• Kolom
  • BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #10: Sportpark Tegallega, VORL, dan Museum Parahiangan

BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #10: Sportpark Tegallega, VORL, dan Museum Parahiangan

Mochamad Enoch turut berperan mengenalkan sepak bola di Bandung. Konon, sepak bola mulai hadir pada 1903 dan diperkenalkan bangsa Belanda.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Kenduri Mochamad Enoch di Gedung Museum Parahiangan saat mendapatkan gelar Praktijk-Ingenieur. Acaranya dihadiri antara lain oleh Pengurus Pusat Paguyuban Pasunda, Pasi, JOP, VORL, dan Museum Parahiangan. (Sumber: Sipatahoenan, 22 Januari 1940)

5 Desember 2022


BandungBergerak.idAntara 1933 hingga 1941, Mochamad Enoch menerakan jejak-jejaknya di bidang olahraga, perkembangan radio bangsa bumiputra, dan lapangan kebudayaan. Dia sempat menjadi ketua pembangunan Sportpark Tegallega, ketua Vereeniging van Oostersche Radio Luisteraars (VORL), dan perintis Museum Parahiangan.

Tentang ketiga hal tersebut, saya mendapatkan keterangan otentik berupa sambutan-sambutan Mochamad Enoch yang dimuat dalam Sipatahoenan. Dari masing-masing sambutan, saya jadi tahu masing-masing tujuan kegiatan dan organisasi yang diketuai dan dirintis oleh Enoch.

Pertama, ihwal Sportpark Tegallega. Gagasan pembangunannya mulai mengemuka dalam Sipatahoenan edisi 4 Januari 1933, dengan terbentuknya “Comite Sportpark di Bandoeng”. Gagasan itu disampaikan kepada pemerintah Kota Bandung, yang lalu menanggapinya dengan memberi lahan di Tegallega untuk didirikan lapangan olahraga bagi bumiputra. Biaya pembangunannya sekitar 4.000 gulden. Konon, lapangannya dapat digunakan untuk kompetisi setiap Sabtu dan Minggu, dengan cara disewakan.

Dalam Sipatahoenan (7 Maret 1933) disebutkan pada 6 Maret 1933 ada pertemuan Comite Indonesische Sportpark di Clubhuis Pasoendan. Maksudnya untuk mendiskusikan kesepakatan dengan pemerintah Kota Bandung mengenai lapang di Tegallega.

Adapun peletakan batu pertama sportpark pada Sabtu, 20 Mei 1933. Dalam Sipatahoenan (20 Mei 1933) dikatakan “Ajeuna, mimiti powe ieu pisan, ngalelemahna pilapangeun teh, di Tegallega, sarta koe harepan bisa anggeus djero doea boelan. Moal boa toekang njepak koelit boeleud mah geus oeroej ti ajeuna!” (Sekarang, mulai hari ini, pembuatan dasar lapang di Tegallega, dan harapannya selesai dalam dua bulan. Bisa jadi bagi tukang menyepak kulit bundar sudah tergoda dari sekarang!)

Pembangunannya sekitar tiga bulan. Peresmiannya hari Sabtu, 9 September 1933 oleh ketua Comite Sportpark Tegallega, Mochamad Enoch. Dalam Sipatahoenan (9 September 1933) ditampilkan pidato lengkap Enoch yang berbahasa Belanda, sedangkan versi Sundanya muncul dalam Sipatahoenan edisi 11 September 1933. Kata Enoch, pembangunan tersebut menghasilkan dua lapang sepak bola dan menghabiskan biaya sebesar 3.500 gulden.

Banyak orang yang datang untuk menyaksikan peresmian Sportpark Tegallega, meskipun Bandung sore itu dirundung gerimis. Sebagai tanda resmi dibuka, Mochamad Enoch mempersilakan Wali Kota Bandung Ir. Von Wolzogen Kuhr menendang bola, sekaligus tanda dimulainya pertandingan VIJ dari Jakarta versus MOSVIA dari Bandung.

Mochamad Enoch juga menyebut-nyebut sejarah kehadiran sepak bola di Bandung. Konon, sepak bola sebagai hiburan (kalangenan) mulai hadir pada 1903 dan diperkenalkan bangsa Belanda. Sementara bumiputra yang mula-mula hanya sebagai penonton, akhirnya turut memainkannya sebagai hiburan dan olahraga.

