditanya mengenai kemungkinan adanya pelanggaran dari pemangku kepentingan, yang bertentangan dengan upaya mencegah pernikahan anak.

Toto bersama dengan para penyuluh melakukan sosialisasi ke pelajar di sekolah soal pernikahan yang sebaiknya dilakukan setelah siap secara fisik maupun mental, bukan hanya sekedar urusan hubungan seksual.  Penyuluhan serupa juga dilakukan oleh Kementerian Agama dengan program bimbingan remaja usia sekolah, remaja usia nikah, dan bimbingan calon pengantin.

Metode tersebut juga dilakukan Enok bersama tim Pokja PKK di wilayah Sukajadi. Enok mengaku kesulitan dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan pernikahan anak di daerahnya lantaran keterbatasan sumber daya.  Ia berharap seluruh pemangku kebijakan menyokong keberlanjutan program tersebut. Baginya, masalah pernikahan usia anak adalah tanggung jawab bersama.

*Reportase ini terbit berkat dukungan beasiswa peliputan "Yang Muda, Yang Mewartakan" yang diselenggarakan oleh Rutgers Indonesia dan Project Multatuli

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//