BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #6: Keberanian Menantang Belanda
Korespondensi Mochamad Enoch berbuah teguran bagi personel Eropa di Stasiun Bandung. Sebelumnya ia diperlakuan diskriminasi.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
25 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Saya menemukan fakta menarik seputar keterkaitan antara Mochamad Enoch dan Godard Arend Johannes Hazeu (1870-1929), penasihat urusan bumiputra dan Arab (adviseur voor Inlandse en Arabische Zaken). Fakta tersebut saya temukan dari buku karya Arnout van der Meer, dengan judul Performing Power: Cultural Hegemony, Identity, and Resistance in Colonial Indonesia (2020).
Arnout van der Meer (2020: 111-112) menceritakan diskriminasi yang dialami Enoch saat berhadapan dengan orang Belanda. Konon, kata van der Meer, suatu ketika pada bulan November 1913, Mochamad Enoch, sebagai insinyur muda di Departemen Pekerjaan Umum (Department of Public Works) dengan sabar mengantre untuk membeli tiket kelas dua di Stasiun Bandung. Saat itu, dia berpakaian ala Eropa, sebagai orang Jawa yang mendapatkan pendidikan barat dan cakap berbahasa Belanda serta mempunyai akar keluarga bangsawan rendah tetapi berprofesi nontradisional. Saat gilirannya tiba, Enoch mendekati loket dan berbicara dalam bahasa Belanda secara sopan untuk membeli tiket ke Madiun, tempat asalnya (hometown).
Petugas tiket yang berbangsa Eropa tersinggung. Alih-alih menjawab dengan bahasa Belanda, dia menjawabnya dalam bahasa Melayu dan menyuruh Enoch menunggu. Ketika kemudian Enoch beralih ke loket yang lain untuk memesan tiket kelas tiga, dia mendapatkan lagi penolakan. Karena ingin tahu mengapa dia tidak dilayani, Enoch bertanya-tanya. Sebagai jawabannya, pegawai Eropa di loket berteriak-teriak dalam bahasa Belanda dan mengatakan agar Enoch diam atau akan menderita akibat tindakannya itu.
Enoch bergeming. Dia menolak mundur, sehingga si petugas loket mengatakan “Kau bumiputra, alhasil kau harus membeli tiketmu di loket untuk bumiputra”. Sebaliknya, Enoch seakan menantang, dia meminta agar petugas itu mendatangkan kepala stasiun untuk mengadukan perkara itu. Pada gilirannya, kepala Stasiun Bandung memenangkan aduan Enoch, seraya menyatakan bahwa dia memiliki hak untuk membeli tiket di loket mana pun yang disukainya. Padahal kebijakan secara umum, hanya boleh untuk kalangan Eropa.
Menurut van der Meer selanjutnya, Mochamad Enoch menggambarkan peristiwa tersebut dalam sebuah surat yang ditujukannya kepada Penasihat Urusan Bumiputra G.A.J. Hazeu. Dari surat-menyurat mereka terbukti bahwa Enoch khususnya terganggu oleh fakta bahwa meskipun dia berpakaian Eropa dan berbicara dalam bahasa Belanda, para petugas tiket tetap menolak memperlakukanya sama seperti terhadap orang Eropa.
Enoch menekankan hal tersebut ketika mengingat-ingat lagi momen saat petugas tiket mendampratnya atas kelancangan yang diperlihatkan Enoch. Dengan penuh keheranan dan kesangsian, ia menulis kepada Hazeu: “(Tetapi) saya sudah berpakaian dengan gaya Eropa”. Enoch yakin dia bisa menerobos pembeda antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah dengan cara berpakaian. Namun, alih-alih mendapatkan perlakuan baik, para petugas tiket menafsirkan tindakan Enoch itu sebagai pelanggaran terhadap tata kolonial.
Atas keberanian Enoch itu, dia bukan saja diizinkan membeli tiket kelas dua, tetapi korespondensinya dengan penasihat urusan bumiputra juga berbuah teguran bagi personel Eropa di Stasiun Bandung dan permohonan maaf secara resmi dari inspektur jawatan kereta api Hindia Belanda.
