BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #1: Berangkat dari Paguyuban Pasundan
Mochamad Enoch (1899-1957) tokoh sangat penting dalam perkembangan Bandung maupun nasional. Namanya cukup terbenam dalam lipatan sejarah.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
11 September 2022
BandungBergerak.id - Menjelang ulang tahun Paguyuban Pasundan ke-109, saya sempat diminta pendapat oleh seorang wartawan (3/8/2022). Di antara pertanyaan yang harus saya jawab adalah, “Seperti apa kiprah Paguyuban Pasundan dalam rentang waktu cukup panjang sebagai sebuah organisasi? Karena dalam sejarahnya banyak tokoh-tokoh Sunda yang juga jebolan Paguyuban Pasundan muncul bahkan memegang peranan penting dalam sejarah bangsa”.
Pertanyaan itu saya jawab, “Saya pikir kiprah mengapa Paguyuban Pasundan jadi organisasi besar paling tidak sejak 1913 hingga 1942, karena bidang-bidang yang digarapnya sangat strategis untuk pengembangan SDM Sunda, yaitu bidang pendidikan (mendirikan sekolah-sekolah), ekonomi (dengan mendirikan Bank Pasoendan), politik (kaderisasi dan banyak di antaranya yang menjadi anggota dewan kabupaten, kota, provinsi, dan negara atau Volksraad), dan pemberdayaan perempuan (dengan mendirikan Pasoendan Istri atau Pasi) dan pemuda (dengan membentuk JOP”.
Sebagai salah satu langkah dalam kerangka menunjukkan kiprah anggota Paguyuban Pasundan di lapangan politik dari tingkat kabupaten hingga negara, mulai hari ini saya akan mencicil biografi Ir. R.H. Mochamad Enoch (1899-1957). Tokoh sangat penting ini sayangnya belum banyak dikenal, padahal kiprahnya terbilang cemerlang dari sejak zaman penjajahan Belanda hingga paruh pertama abad ke-20.
Barangkali publik lebih mengenalnya sebagai Wali Kota Bandung untuk periode 1949-1956, misalnya karena gambarnya bersama dengan wali kota-wali kota Bandung lainnya terpampang di tembok depan Pendopo Bandung. Padahal bukan hanya wali kota Bandung saja jabatan yang pernah diembannya.
Di masa Belanda, Enoch sempat lama menjabat sebagai direktur pekerjaan umum (Directeur Regentschapwerken) Kabupaten Bandung. Di masa dialah para pemain sepak bola bumiputra di Bandung menjadi punya lapangan sepak bola sendiri di Tegallega (Sportspark Tegallega). Di masa Enoch pula Maribaya ditata, dibangun, dan dijadikan sebagai destinasi wisata. Terbilang banyak jalan di sekitar Kabupaten Bandung yang dibangun saat Enoch menjabat sebagai direktur pembangunan.
Di lapangan kebudayaan, Enoch turut merintis dan menjadi ketua Bale Kaboedajaan Parahiangan atau Museum Parahiangan, sebagai bagian dari Wiranatakoesoemah Stichting, sejak 1936. Ia juga menjadi ketua penyiaran radio swasta VORL (Vereeniging van Oostersche Radio Luisteraars), yang sejak awal diniatkan untuk menyebarkan kebudayaan Sunda, juga sejak 1936. Enoch pun pernah menjadi pemimpin usaha penerbitan koran Sipatahoenan, berkala resmi terbitan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan di Bandung, antara 1931-1936, saat R. Oto Iskandar di Nata berada di Batavia.
Di lapangan politik, zaman Belanda, Mochamad Enoch sempat menjadi anggota dewan Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Gemeente Bandung, dan Provinsi Jawa Barat. Setelah Indonesia merdeka dan ibu kota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, Enoch turut pindah ke sana. Ia sempat diangkat menjadi wali kota Yogyakarta yang pertama, antara Juni-Juli 1947, dan menteri pekerjaan umum pada kabinet Amir Sjarifoeddin meskipun sebentar, yakni antara Juli hingga September 1947.
Di Yogyakarta pula, Enoch mencoba menghidupkan Paguyuban Pasundan yang diklaim oleh Suria Kartalegawa mendukung proklamasi Negara Pasundan pada 4 Mei 1947. Enoch menganggap proklamasi tersebut pelanggaran terhadap Perjanjian Linggarjati. Sehingga sejak 3 Mei 1947, ia menghidupkan lagi Paguyuban Pasundan yang berdiri dan hidup sebagai badan hukum untuk mengakui dan menyokong Negara Republik Indonesia.
Saat Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), Mochamad Enoch menjadi anggota parlemen sebagai wakil dari PARKI (Partai Kebangsaan Indonesia), nama pengganti bagi Paguyuban Pasundan antara 1949-1959. Akhirnya, sejak 1 Desember 1949, ia menjabat sebagai wali kota Bandung menggantikan E. Croes.
