SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #3: Tahun Pertama dan Tahun Kedua
Sipatahoenan sejak awal diterbitkan bukan untuk mencari keuntungan, melainkan agar terbaca oleh sebanyak-banyaknya orang Sunda. Menjadi media pembelajaran politik.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
30 Desember 2022
BandungBergerak.id - Bagaimana perkembangan Sipatahoenan pada tahun pertama dan tahun kedua penerbitannya atau antara 1 Juli 1924 hingga 1 Juli 1926?
Jawabannya harus dicari dari edisi-edisi dua tahun itu. Saya akan mengulas hasil penelusuran tersebut, terutama tentang penulisan nama Sipatahoenan, inisial, periode dan hari terbit, jumlah halaman, langganan, pemasang iklan, penerbit dan percetakan, redaksi dan administrasi, agen, rubrikasi, penulis, dan pengalaman redaktur serta administratur Sipatahoenan selama dua tahun.
Penulisan nama Sipatahoenan memang menarik. Pada edisi 9 Desember 1924, namanya ditulis Si Patahoenan, tetapi sejak 16 Desember 1924, namanya ditulis Sipatahoenan. Apakah ini menunjukkan bahwa sejak diterbitkan pada 1 Juli 1924 hingga 9 Desember 1924, Sipatahoenan dituliskan sebagai Si Patahoenan?
Agaknya besar kemungkinan memang demikian. Karena saya menjumpai cara menuliskan inisial Sipatahoenan yang berbeda. Koran tersebut disingkat sebagai SP, yang tentu saja berarti dari Si Patahoenan. Pada waktu bersamaan, inisial Sip juga digunakan. Contoh penggunaan inisial SP terdapat pada tulisan “Koemite Basa Malajoe [Samboengan S.P. No. 24]” (16 Desember 1924) dan pada cerita bersambung “Kembang Sedepmalem” yang diberi keterangan “Moeng kanggo S.P. bae” (29 Juni 1926). Namun, hingga 1942, inisial yang konsisten yang digunakan adalah Sip.
Selama dua tahun pertama, Sipatahoenan diterbitkan seminggu sekali, pada hari Selasa, sebanyak empat halaman atau dua lembar per edisi. Bagi para pelanggan, Sipatahoenan dijual sebesar f. 1,5 per tiga bulan, f. 5 setahun, dan ecerannya seharga 15 sen per eksemplar. Harga iklan yang dipasang adalah f. 2 untuk 1/18 halaman dan f. 1,25 untuk 1/32 halaman, masing-masing sekali muat.
Umumnya pemasang iklan Sipatahoenan antara 1924-1926 adalah para pengusaha di Tasikmalaya. Misalnya dalam edisi 9 Desember 1924, ada toko tembakau Tjap Kipas, Pirelli Auto Banden (Fabriek Italie) Agentschap Afdeeling Tasikmalaya (Yo Tek Seng), Toko Soenda, Tabib Fazal Mohamad (Hindustan’s Medicine Shop), Si Djoen Kwan Toekang Gigi, Toko Universeel Agentschap Nic. Muller, Preanger Chemicalen Handel, Tegelfabriek Naja, Bibliotheek Sinar Kamadjoean, tukang kopiah Pasar Baru, tukang emas Dahjan, Tan Hoen Auw, N.V. Internationale Apothek Temanggoeng (hoofdagent di Tasikmalaya, Toko Pasoendan), Toko Buku Lezers Boekhandel, Hotel Siang Hay, Koek en Banketbakkerij Fabriek Raden Natamihardja, tukang jahit Pamandangan, dan Sinhe Tan Koo Hwie.
Ada pula pemasang iklan dari daerah sekitarnya, yaitu Ciamis, Garut, dan Bandung. Misalnya, Dukun Beranak Partikulir Nji R. Noerkati, kongkur mamaos di Pasar Malam Ciamis (Rd. Adiredja, Mantri Irigatie), dan Toko Soenda Proewita Trisna dari Ciamis. Lelang kayu di Garut. Para pemasang iklan dari Bandung antara lain Toko Buku M.I. Prawira-Winata, Dr. Tan Tjoen Haij, Ketoe Oedeng Makerij Halim, Toko Palekat Aming Abdoelhamid, Goena Perniagaan, Ketu Oedeng Makerij S. Abdoelgony, dan Algemeene Levensverzekering Maatschappij Indonesia.