Bumiputra yang mulai memainkan sepak bola di Bandung adalah murid sekolah calon guru dan MOSVIA. Setelah itu, permainan tersebut berkembang pesat, bukan hanya di kota, melainkan menyebar ke desa-desa dan kampung-kampung yang jauh dari Bandung.

Saat gubernur jenderal ke Bandung, VORL menyambutnya dengan siaran langsung lagu degung pada 25 Februari 1937. Sebagai pengantarnya, Enoch menerangkan tentang VORL dalam bahasa Belanda. (Sumber: Sipatahoenan, 26 Februari 1937)
Saat gubernur jenderal ke Bandung, VORL menyambutnya dengan siaran langsung lagu degung pada 25 Februari 1937. Sebagai pengantarnya, Enoch menerangkan tentang VORL dalam bahasa Belanda. (Sumber: Sipatahoenan, 26 Februari 1937)

Radio Bangsa Bumiputra

Ihwal yang kedua dan ketiga secara ringkas terbaca dari tulisan “Doea poeloeh lima taoen dina kadinesan (29 Juli 1912-29 Juli 1937). R. Mochamad Enoch, Directeur Regentschapswerken Bandoeng” (Sipatahoenan, 31 Juli 1937). Di situ dikatakan, ketika musim radio, VORL berdiri, Enoch menjadi ketuanya dan baru-baru ini bertambah dengan menjadi ketua Museum Parahiangan.

Dari rekaman koran, paling tidak saya mendapatkan keterangan awal VORL dari tulisan “Vereeniging van Oostersche Radio Luisteraars” (Sipatahoenan, 25 Mei 1935). Pada awal tulisan, kita bisa mengetahui bahwa saat itu bumiputra di Bandung sedang menggandrungi radio, sebab bisa menjadi sumber pengetahuan. Saat itu disebutkan VORL sudah didirikan agak lama, tapi tidak begitu berkembang, karena anggotanya baru sedikit. Pengurusnya bertambah dengan Apandi Widaprawira dan R. Roekman.

Namun, Mochamad Enoch belum menjadi ketua VORL. Ketika VORL mengundang juru tembang Cianjuran Nji Anah dari Cianjur pada 2 November 1935, siaran langsungnya diselenggarakan di rumah Enoch di Heetjansweg No. 1. Saat itu Enoch masih dikatakan sebagai “salasahidji Pembantoe Pengoeroes VORL Bandoeng” (Sipatahoenan, 4 November 1935).

Baru dalam rapat 11 Maret 1936, Mochamad Enoch terpilih menjadi ketua VORL. Susunan lengkap pengurus VORL hasil rapat adalah sebagai berikut: ketua Mochamad Enoch, wakil ketua R. Djoendjoenan, sekretaris-bendahara Soetopo, komisaris R.A. Atmadinata, Tio Tjoan Tek, dan Sastra Midjaja. Ditambah penasihat teknis T. Van Woesjik, kepala teknis Soedirdjo, redaktur studio P. Boestam, administratur E. Ardimihardja, dan Hadji Heerdjan diminta menjadi komisaris yang baru (Sipatahoenan, 12 Maret 1936).

Pada 1 April 1936, secara resmi VORL menggunakan sender (zender) kepunyaan sendiri. Zender itu dipasang di Gedung Paguyuban Pasundan, di Pasoendanweg 14, dan diberi nama Y.D.H.7, menggunakan golfengte 107.53 meter. Sebelum resmi digunakan, zender sempat diuji coba beberapa hari. Dan sebagai programa spesial dalam rangka penggunaan zender baru, VORL mengadakan perhelatan tembang Sunda dengan mendatangkan Nji Anah dari Cianjur pada 11 April 1936 (Sipatahoenan, 31 Maret 1936).

Ketika gubernur jenderal Hindia Belanda berkunjung ke Bandung menjelang akhir Februari 1937, VORL menyambutnya dengan menyajikan siaran langsung lagu degung pada malam 25 Februari 1937. Mochamad Enoch sebagai ketuanya memberikan sambutan terlebih dahulu, dalam bahasa Belanda, mengenai VORL (Sipatahoenan, 26 Februari 1937).

Enoch pun terlibat dalam pembentukan Perserikatan Perkoempoelan Radio Ketimoeran (PPRK) pada 28 Maret 1937. Menurut Sipatahoenan (1 April 1937), hari Minggu itu, Soetardjo, Gedelegeerdlid Volksraad, memimpin rapat radio ketimuran di Hotel Preanger, Bandung. Pesertanya Ismail dari CIVRO (Surabaya), RT. Mr. Drs Bordjodipoero dari SRV (Solo), R. Roedjito dari MAVR (Yogyakarta), Mochamad Enoch dari VORL (Bandung), Abdul Rachman dari VORO (Jakarta), ditambah Soedjono, Soetopo, dan Rachman.

Inti pertemuan itu adalah pembentukan federasi atau perserikatan radio-radio yang dikelola bumiputra atau yang disebut radio ketimuran. Oleh karena itu, setelah sepakat, kemudian ada pemilihan pengurus federasi itu. Soetardjo terpilih menjadi ketua, Bordjodipoero sekretaris-bendahara, dan Abdoel Rachman anggotanya.

Bagaimana Mochamad Enoch? Ternyata, ia mendapatkan peran strategis sebagai ketua komisi yang merumuskan statuta dan anggaran rumah tangga PPRK (“Poetoesan noe sedjen-sedjenna, nja eta Commissie pikeun ngararantjang statuten & huishoudelijk reglement dipasrahkaun ka Djrg. R. Moeh. Enoch”).

Selanjutnya, saat silaturahmi Idulfitri tahun 1938, Enoch memberikan sambutan. Di dalamnya, dia menyebut-nyebut perkembangan stasiun radio yang diketuainya (Sipatahoenan, 28 November 1938). Dalam acara malam Minggu, 26 November 1938, yang dimeriahkan pagelaran wayang golek itu, Enoch menegaskan hingga saat itu VORL tetap dapat bersiaran. Meskipun belum dapat dikatakan sempurna, karena masih terbatas. Agar VORL tetap hidup dan teguh bersiaran, ia mengajak hadirin agar bersama-sama berupaya mewujudkannya. Karena VORL adalah milik bumiputra, bukan bangsa.

Sejak 15 Maret 1939, Mochamad Enoch sebagai ketua VORL mengajukan pengakuan statuta dan kedudukan hukum kepada departemen kehakiman. Akhirnya pada 26 Januari 1940, directeur Justitie mengabulkan permohonan tersebut dan VORL mendapatkan statusnya sebagai rechtspersoon atau badan hukum (Sipatahoenan dan Pemandangan, 1 Februari 1940).

Satu lagi, dalam Sipatahoenan edisi 10 April 1940 tersiar kabar VORL akan memperingati titimangsa kelahirannya yang kelima pada 27 April 1940. Ini, saya pikir, mengandung arti VORL secara resmi terbentuk pada 27 April 1935 atau sebulan sebelum dimuatnya tulisan “Vereeniging van Oostersche Radio Luisteraars” (Sipatahoenan, 25 Mei 1935).          

Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #7: Cucu Patih Karawang
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #8: Anggota Dewan Kabupaten, Kota, dan Provinsi
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #9: Direktur Sementara Sipatahoenan

Tamu undangan menyimak sambutan Mochamad Enoch dalam acara ulang tahun kelima Bale Kaboedajan Parahiangan. (Sumber: Sipatahoenan, 18 Agustus 1941)
Tamu undangan menyimak sambutan Mochamad Enoch dalam acara ulang tahun kelima Bale Kaboedajan Parahiangan. (Sumber: Sipatahoenan, 18 Agustus 1941)

Sunda yang Tumbuh-Kembang

Sejarah dan perkembangan Museum Parahiangan yang dirintis Mochamad Enoch juga dapat disimak dari Sipatahoenan. Saya sendiri baru menemukanya dalam tulisan “Soal Museum” oleh Atoem (Sipatahoenan, 3 Juli 1937). Atoem mengatakan pendirian Museum Parahiangan disiarkan dulu dalam Sipatahoenan edisi 23 dan 27 Juni 1937.