Pencapaian-pencapaian Mochamad Enoch dimungkinkan karena Paguyuban Pasundan mengubah bentuk organisasinya yang semula hanya bergerak di bidang sosial dan budaya, menjadi perkumpulan politik sejak 1919. Perubahan itu ditunjukkan oleh perubahan anggaran dasarnya yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui keputusan No. 72, tanggal 13 Juni 1919.
Baca Juga: Pasar Biru 3 Cinambo, Diskusi Buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung dan Bedah Novel Melukis Jalan Astana
Pelesir Beracun ke Situs Geologi Curug Jompong
Festival Buku Pasar Biru 3, Mengenal Jati Diri Cinambo
Bahan Pustaka
Bagaimana cara saya mengumpulkan jejak langkah Ir. R.H. Mochamad Enoch? Jawabannya karena tersedianya koran-koran dan pustaka lama baik dari berbahasa Belanda, Sunda, dan Indonesia yang dapat saya akses secara gratis melalui situs penyedia pustaka Delpher.nl dan Opac.perpusnas.go.id atau Khastara.perpusnas.go.id. Dari dua situs tersebut, saya dapat mengumpulkan remah-remah data untuk membentuk profil Mochamad Enoch yang relatif utuh.
Dari penelusuran pustaka sejak Februari 2022, saya memperoleh demikian banyak data tentang Enoch. Meskipun mulanya tidak memperoleh informasi biografisnya, tetapi beruntung, akhirnya saya mendapatkannya dalam tulisan panjang bertajuk “Doea poeloeh lima taoen dina kadinesan (29 Juli 1912-29 Juli 1937). R. Mochamad Enoch, Directeur Regentschapswerken Bandoeng” (25 tahun masa dinas [29 Juli 1912-29 Juli 1937]. R. Moechamad Enoch, direktur pekerjaan umum Kabupaten Bandung), yang dimuat dalam Sipatahoenan edisi 31 Juli 1937.
Salah satu keterangan yang luput dari tulisan panjang tersebut adalah absennya latar belakang keluarga Enoch. Kebanyakan informasi yang disajikan di situ berupa rekam jejaknya selama berdinas di Departemen Pekerjaan Umum (BOW) dan keterangan karier lainnya, termasuk latar belakang pendidikannya. Meski demikian, saya merasa sudah cukup untuk mencicil peri kehidupan serta sepak terjang Enoch, sehingga sekarang mulai memberanikan diri mencicilnya.
Selain itu, selama mengumpulkan data, saya merasa sumber-sumber pustaka, terutama yang berbahasa Sunda dari Sipatahoenan ternyata dapat saling lengkapi dengan sumber-sumber pustaka yang berbahasa Belanda dan Indonesia. Ini pun mendorong saya untuk segera menuliskan riwayat hidup Mochamad Enoch.
Sumber-sumber lain pun banyak membantu. Misalnya, pustaka tentang atau berkaitan dengan Paguyuban Pasundan karya Hetty Rustiati Ramelan (1983), Sjarif Amin (1984), Memed Erawan (1991), Suharto (1999 dan 2002), Edi S. Ekadjati (2004), Nina H. Lubis (2003), dan Iip D. Yahya (2008 dan 2013).
Pustaka lainnya terkait Negara Pasundan berupa arsip koleksi Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat (2014), Zakboek Negara Pasoendan, 1948-1949, Zakboek Parlemen Negara Pasoendan Tahun 1949, dan Negara Pasundan Satu Tahun (24 April 1948-24 April 1949), ditambah pustaka karya J.M.A. Tuhuteru (1948), Tanu Suherly (1970), Junaedi (1989), Helius Sjamsuddin dkk (1992), Susanto Zuhdi (1994), Mumuh Muhsin Z (1994), Agus Mulyana (1996), dan Erik Andang Kurnia (2006).
Demikian pula risalah-risalah rapat parlemen RIS dan Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia antara 1950 hingga 1951 dari situs Berkas.dpr.go.id dan Risalah Perundingan 1951 Djilid X (Rapat ke-LXX s/d ke-LXXX) menunjukkan aktivitas politik Mochamad Enoch sebagai anggota parlemen Indonesia.
Berbagai pustaka itu membuat saya lebih yakin untuk menuliskan riwayat hidup Ir. R.H. Mochamad Enoch, bahkan kian menunjukkan rasa hormat kepadanya. Bahwa dari sekian banyak tokoh yang berangkat dari Paguyuban Pasundan, dia pernah lama malang melintang di dunia perpolitikan tanah air, sekaligus menggarisbawahi pentingnya kaderisasi sejak dini bagi kaum muda Sunda yang hendak terjun ke dunia politik. Karena tentu saja segalanya tidak ada yang instan, tetapi pasti melalui proses berliku, memakan waktu.