Penerbit Sipatahoenan sebagaimana yang tertulis “Soerat Kabar Minggoean dikaloearkeun koe Tjabang Pasoendan Tasikmalaja” (surat kabar mingguan yang diterbitkan oleh Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya). Sementara percetakannya Soekapoera Drukkerij di Tasikmalaya (“Ditjitak di Soekapoera Drukkerij di Tasikmalaja”).
Alamat redaksinya Heerenstraat 31 dan administrasinya di Stationsweg 33. Redaksinya terdiri atas redaktur di Tasikmalaya Soetisna Sendjaja dan Atmawinata dan redaktur di Batawi (Batavia) Soeriadiradja. Direksinya Bestuur Pasoendan Tasikmalaya dan administraturnya K. Martakoesoema. Sementara kontributor dan agen Sipatahoenan terbagi menjadi beberapa daerah, yaitu di Priangan Timur (M.G. Kartaatmadja, Ciamis), Priangan Tengah (H.B. Pasundan, Bandung), Priangan Barat (M. Sahari, Bogor), dan Jawa Timur (Blaoeran G. II No. 28, Surabaya). Ini semua tertulis dalam edisi 9 Desember 1924.
Dalam perkembangannya hingga 1 Juli 1926, susunan di atas mengalami perubahan. Pada edisi 9 Juni 1925, kontributor Jawa Timur yang semula menggunakan “Blaoeran G. II No. 28, Surabaya” menjadi “Bestuur Pasundan Surabaya”. Sementara pada edisi 19 Januari 1926, susunannya menjadi Priangan Timur (Bestuur Pasundan Ciamis), Priangan Tengah (H.B. Pasundan), Priangan Barat (Bestuur Pasundan Bogor), dan Jawa Timur (Bestuur Pasundan Surabaya), ditambah di Cianjur oleh Bestuur Pasundan Cianjur.
Sebagai catatan, sejak 1 Maret 1925, alamat kantor dan Toko Pasoendan, serta administrasi Sipatahoenan pindah dari Stationsweg 17 ke Stationsweg 33, Tasikmalaya. Persis di depan Societeit Kaweningan Mitra (dalam edisi 3 Maret 1925).
Rubrikasi
Rubrikasi Sipatahoenan antara 1924 hingga 1926 dapat dikatakan masih terbatas. Rubrik tetapnya baru ada pojok “Ti Pipir Hawoe” yang digawangi oleh Soetisna Sendjaja, cerita bersambung yang diberi nama “Implik-implik”, korespondensi dengan pembaca dengan nama “Koropak”, petikan berita-berita singkat dari koran lain dengan nama “Kabar”, “Indonesia: tina s.k. Walanda”, dan “Loear Indonesia: tina s.k. Walanda”.
Rubrik “Implik-implik” mula-mula diisi dengan terjemahan cerita bersambung yang dimuat dalam koran De Locomotief karangan Sita Chattarie (9 Desember 1924). Kemudian sejak 23 Desember 1924, cerita bersambungnya diisi oleh K.M. dengan judul “Nji Djoeminem”. K.M. kemudian mengisi lagi cerita bersambungnya yang baru dengan judul “Kembang Sedepmalem” sejak 4 Mei 1926.
Seperti K.M., umumnya para penulis lepas yang memuatkan tulisannya di Sipatahoenan antara 1924-1926 masih banyak yang menggunakan inisial, atau nama depan, atau nama samaran. Soetisna Sendjaja sendiri kerap menyingkat namanya menjadi Soet Sen kala menulis artikel untuk Sipatahoenan, seperti yang nampak dari tulisan berjudul “Pateuas-teuas beusi” (9 Desember 1924) dan “Laksana?” (16 Desember 1924). Bakrie Soeraatmadja, yang disebut-sebut sebagai kontributor paling rajin mengisi Sipatahoenan, biasanya menggunakan inisial BS untuk tulisan-tulisannya. Misalnya “Salaris Commissie” (23 Desember 1924), “Voetbal-Bandoeng-Betawi” (30 Desember 1924), dan “Hak Tanah” (6 Januari 1925).
