• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #2: Soetisna Sendjaja Sang Bapak

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #2: Soetisna Sendjaja Sang Bapak

Raden Soetisna Sendjaja (1890-1961) seorang penulis dan jurnalis. Bapak ideologis Sipatahoenan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Soetisna Sendjaja menjadi redaktur Sipatahoenan antara 1924 hingga 1931. (Sumber: konstituante.net)

15 Desember 2022


BandungBergerak.idOedjang, lir oepama bapa nendjo ka anak geus tawekal hiroep sorangan kalawan kamoeljaanana ... lir goeroe nendjo oeroet moerid geus meunang kaloenggoehan noe oetama dina hiroep koemboeh ... tah kitoe kaboengahan Abah dina waktoe ieu, nendjo hidep geus tjoemarita (Ujang, bak seorang bapak melihat anaknya sudah hidup mandiri disertai kemuliaan ... bak seorang guru melihat bekas muridnya telah mendapatkan kedudukan utama dalam kehidupan ... begitulah kegembiraan Bapak saat ini, kala melihat kau sudah dapat berbicara).

Demikian yang ditulis Soetisna Sendjaja (1890-1961), kerap disingkat Soetsen, saat memperingati tahun kesepuluh penerbitan Sipatahoenan. Paragraf pertama itu saya temukan dari tulisan Soerat ti Djrg. Soetisna Sendjaja yang bertitimangsa Tasikmalaja, April 1933 (10 Taoen Dagblad Sipatahoenan, 1933).

Pada paragraf selanjutnya, Soetsen menulis, “Barang hidep goebrag ka doenja, nja Abah noe kapasrahan ngarorok hidep. Abah teu rek njaritakeun kahesean djeung katjapean, da lain Abah sorangan, toeroeg-toeroeg risi, bisi hidep boga sangka Abah hajang dipoelang tamba (Kala kau dilahirkan ke dunia, Bapaklah yang diberi kepercayaan untuk merawatmu. Bapak takkan menceritakan kesulitan dan kepenatan, sebab bukan Bapak sendiri saja [yang mengurusmu], apalagi risi, jangan-jangan kau sangka Bapak ingin dibalas budi).”

Penggunaan kata Oedjang dan  Abah pada pernyataan di atas dapat dibaca sebagai penanda hubungan antara Soetsen dengan Sipatahoenan. Hubungan tersebut berupa anak dengan bapak. Artinya, Soetsen menganggap Sipatahoenan sebagai seorang anak yang turut dibesarkannya. Sudah pasti bukan anak biologis, melainkan “anak ideologis” yang dikandung oleh Soetsen bersama kawan-kawannya di Paguyuban Pasundan.

Memang pantas bila Soetsen menempatkan dirinya sebagai bapak Sipatahoenan, mengingat bersama pengurus Pasundan cabang Tasikmalaya lainnya ia yang mula-mula melahirkan dan mengembangkan berkala itu. Sebagai “bidan” Sipatahoenan, ia mengakui (Op Hoop van Zegen dalam Sip 1923-1953) , “Sidik ... teu mentjog satjongo buuk, kudu djadi indung beurang, maradjian Sipatahoenan, ngaran nu ditjandak ti Bandung, Bandung ngan ukur ngadjurung, ngaluarkeun surat kabar (Nyata ... tidak jauh dari sangkaan, saya harus menjadi dukun beranak untuk membidani kelahiran Sipatahoenan, nama yang dibawa dari Bandung, Bandung yang hanya mendorong, menerbitkan surat kabar).”

Pandangan terhadap Sipatahoenan sebagai anak juga disampaikan oleh Bakrie Soeraatmadja pada salah satu tulisannya (Sipatahoenan dina Djaman Djadjahan, dalam Sip 1923-1953). Ia antara lain menyatakan, “Medalna Sipatahoenan teh dina waktu nu mustari, sabab dina mangsa harita mah, nu ngaluarkeun surat kabar katjida langkana, komo deui ari surat kabar basa Sunda teh teu aja pisan, iwal ti pustaka mangsa kaluaran Bale Pustaka, djadi henteu matak heran mungguh Sipatahoenan mah geus bisa nampa duit pamajar langganan dina poean dipedalkeunana, meh henteu aja bedana tjara nu ‘njeumpal’ ka orok nu kakara didjurukeun bae (Terbitnya Sipatahoenan itu pada waktu yang tepat, sebab saat itu yang mengeluarkan surat kabar sangat jarang, apalagi surat kabar berbahasa Sunda tidak ada sama sekali, kecuali berkala terbitan Balai Pustaka, jadi tidak heran bila Sipatahoenan pada hari pertama penerbitannya sudah dapat menerima uang langganan, hampir tidak ada bedanya dengan orang yang memberi hadiah bagi bayi yang baru dilahirkan).”

