Pelesir Beracun ke Situs Geologi Curug Jompong
Di zaman Belanda, Curug Jompong terkenal sebagai tempat wisata tersembunyi yang menawan. Jauh di masa kemerdekaan kini, Curug Jompong bau limbah dan beracun.
Di zaman Belanda, Curug Jompong terkenal sebagai tempat wisata tersembunyi yang menawan. Jauh di masa kemerdekaan kini, Curug Jompong bau limbah dan beracun.
BandungBergerak.id - Musim kemarau akhir Agustus 2022, dari ketinggian Kampung Pasirwangi, Desa Jelegong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, terlihat lembah aliran Sungai Citarum berkelok di antara formasi batuan yang diperkirakan terbentuk 4 juta tahun lalu.
Kawasan ini dikenal dengan nama Curug Jompong. Warna airnya masih terlihat kelabu gelap dengan buih-buih putih, terlihat ada sedikit peningkatan kualitas air dibanding 2 tahun yang lalu. Kemarau tahun 2020, warna air sungai di Curug Jompong selalu hitam pekat.
Terlihat juga sedimentasi sungai saat kemarau membentuk tegalan-tegalan cukup luas. Warga sekitar memanfaatkannya untuk bercocok tanam sayuran selama kemarau, mumpung debit air jauh menyusut dibanding saat musim hujan.
Lereng-lereng menuju lembah ditumbuhi ilalang yang cukup pekat. Tegakan hutan masih cukup baik dengan rumpun-rumpun bambu menjulang. Saya menuruni lereng mengikuti jalur setapak, dan beberapa kali salah jalur sebelum akhirnya bisa menemukan jalur yang tepat. Sudah puluhan kali saya mendatangi Curug Jompong baik bersama kawan atau sendiri. Dan entah kenapa, puluhan kali juga selalu nyasar dan salah mengambil jalur.
Jadi jika baru pertama kali ke Curug Jompong, sebaiknya jangan sendiri dan selalu minta panduan atau ikuti saja warga yang akan bertani ke arah lembah, pasti aman dan dijamin tidak nyasar. Banyak jurang curam dan lereng rawan longsor di jalur menuju curug, juga hati-hati dengan beberapa jenis ular berbisa dan ular pucuk hijau yang kerap menampakan diri di kawasan ini.
Juga jangan sekali-sekali berani menginjak tanah berlumpur yang kelihatannya kering di pinggiran sungai di Curug Jompong, dijamin kaki bisa terperosok sampai pinggang. Banyak jebakan sedimentasi sungai yang kering diatas tapi bagian bawahnya tetap berair dan gembur.
Setelah sampai di bebatuan dasit di pinggir sungai, saya mendekati sekelompok orang yang sedang menjaring dan memancing ikan.
"Sekarang mah rada mendingan, walau masih tercemar tapi tidak parah seperti dulu. Sekarang ada ikan lele dan nila yang bisa hidup di sungai ini, nih saya sudah dapat 2 ekor,” kata Iwan (32 tahun), warga Kampung Pasirwangi yang datang bersama beberapa kawannya.
Ujang (28 tahun), bahkan berani turun ke sungai di antara buih-buih berwarna putih. Buih-buih menempel di sebagian wajahnya. Setelah melempar jaring, ia maju perlahan-lahan, kakinya meraba-raba batuan di dasar sungai. Salah langkah, ia bisa tersedot ke pusaran air dan palung-palung yang dalam.
Terjun ke Curug Jompong hanya bisa dilakukan oleh mereka yang kenal wilayah ini sejak kecil. Aksi ekstrem ini sangat tidak disarankan bagi orang awam atau pendatang.
Seorang warga lainnya asyik mencari sampah-sampah plastik atau sampah yang punya nilai jual lainnya. Ia berkubang di air tercemar berminyak itu, sampah-sampah yang ia dapat dimasukkan ke dalam perahu yang ada di sampingnya. Saya tak bisa mendekat, ia berada di air dan sedimentasi lumpur sungai yang tak bisa dipijak. Air berwarna kelabu itu beraroma tak sedap, tidak wangi seperti nama kampungnya, Pasirwangi.
"Lumayan bisa ditanami sayuran selama kemarau. Setiap 3 bulan bisa dipanen, ibu nanam jagung manis, sosin, dan cabai," kata Cucu (59 tahun).
Cucu warga asli Pasirwangi, ia biasa memanfaatkan daratan di bentaran sungai yang terbentuk saat kemarau untuk berladang. Cucu ingat betul kondisi Curug Jompong di masa kecilnya yang jauh berbeda dengan kondisi saat ini.
"Saya waktu itu SD kelas 3, nggak ingat tahunnya, tapi dulu waktu saya kecil, sebelum ada pabrik-pabrik tekstil di pinggir sungai, air di Curug Jompong sangat bersih. Kami biasa mandi dan mencuci pakaian di sini. Jemuran warga kampung berjajar di pinggiran sungai, kalau sekarang airnya paling cuma bisa dipakai untuk menyiram tanaman. Bahkan sumur-sumur warga malah airnya ikut tercemar, berbau dan berminyak," kata Cucu.
Kandungan logam berat yang mencemari Citarum terus meracuni tak berkesudahan. Ikan tangkapan maupun kolam dan tanaman sayuran atau padi yang memanfaatkan air sungai ini dipastikan ikut tercemar logam berat, yang akhirnya dikonsumsi manusia.