Kontributor lain yang rajin memuatkan tulisannya dalam Sipatahoenan adalah WA, yang kemungkinan besar merupakan kependekan dari Wangsaatmadja. Ia, yang seorang pegiat perhimpunan teosofi Galih Pakoean, banyak memuatkan karangan dan korespondensi yang berkaitan dengan teosofi. Saya antara lain mendapatkan tulisan karyanya yang bertajuk “Saoer Sepoeh” (9 Desember 1924), “Saoer Sepoeh: Samboengan S.P. 24” (16 Desember 1924), dan “Soesoeratan II” (13 Januari 1925).
Meski demikian, ada pula penulis yang menggunakan nama aslinya. Misalnya M. Engka Widjajaja, dari Cimurah, Garut, yang kemudian kita kenal sebagai salah seorang pengarang dan penerbit buku Sunda. Ia antara lain sempat menulis artikel berjudul “Basa Soenda” (20 Januari 1925), “Kahieuman” dan sajak Sunda atau guguritan mengenai Sipatahoenan (11 Agustus 1925).
Demikian pula dengan pengarang Sunda Moh. Ambri. Ia terbilang lumayan banyak memuatkan karangannya. Saya antara lain mendapatkan tulisannya yang bertajuk “Lelemboetan” (24 November 1925), “Kasoeroepan” (8 Desember 1925), “Sipatahoenan” (9 Februari 1926), “Poesaka Koromod” (9 Maret 1926), dan “Pikiran” (27 April 1926).
Soetisna Sendjaja dan Administrasi
Lalu, seperti apa perkembangan Sipatahoenan antara 1924-1926? Saya mendapatkan penjelasannya dari tulisan Soetisna Sendjaja dengan tajuk “Taoen ka 2” serta “Wartos ti Directie sareng Administratie” (30 Juni 1925), dan tulisan Ahmad Atmadja bertajuk “Kaajaan Sipatahoenan” (15 Desember 1925) dan “Doea Taoen” (6 Juli 1926).
Mula-mula, Soetisna menyatakan perkembangan Sipatahoenan antara 1 Juli 1924 hingga 1 Juli 1925 tidak mengalami halangan atau cobaan membahayakan. Meski demikian, katanya, masih jauh dari dapat dikatakan sangat nyaman. Tapi, indikator yang membuatnya sangat bahagia adalah kas Sipatahoenan tidak kosong, tidak punya hutang dan adanya pelanggan setia (“Koe kas teu koredas hoetang teu boga, langganan satia mani sakieu boengahna”).
Selanjutnya, secara tersirat ia mengharapkan agar Sipatahoenan menjadi koran harian. Dasarnya, masa iya orang Sunda yang berjumlah 6 juta tidak memiliki surat kabar harian, agar pikiran orang Sunda menjadi luas, tidak sempit (“Poegoeh moen henteu dipapaj disasar matak rada melengoek: hidji bangsa noe aja 6 malioenna, mani teu boga satjewir tjewir atjan soerat kabar poean: teu aja sapisarateun! Mangga Soenda, njanggakeun!”).
Apa jasa Sipatahoenan selama setahun itu? Soetisna menyatakan prinsip koran yang dikemudikannya, yaitu memperbaiki yang hendak melalukan perbaikan serta mempromosikannya, mengajak kepada hal-hal yang baik, kadang-kadang mengkritisi yang hendak berbuat kejelekan dan mengendalikan yang gagah yang hendak memaksa. Intinya, karena penerbitnya Paguyuban Pasundan (Tasikmalaya) meski bukan berkala resmi Paguyuban Pasundan, prinsip Sipatahoenan tidak akan lepas dari Paguyuban Pasundan.
Terhadap pemerintah, Sipatahoenan akan bersikap bagaimana pemerintah melaksanakan kebijakannya. Bila kebijaknnya dirasa merugikan rakyat kebanyakan, Sipatahoenan akan tampil menyuarakan kerugian tersebut. Sebaliknya bila pemerintah menyejahterakan rakyat, Sipatahoenan akan mendukung dan bekerjasama dengan pemerintah.
Selanjutnya administrasi Sipatahoenan melalui tulisan “Wartos ti Directie sareng Administratie” menyatakan bahwa hari itu Sipatahoenan genap berumur satu tahun (“Tjoendoek kana woekoe, datang kana mangsana Sipatahoenan dinten ieu pisan djangkep oemoerna SATAOEN”). Lebih jelasnya, ulang tahun pertamanya jatuh pada 1 Juli 1925 (“1 Juli 1925, nja eta taoenan Sipatahoenan [Minangkana mah jarig, toeh geuning nganggo dikembang kembang dirampean sagala Lettersz]”).
Pihak administrasi menyebutkan bergantungnya nasib Sipatahoenan kepada langganan, sehingga mereka mengajak agar para pelanggan tetap memperhatikan kewajiban mereka membayar uang langganan. Mereka mengatakan Sipatahoenan lahir pada 1 Juli 1924 saat serba susah, karena adanya malaise. Oleh karena itu, mula-mula penerbit Sipatahoenan merasa khawatir akan berhenti di tengah jalan (“Sipatahoenan didjoeroekeunana dina 1 Juli 1924, waktos noe katjida sesahna. Bezuiniging keur meudjeuhna tengah tengah djalan dina keur tatarikna pisan. Malaise ngadjatohkeun pirang pirang padagang teu pilih bangsa teu pilih boeloe. Noe ngaloearkeun Sip teu kinten risina dina ngamimitian njebarkeun Sip. Bilih mopo nembe kenging doea tiloe lengkah oepami noe leumpang tea mah”). Biasanya penerbit mengalami kekurangan biaya, tidak ada uang untuk mencetak dan membeli prangko.
Namun, dengan adanya pelanggan setia, Sipatahoenan, kata administrasi, dapat terus berjalan. Uang kas Sipatahoenan pun tidak terlalu mengkhawatirkan, bila hanya untuk sekadar mencetak koran. Ditambah sekarang, 1925, keadaan krisis ekonomi sudah agak berkurang, meski kenaikan pajak sangat memberatkan.
Selanjutnya, untuk 1926, dengan dikuranginya bezuiniging oleh pemerintah, pihak administrasi Sipatahoenan mengajak para pelanggan untuk melanjutkan lagi dukungan mereka terhadap pembelian percetakan. Katanya, “Drukkerij Pasoendan, kawitna ngaranna oge bade Sipatahoenan, nanging waktoe ieu artos Pasoendan anoe pangseueurna dina eta drukkerij, menggah pangdeudeul ti loear teu kirang, nanging edas koe arang pisan meh teu njoempoenan kana ketjlakna tjai noe ninggang kana batoe. Atoeh doego ka waktos ieu teh Drukkerij moeng ngabigeug ‘dina aja keneh kakirang’ f. 750 di lebah Drukkerij mah masih el deet pisan. Dengan demikian, mereka mengajak pelanggan Sipatahoenan menjadi pemilik saham percetakan dengan hanya uang satu rupiah per saham yang besarnya f. 10.
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #2: Soetisna Sendjaja Sang Bapak
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #1: Gagasan dan Titimangsa Terbit
Media untuk Belajar Politik
Sebelum Soetisna Sendjaja dan administrasi Sipatahoenan menjelaskan keadaan Sipatahoenan selama setahun, ada PK yang menegaskan pentingnya Sipatahoenan melalui tulisan “Sipatahoenan djeung Oesaha Oerang” (27 Januari 1925). Setelah Soetisna dan administrasi, ada pelanggan majalah Poesaka Soenda (PS) yang mengucapkan selamat ulang tahun pertama (8 Agustus 1925) dan L.b.M.m yang mengusulkan untuk mengganti nama Sipatahoenan (11 Agustus 1925).