Memang Soetsen adalah “bapak ideologis” bayi Sipatahoenan yang dilahirkan dari rahim Paguyuban Pasundan. Anaknya sendiri berjenis kelamin laki-laki seperti yang diisyaratkan dari kata Oedjang, dari kata bujang yang berarti anak laki-laki. Ini sangat menarik, sebab memperlihatkan pandangan patriarki Soetsen dan barangkali umumnya Paguyuban Pasundan terhadap terbitan berkalanya tersebut. Hal ini berbeda, misalnya, dengan pemilik dan pengelola majalah Mangle, berpuluh tahun setelah Sipatahoenan terbit, yang menganggapnya berkelamin perempuan, sehingga kerap disebut Nyi Mangle.

Menariknya, Paguyuban Pasundan sendiri ditempatkan oleh Soetsen sebagai ibu bagi Sipatahoenan. Dalam suratnya (1933), Soetsen menyatakan, “Abah pertjaja, hidep bakal paeh poso ngabelaan indoeng hidep, sarta Abah njaho, hidep enggeus ngabantoe ka doeloer-doeloer, babarengan digawe pikeun kadjembaranana lemah tjai djeung bangsa hidep (Bapak percaya, kau akan berjuang mati-matian membela ibumu, serta Abah tahu kau telah membantu saudara-saudara, bekerja sama demi kesejahteraan tanah air dan bangsamu).”

Pandangan yang sama disampaikan ketua Pengurus Pusat Paguyuban Pasundan R. Oto Iskandar di Nata. Oto sama-sama menempatkan Sipatahoenan sebagai anak laki-laki, Paguyuban Pasundan sebagai ibu, dan Oto sendiri sebagai paman. Ini saya temukan dari Soerat ti Voorzitter H.B. Pasoendan (10 Taoen Dagblad Sipatahoenan, 1933).

Pada awal suratnya Oto mengatakan, “Poetra! Mamang kapapantjenan koe toeang Iboe, Pagoejoeban Pasoendan, sipatna ngawakilan tjoemarita ka andika, rehing andika boelan ieu djedjeg sapoeloeh taoen tandang koematjatjang nohonan kawadjiban (Putra! Paman ditugaskan oleh ibumu, Paguyuban Pasundan, sebagai wakil untuk berbicara kepadamu, bahwa kau bulan ini genap sepuluh tahun tampil memenuhi kewajiban).”

Soetisna Sendjaja mula-mula menjadi redaktur Sipatahoenan bersama Atmawinata dan Soeriadiradja (redaktur di Batavia) antara 1924-1928. (Sumber:  Sipatahoenan, 9 Desember 1924)
Soetisna Sendjaja mula-mula menjadi redaktur Sipatahoenan bersama Atmawinata dan Soeriadiradja (redaktur di Batavia) antara 1924-1928. (Sumber: Sipatahoenan, 9 Desember 1924)

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #1: Gagasan dan Titimangsa Terbit
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #11: Direktur Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #10: Sportpark Tegallega, VORL, dan Museum Parahiangan

Redaktur dan Pemimpin Redaksi

Selain sebagai bapak, Soetisna Sendajaja adalah redaktur pertama Sipatahoenan. Menurut tulisan Sipatahoenan 10 Taoen (10 Taoen Dagblad Sipatahoenan, 1933) dan keterangan Ahmad Atmadja (Pangeling-eling Sipatahoenan 10 Taoen, 1933; dan Tri Dasa Warsi, 1953), redaktur pertama Sipatahoenan memang Soetsen.

Mengapa Soetsen yang terpilih untuk mengemudikan Sipatahoenan? Tentu saja karena ia berpengalaman mengelola surat kabar. Untuk itu, agaknya, ada baiknya saya membahas sekilas riwayat hidup Soetsen sebagai latar keterlibatannya di dunia kewartawanan.

Raden Soetisna Sendjaja alias Momo Soekarma lahir pada 27 Oktober 1890 di Wanaraja, Garut. Ia mempunyai kakak yang sama-sama aktif dalam organisasi kesundaan Wirasendjaja, guru HIS Cianjur. Soetsen pernah belajar di Sakola Raja atau Kweekschool di Bandung bersama dengan sastrawan Sunda Moh. Ambri. Selepas dari sana, pada 1911, ia menjadi pengajar di HIS Serang, Banten. Kemudian, mengajar di HIS Banjarsari, Bandung (Onderwijzer HIS No. 2, Bandung). Selama mengajar, Soetsen melanjutkan pengajarannya ke HKS. Selanjutnya, ia kembali menjadi pengajar, sebagai guru HIS Pasundan I Tasikmalaya.