Kekeliruan Arnout van der Meer
Selain mendapatkan fakta menarik, saya mendapati beberapa kekeliruan van der Meer. Kekeliruan pertamanya terkait Enoch yang disebutkan sebagai insinyur, padahal seharusnya cukup sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum. Karena gelar insinyur baru diraih oleh Mochamad Enoch setelah dia mengikuti kursus arsitek pada tahun 1924.
Kekeliruan kedua van der Meer adalah menyebutkan bahwa Madiun adalah tempat asal Mochamad Enoch. Padahal dari tulisan “Doea poeloeh lima taoen dina kadinesan (29 Juli 1912-29 Juli 1937). R. Mochamad Enoch, Directeur Regentschapswerken Bandoeng”, Enoch hanya dipindahkan tempat kerja ke Madiun sejak 26 Juli 1913 hingga 26 Maret 1915. Semula, sejak 24 September 1912, Enoch diperbantukan untuk Chef der Waterstaatsafdeeling (kepala pengairan) di Batavia. Alhasil, saat peristiwa di Stasiun Bandung itu terjadi setelah empat bulan bekerja di Madiun. Barangkali setelah dia liburan atau mengambil cuti dulu di Bandung.
Kekeliruan ketiga van der Meer adalah menyebutkan pada akhir 1913 itu G.A.J. Hazeu masih menjadi penasihat urusan bumiputra. Padahal dari riwayat hidup Hazeu, sebagaimana ditulis F.G.P. Jaquet (“Hazeu, Godard Arend Johannes [1870-1929]” dalam Biografisch Woordenboek van Nederland, 1985) dan Guide & Concordance to Papers of Colonial Advisers on Politics, Culture and Religion in the Netherlands Indies, c. 1895-1949 (Part 1. Papers of Godard Arend Johannes Hazeu (1870-1929), period 1895-1929 (2009), saya tahu dia menjabat sebagai penasihat urusan bumiputra mula-mula antara 1907-1912. Sementara saat terjadinya peristiwa Mochamad Enoch, Hazeu sudah diangkat menjadi direktur Departement van Onderwijs en Eeredienst (departemen pendidikan dan agama).
Agar lebih jelas duduk soalnya, saya akan sedikit mengulas riwayat kerja Hazeu. Menurut sumber pustaka di atas, setelah lulus program doktoral di Leiden, Hazeu berangkat ke Hindia Belanda pada 1898. Pekerjaannya mula-mula sebagai guru di Gymnasium Willem III Batavia.
Ia mulai bekerja di kantor urusan bumiputra, bersama Snouck Hurgonje, pada tahun 1904. Tiga tahun kemudian, pada 26 Januari 1907, ia diangkat menjadi penasihat urusan bumiputra menggantikan Snouck. Saat itu yang menjadi asisten penasihat urusan bumiputra adalah D.A. Rinkes. Pada 1908, Hazeu mendirikan Commissie voor Volkslectuur (Balai Pustaka), untuk menyebarkan penggunaan bahasa Melayu dan bahasa daerah serta menerbitkan bacaan untuk kalangan bumiputra.
Lima tahun berikutnya, antara 1912-1914, Hazeu diangkat menjadi direktur Departemen Pendidikan dan Agama (Departement van Onderwijs en Eeredienst). Di masa jabatan Hazeu pula, sekolah-sekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche school), AMS (Algemeene Middelbare School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) didirikan. Setelah bekerja selama 17 tahun di Hindia, pada 1915, Hazeu mengambil cuti ke Belanda. Pejabat penggantinya di Departemen Pendidikan dan Agama Hindia Belanda adalah K.F. Creutzberg. Pada 1916, Hazeu kembali lagi ke Hindia Belanda. Posisinya kembali menjadi jurusan bumiputra, antara 1917 hingga 1920.
Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #3: Bersama Wiranatakoesoema, Mengurus Irigasi Cihea
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #4: Arsitek Sunda Pertama di Departemen Pekerjaan Umum
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #5: Tulisan-tulisan Seputar Bangunan
Simpati Hazeu
Sumber keterangan Arnout van der Meer berasal dari Collection Hazeu berkode H 1083, no. 29 yang dimiliki Universiteit Bibliotheek Leiden (UBL). Ia menggunakan tiga surat koleksi Hazeu. Ketiganya adalah surat Mochamad Enoch kepada Inspektur Kepala Jawatan Kereta Api Ten Damme pada 24 November 1913. Kedua surat Enoch kepada Hazeu yang bertitimangsa 1 Desember 1913 dan surat Ten Damme kepada Enoch pada 2 Februari 1914 (van der Meer, 2020: 235).
Ini mengandung arti, sebelum mengadukan persoalan diskriminasi kepada G.A.J. Hazeu, Enoch terlebih dulu melayangkan surat protes kepada Inspektur Kepala Ten Damme. Setelah itu barulah Enoch menyurati Hazeu sebagai direktur Departemen Pendidikan dan Agama. Hasilnya, sebagaimana yang disebutkan van der Meer, Inspektur Kepala Jawatan Kereta Api Ten Damme memohon maaf secara resmi kepada Enoch melalui suratnya pada tanggal 2 Februari 1914 atau dua bulan setelah peristiwanya terjadi.
Sebagai tambahan keterangan, dari guntingan koran, saya tahu Hazeu diangkat sebagai Departement van Onderwijs en Eeredienst sejak 3 Januari 1912. Dengan catatan, posisinya sebagai penasihat urusan bumiputra tetap dijabatnya secara rangkap (De Preanger-bode, 13 Desember 1911). Ia baru melepaskan jabatan sebagai penasihat urusan bumiputra pada 24 Juli 1913, dan digantikan wakilnya Dr. Rinkes (De Preanger-bode, 24 Juli 1913). Dengan demikian, tetap saja, ketika mendapatkan surat keluhan dari Mochamad Enoch, Hazeu sudah tidak lagi menjabat sebagai penasihat urusan pribumi.
Namun, ada catatan menarik di balik aktivitas Hazeu selama tahun 1913. Antara lain ia cepat tanggap terhadap usulan pendirian HBS di Bandung oleh komite yang terdiri atas J.B. Kampschuur dan E.F.E. Douwes Dekker. Hazeu meminta untuk dikirimi brosur propagandanya (De Preanger-bode, 17 Maret 1913). Saat berlangsungnya kongres Sarekat Islam di Solo pada Maret 1913, dia juga mengirimkan ucapan selamat berkongres dan harapan agar Sarekat Islam bekerjasama dengan Boedi Oetomo (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25 Maret 1913). Dua bulan kemudian, koran yang sama menyatakan (24 Mei 1913) baik Hazeu maupun Rinkes menyokong Sarekat Islam.
Saya pikir, keterangan-keterangan tersebut menunjukkan bahwa G.A.J. Hazeu mempunyai rasa simpati besar terhadap keadaan bumiputra. Hal tersebut dapat saya perkuat dengan fakta bahwa Hazeu menjadi bapak angkat Alimin bin Prawirodirdjo (1889-1964) dan pada kasus “Garoet Gendjlong” (kegemparan di Garut) pada 7 Juli 1919 akibat ditembaknya Haji Hasan oleh kaki tangan pemerintah kolonial, Hazeu menunjukkan sikap kecewa terhadap tindakan pamongpraja dan polisi di Garut itu.
Barangkali rasa simpati itu pula yang menyebabkan Hazeu menaruh perhatian lebih pada surat yang dikirim oleh Mochamad Enoch, sehingga ia menghubungi Inspektur Kepala Ten Damme agar menegur petugas tiket kereta api yang bertindak diskriminatif. Bagi Enoch sendiri keberanian menantang Belanda pada usia yang terbilang sangat muda itu mencirikan wataknya yang memang pemberani. Ini juga sekaligus menjadi penjelas mengapa Enoch termasuk vokal saat menjadi anggota dewan kabupaten, kota, provinsi, dan negara.