Namun, setelah mencari-cari lagi, uraian lebih rinci saya dapatkan dari peringatan ulang tahun kelima Museum Parahiangan atau Bale Kaboedajan Parahiangan pada Agustus 1941. Ringkasan sejarahnya saya peroleh dari tulisan “Bale Kaboedajan Parahiangan (Museum Parahiangan)” dalam Sipatahoenan edisi 14 Agustus 1941.

Di situ dikatakan, antara 1936-1941, lembaga tersebut belum begitu dikenal oleh umum. Konon, pendiriannya bermula dari terbentuknya Wiranatakoesoemah Stichting pada tahun 1935. Dari Wiranatakoesoemah Stichting diharapkan ada bagiannya yang mengurusi segala ihwal kebangsaan Sunda. Penggagasnya Mochamad Enoch. Ia mengajukan pendirian Museum Parahiangan, dan mengajak berdiskusi dengan R. Poeradiredja dan TB. Martakoesoemah, dll. Sebagai penasihat pembangunannya adalah Ir. Thomas Karsten. Gedung sementara untuk museum ada di dekat sekolah Pasoendan I.

Hingga 1938, para pengurus Museum Parahiangan menemui berbagai kesulitan untuk mengupayakan syarat-syarat sebuah museum. Sejak 1939, atas kesepakatan rapat pengurus, nama Museum Parahiangan diganti menjadi Bale Kaboedajan Parahiangan, dengan niatan untuk meruntinkan kegiatan pelestarian kebudayaan Sunda, di samping penyelenggaraan museum yang bersifat pasif. Dengan demikian, sejak itu, Bale Kaboedajan Parahiangan setiap bulan menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan dan disebarkan oleh VORL.

Sementara sambutan Mochamad Enoch dimuat dalam Sipatahoenan edisi 18 Agustus 1941. Dalam tulisan “Bale Kaboedajan Parahiangan 5 taoen” sejarah lembaga itu diulang sekilas. Di situ saya mendapatkan keterangan tentang maksud pendirian Wiranatakoesoema-stichting sebagai induk Museum Parahiangan. Wiranatakoesoema-stichting adalah yayasan yang dibentuk sebagai tanda peringatan sekaligus tanda kebersihan hati masyarakat Kabupaten Bandung kepada R.A.A. Wiranatakoesoema, sebab pada 1935 dia menjadi bupati Bandung lagi. Stichting tersebut didirikan pada 1936.

Garapan Bale Kaboedajan Parahiangan terutama untuk mengangkat derajat orang Sunda yang pengaturan dan pengurusannya akan disesuaikan berdasarkan paham baru dalam permuseuman. Maksudnya, Bale Kaboedajan tidak hanya mengumpulkan benda-benda yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan belaka, melainkan juga menghadapi hal-hal sosial dan kebudayaan yang masih tumbuh kembang (“maksoedna ieu B.K. teh sanes moeng bade ngoempoelkeun barang2 noe patali sareng elmoe-kanjaho bae (wetenschap), nanging njanghareupan oge hal sociaal sareng ka boedajan noe hiroep keneh”).

Oleh karena itu, hal-hal yang patut dipertimbangkan dan dibereskan terpaut dengan barang-barang apa saja yang akan dikumpulkan oleh lembaga tersebut, benda-benda yang menjadi tanda kemajuan dan perkembangan sosial, dan pertautannya dengan cakupan wilayah kebudayaannya, dan lain-lain.

Saat berdiri di podium dan angkat bicara, Mochamad Enoch yang merupakan ketua Bale Kaboedajan Parahiangan mula-mula menggunakan bahasa Belanda lalu dilanjutkan dengan bahasa Sunda (“djoeragan R. Moch Enoch, katoea Bale Kaboedajan Parahijangan di podium sasaoeran, dimimitian koe basa Walanda sarengsena diteroeskeun koe basa Soenda”).

Langkah untuk mengembangkan Bale Kaboedajan Parahiangan, menurut Enoch, tiada lain berupa jalinan kerja sama erat dengan Sekar Pakoean (perkumpulan kebudayaan Sunda di Bandung), VORL, PPRK, Bandoeng Vooruit, dan dengan Bandoengsche Kunstkring. Ke depannya, ia mengatakan akan lebih memperbanyak acara melalui radio, seperti pagelaran gamelan Sunda dan degung serta ceramah-ceramah mengenai bahasa Sunda.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//