Sebagai penulis dan jurnalis, Soetsen pernah beberapa kali menjadi redaktur bahkan pemimpin redaksi. Ia menulis untuk Padjadjaran (1918-1920), menjadi redaktur surat kabar Pasoendan (1919-1920) terbitan Paguyuban Pasundan, redaktur Siliwangi (1921-1922) bersama Ema Bratakoesoema. Kemudian bersama Ahmad Atmadja membidani kelahiran Sipatahoenan tahun 1924. Lalu dengan Soeriadiraja, R. Moch. Enoch, dan Bakrie Soeraatmadja, ia menjadi redaktur Langlajang Domas (1927-1928), yang juga terbitan Paguyuban Pasundan.

Soetsen turut membidani sekaligus menjadi pemimpin redaksi Al-Mawaidz (1933-1936). Pada 1956, Soetsen bersama Ema Bratakusuma, Supyan Iskandar, Otong Kosasih menerbitkan Kalawarta Kudjang (1956), dan bertindak sebagai pemimpin redaksinya.

Di bidang organisasi dan pergerakan nasional, mula-mula Soetsen aktif di Paguyuban Pasundan. Ia tercatat sebagai Sekretaris I pada kepengurusan Paguyuban Pasundan periode 1918-1920. Sejak 1918, ia pernah dicalonkan sebagai anggota Volksraad, demikian pula untuk periode 1927-1931. Bersama Otto Soebrata dan Bakrie Soeraatmadja dari Paguyuban Pasundan, Soetsen aktif pula pada PPPKI yang didirikan pada 17 Desember 1927.

Kembali ke Soetsen sebagai redaktur Sipatahoenan. Setelah saya lakukan penelusuran koleksi Sipatahoenan dari Perpustakaan Nasional RI dapat diketahui Soetsen menjadi redaktur koran itu antara 1924 hingga 1931. Selama rentang itu ada beberapa temuan menarik, di antaranya ia sempat menjabat sebagai hoofdredactie atau pemimpin redaksi bersama seorang lainnya.

Secara rinci, dari 1 Juli 1924 hingga 26 Juni 1928, Soetsen bersama Atmawinata menjadi redaktur Sipatahoenan, ditambah Soeriadiradja sebagai redaktur di Batawi. Antara 3 Juli 1928 hingga 11 September 1929, ia menjabat sebagai redaktur Sipatahoenan bersama Bakrie Soeraatmadja dan A.S. Tanoewiredja sebagai vaste medewerker (pembantu tetap).

Sejak 7 Januari 1929, Sipatahoenan mengenal jabatan hoofdredacteur atau pemimpin redaksi. Pemimpin redaksi pertamanya Bakrie Soeraatmadja. Sementara Soetsen saat itu masih menjabat sebagai redaktur bersama A.S. Tanoewiredja. Ketika Bakrie pindah ke Bandung, sejak 1 November 1930, yang menjadi hoofdredacteur adalah Tanoewiredja, sedangkan Soetsen (di Tasikmalaya) dan Bakrie (di Bandung) menjadi redakturnya. Selanjutnya, sejak 3 November 1930, redaksi Sipatahoenan diperkuat kehadiran Mohamad Koerdie sebagai vaste medewerker, dengan susunan hoofdredacteur A.S. Tanoewiredja, redacteuren Soetisna dan Bakrie (di Bandung).

Keterlibatan terakhir Soetsen dalam redaksi Sipatahoenan adalah sebagai hoofdredactie bersama Tanoewiredja antara 9 Februari 1931 hingga 24 Februari 1931. Selanjutnya, sejak 25 Februari 1931 kedudukan hoofdredactie digantikan oleh Bakrie dan Tanoewiredja.

Dalam pojok “Ti Pipir Hawoe”, Gelenjoe (Soetisna Sendjaja) mengkritisi langganan yang tidak baik, orang-orang yang memusuhi Sipatahoenan karena terkesan blak-blakan memperjuangkan keadilan, sekaligus mengajak agar orang Sunda berpikiran luas. (Sumber: Sipatahoenan, 14 Juli 1925)
Dalam pojok “Ti Pipir Hawoe”, Gelenjoe (Soetisna Sendjaja) mengkritisi langganan yang tidak baik, orang-orang yang memusuhi Sipatahoenan karena terkesan blak-blakan memperjuangkan keadilan, sekaligus mengajak agar orang Sunda berpikiran luas. (Sumber: Sipatahoenan, 14 Juli 1925)

Pojok Ti Pipir Hawoe

Salah satu ciri khas Sipatahoenan di masa redaktur Soetisna Sendjaja adalah adanya pojok Ti Pipir Hawoe (dari pinggir tungku). Saya menemukan pojok tersebut dari edisi 9 Desember 1924, koleksi Sipatahoenan paling lama yang ada di Perpustakaan Nasional RI, hingga edisi 10 Maret 1931.

Bila membaca tulisan-tulisan di Ti Pipir Hawoe, saya yakin yang menulisnya Soetsen, terutama antara 1924 hingga 1928. Salah satu penandanya adalah gaya penulisannya yang memang menjadi ciri khas Soetsen. Setelah 1928, bisa dikatakan penulisnya berbeda-beda.

Selengkapnya, antara 1924-1928 penulis di bawah pojok itu adalah “Gelenjoe”, tetapi sejak 1929 nama-nama penulisnya bermacam-macam. Misalnya ada Si Koetjrit (Sipatahoenan, 20 dan 22 Februari 1930), Ehe (Sipatahoenan, 25 Februari 1930), Mang Odey (Sipatahoenan, 17, 19, dan 23 Desember 1930). Bahkan ada yang dibubuhi Loear tanggoengan redaksi pada Sipatahoenan edisi 10 Maret 1931. Saya kira, hal tersebut menandakan penanggung jawab Ti Pipir Hawoe berubah-ubah, tidak tetap seperti pada periode 1924-1928.

Kata Gelenjoe mengandung arti senyum yang ditahan-tahan (R. Satjadibrata, Kamus Basa Sunda, 1954: 126, 156). Dari artinya, saya pikir, kata Gelenjoe sangat pantas dijadikan sebagai penjaga atau penulis pojok. Mengingat ia bersifat menertawakan atau memberi senyuman terhadap berbagai hal yang menjadi objek tulisannya, tetapi dengan ditahan-tahan. Sudah pasti maksudnya agar tidak terkesan menghina.

Kata Gelenjoe pun kerap dijadikan kata ganti diri penulisnya. Misalnya pada kalimat “Gelenjoe ma’loem oerang kampoeng reuwas nendjo noe bedegoel kitoe toeroen tina mobil (maklum orang kampung, Gelenjoe terkejut melihat orang botak tidak memakai topi turun dari mobil)” (Sipatahoenan, 17 Maret 1925). Kadang-kadang penulisnya menggunakan kata ganti koering (saya) atau oeing, tetapi kebanyakannya menggunakan kata ganti Abah. Penggunaan kata Abah tentu saja mengingatkan kita pada perlakuan Soetsen terhadap Sipatahoenan yang dianggap sebagai anaknya. Dengan demikian dapat dikatakan, kata ganti Gelenjoe, koering, dan Abah dapat diidentikkan dengan Soetsen.

Prinsip kritik yang disampaikan Gelenjoe lewat Ti Pipir Hawoe terbaca dari tulisan “Tepoeng Pangdjoeroean (Jarig? Taoenan?) (Sipatahoenan, 30 Juni 1925). Intinya “Noe loehoer teuing ditjentok, noe handap dihandjatkeun, tapi djalanna djalan tjinta (asih) teu djeung dengki (Yang terlalu tinggi ditarik ke bawah dan yang bawah dinaikkan)”, dengan catatan “Ngalampahkeun kitoe teh jaktos abot, nanging reudjeung kagoembiraan nja boektina imoet (berlaku seperti itu memang berat, tetapi dibarengi kegembiraan yang terbukti dengan senyuman)."

Bagaimana Gelenjoe memandang zaman itu? Mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Sipatahoenan  edisi 14 Februari 1928. Gelenjoe menulis, “Tapi koemaha dina djaman ajeuna? Djaman mareboetkeun kahiroepan, djaman pergerakan, djaman somah nembongkeun angen-angenna, djaman pamaréntah henteu pertjaja ka somah, nja kitoe deui sabalikna, djaman politie intip-intipan, reserse soesoeloempoetan (Tapi bagaimana zaman sekarang? Zaman memperebutkan kehidupan, zaman pergerakan, zaman rakyat memperlihatkan angan-angannya, zaman pemerintah tidak mempercayai rakyat, dan sebaliknya, zaman polisi terus mengawasi).”