PK menulis, “Sipatahoenan teh soerat kabar noe ngabogaan angkeuh djadi toedoeh djalan atawa pangaping tina hal kasalametanana djeung djadi sorana kamadjoeanana priboemi Indonesia. Babakoena koe margi basana basa Soenda, nja pikeun oerang Pasoendan. Ti sadjolna ka alam doenja nepi ka kiwari, eusina noe parantos dipidangkeun teh seueur noe ngahidji djeung oesahana oerang priboemi. Lain ngan njarioskeun tiorina bae, nanging leutik-leutik keneh oge kapan parantos boekti”.
Artinya, Sipatahoenan adalah surat kabar yang menganggap diri menjadi petunjuk jalan atau pendamping untuk keselamatan dan suara kemajuannya bangsa bumiputra Indonesia. Terutama karena menggunakan bahasa Sunda, [Sipatahoenan] ditujukan bagi orang Pasundan. Dari sejak mulai diterbitkan hingga kini, isi yang sudah dihidangkan [Sipatahoenan] itu banyak yang menyatu dengan usaha bangsa bumiputra. Bukan hanya dalam teori belaka, tetapi meski kecil ada yang sudah terbukti. Selanjutnya, PK menguraikan contoh-contoh bukti nyatanya.
Pelanggan PS di awal tulisannya yang bertajuk “Ngiring Bingah” menyatakan bahwa Sipatahoenan sudah genap setahun dan hari ulang tahunnya semua orang (Sunda) wajib turut berbahagia (“Diantawis para Djoeragan djoeragan tangtos seueur anoe aroeninga, jen dinten Salasa poengkoer ping 30 Juni ’25 Sipatahoenan parantos tjoendoek ka woekoe datang ka mangsa, kana djedjeg ngadegna sataoen. Hidji dinen anoe kedah diangken pangeling-eling, margi nja dinten eta Sipatahoenan mimiti jarigna (een-jarigna bestaan). Wadjib sarerea koedoe miloe boengah!!!”).
Pelanggan PS berharap agar para pelanggan Sipatahoenan kian setia, bersungguh-sungguh, agar koran tersebut dapat berulang tahun lagi. Di sisi lain, katanya Sipatahoenan dapat dikatakan “adiknya” PS, sebab bahasanya sama bahasa Sunda, tujuannya sama hendak memajukan martabat orang Sunda, dan redakturnya juga ada yang sama yaitu Soeriadiradja yang menetap di Batavia.
L.b.M.m lain lagi pendapatnya. Dalam tulisan “Ngaran Sipatahoenan”, ia menyarankan agar nama Sipatahoenan diganti dengan nama Sinar Patahoenan, mengingat makna kata tersebut sangat mendalam, dan karena kata sandang Si yang dianggap merupakan suatu aib. Mengenai kata Patahoenan, ia berpendapat, konon di Sungai Cigugur, Desa dan Onderdistrik Cijulang, ada sebuah lubuk yang diberi nama Leuwi Patahoenan. Lubuk tersebut dapat dikatakan “sarang ikan” dan punya kekeramatan tersendiri, karena menurut mitos, lubuk tersebut adalah bekas taman para putri bidadari. Atas usulan itu, redaksi Sipatahoenan mengomentarinya dengan candaan.
Menjelang akhir 1925, Ahmad Atmadja menuliskan keadaan Sipatahoenan. Seperti sebelumnya, pada awal tulisan “Kaajaan Sipatahoenan” ia menulis bahwa Sipatahoenan pertama diterbitkan pada saat keadaan ekonomi yang serba susah. Salah satu yang membuat Sipatahoenan bertahan, kata Ahmad Atmadja, adalah banyaknya orang Sunda yang mulai suka membaca (“Nanging koe margi seueurna oerang Soenda noe parantos eungkeut-eungkeut resep kana matja”), sehingga bahkan mendapatkan bantuan berupa tenaga, bentuk karangan dan uang. Banyak pula yang membayar langsung satu tahun langganan.
Ahmad Atmadja menyebutkan bahwa niat menerbitkan Sipatahoenan bukan hendak mencari keuntungan, melainkan agar terbaca oleh sebanyak-banyaknya orang Sunda. Harapannya, dengan adanya koran Sunda, orang Sunda tambah menyukai kegiatan membaca, tambah menyukai kegiatan menulis untuk memperlihatkan minat, kehendak, dan menguraikan cita-cita (“Soegan sareng soegan koe ajana koran Soenda, koran basa Soenda, oerang Soenda langkoeng woewoeh resep kana boetjoe-batja, langkoeng resep kana koeroeng karang nembongkeun karep sareng kahojong atanapi ngadadarkeun tjita-tjita, tjek omongan djaman ajeuna mah”).
Sedangkan maksud Sipatahoenan terbilang banyak. Para pengelolanya hendak memajukan ekonomi bangsa bumiputra, mengangkat harkat derajat bangsa bumiputra, hendak memberi jalan kepada rakyat kebanyakan, bagaimana turut bergabung mengelola negara, mendukung kemajuan pendidikan bangsa bumiputra. Praktiknya, Sipatahoenan adalah emdia untuk memberi tahu bagi yang tahu kepada yang belum tahu (“Djadi minangka Sipatahoenan teh njajagikeun tempat anggoeun mere njaho ti noe njaho ka noe teu njaho”).
Dalam pandangan Ahmad Atmadja, Sipatahoenan semestinya diterbitkan di Bandung, pusatnya orang Sunda, kota besar yang menjadi Parisnya Indonesia (“sajaktosna Sip teh dikaloearkeunana pantesna di Bandoeng, poeseurna oerang Soenda, kota gede Parisna Indonesia”). Tetapi bila Sipatahoenan diterbitkan di Bandung akan terkendala dengan biayanya, karena di kota besar seperti Bandung segala ihwal termasuk mahal. Kata Ahmad Atmadja, barangkali harga langganan Sipatahoenan bila diterbitkan di Bandung selama empat bulan sebesar f. 2,5, bukan f. 1,5 seperti di Tasikmalaya.
Ia membandingkan dengan koran berbahasa Belanda yang dapat hidup dari iklan, tidak menggantungkan diri dari uang langganan. Sementara di koran bumiputra, pemasang iklan banyak yang tidak membayar, meski harga iklannya kecil. Bahkan ada pula yang membayarnya dengan buku. Alhasil, menurut Ahmad Atmadja, “Djadi ari di koran priboemi mah oepami sanes tina artos langganan, teu aja pisan anggoeun ongkos koran teh” (Jadi, kalau di koran bumiputra itu tidak akan punya ongkos, selain dari uang langganan”).
Kepada kalangan pelanggan, Ahmad Atmadja mengajak agar tetap membayar uang langganan. Ia tidak habis pikir oleh pelanggan yang sebenarnya kaya, tetapi ketiga ditagih, bukannya membayar tetapi memutuskan berhenti berlangganan. Ia juga menyampaikan keanehan bahwa ada orang yang takut oleh koran bangsa bumiputra, meskipun orang bersangkutan pangkatnya tinggi, tapi tetap menyangka bahwa koran bumiputra itu koran komunis belaka (“Eta noe sieuneun koe koran priboemi. Sakitoe pangkat loehoer tapi njangkana teh ari koran priboemi mah koran koeminis bae”).
Pada edisi 6 Juli 1926, Ahmad Atmadja mengulangi pandangannya dalam tulisan peringatan saat Sipatahoenan menginjak dua tahun. Dalam tulisan berjudul “Nista, Madja, Oetama” itu ia menyatakan bahwa 1 Juli 1926, umur Sipatahoenan genap dua tahun dan sekarang mulai lagi nomor pertama tahun ketiga (“Tanggal hidji Juli 1926 oemoerna Sipatahoenan djedjeg doea taoen; sareng ajeung ngamimitian deui nomer hidji tahoen katiloe”).
Selama dua tahun, katanya, penerbitan Sipatahoenan berjalan dengan lancar. Soekapoera Drukkerij yang mencetaknya juga tidak pernah mengalami keterlambatan. Selanjutnya, Ahmad Atmadja menegaskan tentang Sipatahoenan yang dimaksudkan sebagai media untuk pembelajaran politik. Intinya, Ahmad Atmadja tetap menggarisbawahi bahwa Sipatahoenan hendak melaksanakan maksud Paguyuban Pasundan (“Djadi tjindekna mah Sip teh hajang ngalaksanakeun maksoed Pagoejoeban Pasoendan”).