• Berita
  • Pasar Biru 3 Cinambo, Diskusi Buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung dan Bedah Novel Melukis Jalan Astana

Pasar Biru 3 Cinambo, Diskusi Buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung dan Bedah Novel Melukis Jalan Astana

Buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung membahas tokoh-tokoh pergerakan nasional zaman kolonial, sedangkan novel Melukis Jalan Astana memotret kehidupan era Orde Baru.

Festival Buku Pasar Biru 3 Kampung Rukun Mulya, Kelurahan Babakan Penghulu, Kecamatan Cinambo, Sabtu (11/9/2022), diwarnai peluncuran buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung Tahun 1925-1934 karya Hafidz Azhar. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman11 September 2022


BandungBergerak.id – Festival Buku Pasar Biru 3 di hari ketiga diramaikan oleh dua diskusi buku, yaitu Jejak Kaum Nasionalis di Bandung Tahun 1925-1934 karya Hafidz Azhar, dan diskusi novel Melukis Jalan Astana karya Iman Herdi, Sabtu (10/9/2022). Kedua buku ini sama-sama diterbitkan ProPublic.info, penerbit alternatif dengan watak indie di Bandung.

Diskusi dan acara launching buku yang digelar di pertengahan kampung kota Bandung timur, Kampung Rukun Mulya, Kelurahan Babakan Penghulu, Kecamatan Cinambo, itu menjadi penanda bahwa geliat perbukuan dan literasi di Kota Bandung menjadi semakin ramai dengan munculnya penerbit alternatif dan orang-orang yang rajin menerbitkan buku.

Penerbitan buku ini sekaligus menjadi fenomena baru di Bandung. Buku yang diterbitkan tidak melulu yang berkedok akademis, siapa pun dapat melakukan penerbitan bukunya. Seperti halnya Deni Rachman atau Indra Prayana yang telah menerbitkan buku di sela-sela kesibukannya berdagang buku, kemudian Hafidz Azhar yang produktif menerbitkan buku di sela-sela kegiatan komunitas literasinya, dan Iman Herdiana yang menerbitkan novel di sela kerja sebagai jurnalis.

Tidak seperti Yogyakarta, ramainya geliat produksi buku di Kota Bandung mulai terjadi sekitar tahun 2010-an. Deni Rachman yang pada saat itu cukup intens berkegiatan di dunia perbukuan menyebut kegiatan terbit-menerbitkan buku secara perlahan menjadi tradisi baru.

“Mulai ke sini-sini, teman-teman di Bandung akhirnya mulai rajin menerbitkan buku, seperti yang terjadi pada Hafidz Azhar, Bang Iman Herdi, (maupun teman-teman) dari LPIK atau Tandus yang mulai menerbitkan buku-buku alternatif dan menjadi satu gerakan baru di mana teman-teman menulis kemudian menerbitkan,” ucap Deni Rachman, pemilik LawangBuku sekaligus pendiri ProPublic.info.

Fenomena tersebut menjadi salah satu keunikan baru dalam geliat perbukuan di Kota Bandung, di mana siapa pun dengan latar belakang apa pun dapat menulis dan menerbitkan buku dengan tema yang lebih beragam dan luas cakupannya, sebagaimana Hafidz Azhar dengan Jejak Kaum Nasionalis di Bandung Tahun 1925-1934, dan Iman Herdi dengan novelnya Melukis Jalan Astana.

Fenomena tersebut juga kemudian menjadi dorongan untuk anak-anak muda Bandung, terutama mahasiswa agar berkarya menghasilkan karya tulis. Mereka bisa mulai mengumpulkan tulisan baik secara pribadi atau mengirimkannya kepada media yang mau menampungnya, atau menerbitkan skripsinya menjadi buku yang jelas dapat bermanfaat bagi banyak orang daripada tersimpan usang di perpustakaan kampus atau malah bernasib di antara tumpukan buku bekas di Pasar Buku Palasari.

Bincang Jejak Kaum Nasionalis di Bandung Tahun 1925-1934

Buku yang diluncurkan Hafidz Azhar, Jejak Kaum Nasionalis di Bandung Tahun 1925-1934, awalnya berupa tulisan-tulisan artikel yang diterbitkan setiap pekan di BandungBergerak.id. Buku ini terdiri dari 30 artikel tentang tokoh-tokoh nasionalis di Bandung, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya.

Terbitnya buku kaum nasionalis tersebut menambah karya Hafidz yang telah terbit sebelumnya, antara lain, Jejak Kecil di Pinggiran: Dari Arab Badui hingga Rekayasa Digital (2019), Bandung di Persimpangan Kiri Jalan (2021), dan Riwayat Sarekat Islam Bandung (2021).

Bukunya Jejak Kaum Nasionalis berawal dari ketertarikannya tentang rekam jejak aktivitas tokoh-tokoh nasionalis di Bandung, yaitu Sukarno dkk. Hafidz menyebut, banyak hal menarik yang dilakukan oleh tokoh-tokoh nasionalis terutama semenjak tahun 1925, salah satunya pendirian Algemeene Studieclub (ASC) yang merupakan klab kuliah umum yang didirikan oleh para intelektual nasionalis bumiputera, dan nantinya menjadi cikal-bakal terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI).

“Sebenarnya banyak buku-buku yang memfokuskan penelitian Sukarno ketika di Bandung. Begitu pun sebenarnya dengan buku ini. Tapi yang lebih jauh lagi saya menulis buku ini bukan hanya tentang Bung Karno saja, ada banyak tokoh-tokoh (nasionalis) lainnya yang singgah di Bandung,” tutur Hafidz Azhar, pada diskusi peluncuran bukunya.

Sebetulnya, Hafidz menjelaskan, berbicara kaum nasionalis tidak hanya terpaku di tahun 1925 saja, ia menyebut jejak kaum nasionalis dapat ditarik benang merahnya ketika Soewardi Soerjaningrat bergabung dengan komite-komite putra yang kemudian mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda. Kemudian nantinya, pergerakan-pergerakan kaum nasionalis akan semakin marak terjadi, termasuk di Bandung.

Peneliti sejarah, Iip Dzulkipli Yahya, menilai buku karya Hafidz telah memberikan perspektif yang berbeda karena mengambil sudut pandang dari pemberitaan media sezaman. Kendati demikian, sebagai masukan, Iip berharap ada penelitian lanjutan dari jejak-jejak kaum nasionalis di Bandung.

“Ini adalah buku keempat Hafidz. Sebetulnya ekspetasi saya tinggi, saya pikir ini tadinya jejak PNI di Bandung sehingga ada bahasan PNI yang lebih spesifik ke hal-hal yang tidak disebut peneliti asing. Saya kira penulis asing yang menuliskan Sukarno itu tidak membaca Sipatahoenan seperti Hafidz,” tutur Iip.

Baca Juga: Festival Buku Pasar Biru 3, Mengenal Jati Diri Cinambo
Catatan 24 Tahun Reformasi
Data Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Bandung di Era Orde Baru 1967-1998, Terus Bertambah Makin Cepat

Festival Buku Pasar Biru 3 di Cinambo, Bandung, Sabtu (11/9/2022), diwarnai peluncuran buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung Tahun 1925-1934 karya Hafidz Azhar, dan diskusi novel Melukis Jalan Astana karya Iman Herdi. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Festival Buku Pasar Biru 3 di Cinambo, Bandung, Sabtu (11/9/2022), diwarnai peluncuran buku Jejak Kaum Nasionalis di Bandung Tahun 1925-1934 karya Hafidz Azhar, dan diskusi novel Melukis Jalan Astana karya Iman Herdi. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Diskusi Novel Melukis Jalan Astana

Perjalanan Iman Herdi di sela-sela kesibukannya sebagai jurnalis dalam menuliskan novelnya yang bertajuk Melukis Jalan Astana, cukuplah panjang. Naskah novel yang menceritakan kondisi Kota Bandung tahun 1980-an, sebetulnya sudah rampung sejak tahun 2016. Baru ketika ia bertemu dengan Deni Rachman pada 2018, perjalanan menerbitkan naskah novel ini semakin dekat dan akhirnya diluncurkan 11 Maret 2021.

Novel ini kini telah masuk cetakan kedua, isinya menceritakan kondisi pada tahun 1980-an yang berlatarkan sebuah kampung kota di Bandung utara yang bergejolak karena rencana pembangunan yang diusung oleh orang yang memiliki otoritas. Gejolak yang terjadi pada saat rezim orde baru digambarkan dalam novel tersebut, seperti pemberitaan tentang penemuan mayat hingga penembak misterius yang membuat cemas orang-orang.

Iman Herdi menyebut membuat novel ini dengan latar waktu pada saat Orde Baru, ia ingin menyampaikan bahwa sistem otoriter pada saat itu membuat suatu kultur di masyarakat terutama di bidang ketertiban agar masyarakat dibuat patuh dan tidak kritis. Di tengah kondisi seperti itu, ada tokoh bernama Samoja seorang seniman desa yang melawan melalui seninya.

“Novel ini terbit bertepatan dengan peringatan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), sebenanarnya saya hanya mengambil momentum bahwa novel ini membahas pada masa-masa Orde Baru, khususnya tahun 80-an. Waktu itu mencuat kabar tentang petrus, dll,” tutur Iman Herdi.

Penerbitan buku ini dirasa penting karena menggambarkan dan mendokumetasikan situasi Kota Bandung pada saat tahun 1980-an, gambaran yang terbilang jarang dipotret dalam bentuk kara fiksi. Selain itu buku ini semakin menguatkan bahwa fiksi dapat digunakan untuk membahas berbagai isu, dan terkadang fiksi dapat lebih tajam dalam mengabarkan suatu fakta sejarah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//