Artinya, memang Sipatahoenan terlahir di zaman bergeraknya bangsa bumiputra. Termasuk sikap otokritik, seperti mengkritik mentalitas menak (bangsawan) Sunda. Antara 1924-1928, kita dapat membaca ihwal tersebut, misalnya pada Sipatahoenan edisi 6 Januari 1925 dan 22 Juni 1926 yang berisi kritik terhadap majikan yang menyusahkan anak buah, kawan yang berubah sikap setelah menjadi menak (Sipatahoenan, 27 Januari 1925), orang yang mengajukan gelar raden (Sipatahoenan, 10 Februari 1925), soal kebiasaan duduk merendahkan diri (Sipatahoenan, 17 November 1925), kelakuan menak yang tidak konsisten (Sipatahoenan, 27 Juli 1926), maunya disebut juragan (Sipatahoenan, 8 Pébruari 1927), menak yang menjilat atasan (Sipatahoenan, 3 Méi 1927), dan lain-lain.

Karena Sipatahoenan diterbitkan oleh Paguyuban Pasundan cabang Tasikmalaya, pojok Ti Pipir Hawoe memperlihatkan tanggapan terhadap koran tersebut sekaligus terhadap Paguyuban Pasundan. 

Mengenai sejarah Paguyuban Pasundan cabang Tasikmalaya antara lain terbaca dari Sipatahoenan edisi 17 Juli 1928. Di situ disebutkan, “Tah geuning euj, di Soekapoera aja Tjabang Pasoendan teh, anoe oejoehan hiroep, diadegkeunana dina oesoem Afd. B, djelema keur meudjeuhna gigis koe boei, roeksak kapertjaanana katambah djeung digigila diririwaan sagala, tapi nikreuh ngeureujeuh, teu galideur, dina boeleudna 6 taoen geus boga MULO Pasoendan (Nah, di Sukapura (Tasikmalaya) ada cabang (Paguyuban) Pasundan, yang untungnya dapat hidup, (karena) didirikan pada musim Afdeeling B, saat orang sedang takut-takutnya dipenjara, kepercayaannya rusak ditambah ditakut-takuti, tetapi secara bertahap terus berkembang, bergeming, setelah genap enam tahun sudah memiliki MULO Pasundan).”

Namun, konon, selama Paguyuban Pasundan berdiri selalu saja ada yang berupaya merintanginya. Demikian pula ketika Sipatahoenan terbit, sebagai berkala terbitan Pasundan cabang Tasikmalaya. Katanya, “Tapi aneh doeloer-doeloer, ari di padoekoehan di kampoeng mah, nepi ka aja mata-mata nalingakeun, saha noe djadi lid Pasoendan, atawa noe matja Sipatahoenan, malah tjeuk Djoer. Taeun mah aja sirkoelir rasiah, noe matak oelah matja koran eta (Tapi anehnya, saudara-saudara, di padukuhan dan di kampung ada yang menjadi mata-mata pengawas, barang siapa menjadi anggota (Paguyuban) Pasundan, atau membaca Sipatahoenan, bahkan kata Tuan Anu ada edaran rahasia yang melarang membaca koran tersebut).”

Padahal haluan Paguyuban Pasundan adalah “rek njalametkeun bangsa Soenda (hendak menyelamatkan bangsa Sunda)” (Sipatahoenan, 30 Juni 1925). Dengan demikian, Gelenjoe kerap mengajak agar orang Sunda jangan menjadi Soenda soendek (Sunda pendek pikiran), tapi harusnya Soenda soendoel (Sunda yang panjang pikirannya).

Pada edisi 14 Juli 1925, yang berisi kritik terhadap kepada langganan Sipatahoenan yang banyak omong, antara lain ditulis begini: Di doenja Tasik aja keneh noe matja koran koemaoela, pedah Gelenjoe wani njarita sabenerna atawa Sip. sok ngadjadi sasak noe neangan pangadilan (Di dunia Tasikmalaya masih ada yang membaca koran pengabdi, sebab Gelenjoe berani berbicara sebenarnya atau Sipatahoenan kerap menjadi jembatan bagi yang mencari keadilan).

Sebab yang dikehendaki Gelenjoe atau Soetsen adalah Ongkoh raboel gantina, toer leuwih hideng, majarna, imeutna kana eusi djeung goena, tah hajang dibatja sotéh koe noe enja Soenda Soendoel djembar kaoeninga, landoeng kandoengan laér aisan, lain Soenda Soendek botek, onverschillig, onrijp (satengah mateng) (Apalagi banyak penggantinya, serta lebih mengerti, membayarnya, teliti terhadap isi dan gunanya, nah maunya dibaca oleh yang betul Soenda Soendoel luas pengetahuannya, bijaksana, bukan Soenda Soendek, onverschillig, onrijp (setengah matang)).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//