Kendati tingkat pencemaran sudah mulai agak berkurang, Curug Jompong masih kerap dikotori oleh sampah dan limbah pabrik tekstil. Ada 1.900 industri di sepanjang DAS Citarum. Ribuan industri itu menghasilkan 340.000 ton limbah cair per hari. Celakanya, sebagian besar pabrik-pabrik itu disinyalir tak memiliki IPAL yang ideal.
Belum lagi masalah sampah, sekitar 3.512,2 ton sampah per hari dihasilkan dari 8 kabupaten dan kota yang dilintasi Sungai Citarum. Kualitas air di sini masih jauh dari baku mutu level 2, yaitu kualitas air yang bisa digunakan untuk wisata atau irigasi.
Mengkhayalkan Curug Jompong
Curug Jompong juga berfungsi sebagai filter alami dari sampah-sampah yang mencemari Sungai Citarum. Kelokan sungai dengan formasi batuan yang berundak-undak juga berfungsi sebagai pencegah erosi dalam skala terbatas.
Curug Jompong terbentuk dari aliran sungai berarus kencang, membentuk jeram yang mengikis batuan intrusi sisa letusan gunung api purba. Buku Wisata Bumi Cekungan Bandung karangan Budi Brahmantyo dan T Bachtiar menyebutkan, formasi batuan dari sisa-sisa letusan gunung api purba tersebut berumur Pliosen, sekitar 4 juta tahun yang lalu.
Konon di sinilah salah satu titik bobolnya Danau Bandung Purba 16.000 tahun yang lalu selain di Cukang Rahong di Kabupaten Bandung Barat. Secara alami, kawasan ini terbentuk jadi monumen alami kebumian. Sebuah situs geologi berumur 4 juta tahun. Tahun 1930-an, pakar geologi van Bemellen disebut pernah menemukan batu garnet (sejenis batu mulia) sebesar biji delima.
Sedikit berkhayal, Curug Jompong di masa lalu pasti memiliki pemandangan alam yang elok. Lupakan pabrik-pabrik besar yang berdiri di kawasan tersebut, lupakan juga aliran air berwarna hitam berkelok yang mengalir ke lembah. Bayangkan kelokan air berarus kencang membentuk jeram di antara bebatuan berwarna coklat oranye dengan tegakan pohon yang rimbun.
Di masa Hindia Belanda, kawasan ini jadi lokasi wisata yang terkenal dengan panorama alamnya yang cantik. Seperti yang tertulis di buku terbitan Vorkink tahun 1927 berjudul Gids van Bandoeng en Midden-Priangan karangan Reitsma dan Hoogland. Di situ disebutkan bahwa jalur menuju ke Curug Jompong adalah salah satu pesona alam yang paling indah di Pulau Jawa.
Jauh sebelum itu, Franz Wilhelm Junghuhn telah menuliskan Curug Jompong dalam bukunya, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi En Inwendige Bouw volume 4 yang terbit tahun 1854. Gambaran paling detail dibuat oleh Ferdinand Hochstetter dan tim ekspedisi Novara pada tahun 1857 yang melakukan napak tilas jejak Junghuhn di Curug Jompong.
Catatan lengkap dibuat oleh Hochstetter dalam bukunya Geologische Ausfluge auf Java. Ia menuliskan Curug Jompong adalah air terjun pertama di Citarum. Erosinya cukup dalam hingga 100 kaki. Sebatang pohon kiara berdiri tegak di dasar sungai yang berdebur kencang, menjadi pemandangan indah yang natural dengan bebatuan yang ditumbuhi lumut. Aliran air menerjang di lembah, menderu menurun.
Di dinding sebelah kiri sungai menunjukkan karakter felspatik, teramati juga hornblende dan massa trakitik yang mengandung kuarsa, dengan tekstur porfiritik berwarna terang. Batuan ini mirip dengan batuan vorospatak di Transylvania yang diteliti oleh Dr Strassen yang mendeskripsikan batuan ini sebagai dasit. Demikian penggalan narasi Hochstetter tentang Curug Jompong.
Saat ini, hampir seabad kemudian, Curug Jompong boleh dibilang obyek wisata alam paling beracun. Tak ada wisatawan yang datang. Suasananya tak asri dan rimbun seperti foto-foto di masa lalu. Warga tak lagi menjaring ikan di aliran sungai ini, hanya sampah plastik terutama botol minuman air mineral yang jadi kekayaan alam yang paling mudah dijaring dan bernilai jual di Curug Jompong.
Mendaki batuan-batuan purba Curug Jompong di suhu udara yang panas cukup menguras energi. Aroma busuk limbah masih menembus masker yang saya pakai. Peluh bercucuran di sekujur tubuh, namun saya tak berani buka botol minuman, nanti saja kalau sudah menjauh dari aliran sungai sampai aroma busuk tak lagi tercium. Hanya di spot wisata Curug Jompong ni kita tak bebas makan dan minum layaknya wisatawan sedang pelesir.
Berdiri di Kampung Pasirwangi, dalam nuansa gersang dan kelabu, sulit membayangkan bahwa kawasan ini pernah jadi obyek wisata tercantik dan terkenal di masa lalu, kecuali dari foto-foto tua koleksi Troopenmuseum dan Rijksmuseum.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS